Kapitalisme dan Geliat Jual Beli Pendidikan

Resensi

Kapitalisme adalah paham yang membuat hidup manusia menjadi sengsara, sebab paham kapitalisme melulu mengejar keuntungan. Tidak peduli dengan cara apapun dan bagaimanapun dampaknya, yang terpenting bisa mendapat akumulasi laba sebanyak mungkin.

Hal tersebut tentunya bisa menjadi bencana untuk kehidupan manusia. Sebab, jika orientasi seseorang terlalu berlebihan kepada mengejar keuntungan semata, ia akan cenderung mengeyampingkan nilai-nilai sosial dan menggantinya dengan nilai-nilai materialistis.

Penetrasi Kapitalisme ke Tubuh Pendidikan Tinggi

Kini kapitalisme sudah merambah ke dunia pendidikan. Pendidikan yang sejatinya merupakan hak dasar setiap manusia menjadi komoditas yang diperdagangkan. Walhasil, mayoritas hanya orang kaya saja yang dapat mengenyam pendidikan—terutama pendidikan tinggi—sementara tidak bagi kaum miskin karena mahalnya biaya pendidikan. Fenomena seperti ini tak terkecuali di Indonesia, yang merupakan negara dunia ketiga. Padahal pada Pasal 31 Ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 sudah tercantum jelas: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Hal tersebut juga menimbulkan kesenjangan intelektual antara si kaya dan si miskin.

Problematika di atas dibahas dalam buku ini. Lembaga pendidikan Indonesia—dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi—terjerat dalam permainan liberalisme beserta anak-anaknya: kapitalisme, komersialisasi, dan privatisasi. Kapitalisme dan komersialisasi membuat lembaga pendidikan layaknya perusahaan: memperjualbelikan pendidikan seperti barang. Akibatnya, pendidikan seperti barang mewah. Privatisasi pun bertalian dengan swastanisasi. Ketika lembaga pendidikan berada di tangan pihak swasta, maka esensi murni dari pendidikan itu berubah, dari yang mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi meraup laba sebanyak-banyaknya.

Masuknya liberalisme ke dalam tubuh pendidikan Indonesia berawal dari tunduknya Indonesia kepada International Monetary Fund (IMF) ketika rezim Orde Baru masih berkuasa. Karena mendapat dana pinjaman yang besar dari IMF, maka Indonesia berputar otak untuk dapat melunaskan hutangnya itu. Salah satunya dengan cara memprivatisasi dan meliberalisasi empat PTN terkemuka seperti UI, UGM, IPB, dan ITB pada awal tahun 2000, yang kemudian diikuti dengan penerbitan regulasi lainnya. Inti dasarnya: memprivatisasi dan meliberalisasi jasa pendidikan, seperti Undang-Undang Bantuan Hukum Pendidikan (UU BHP) serta Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM).

Aroma privatisasi, liberalisasi, serta swastanisasi, tercium saat dikeluarkannya PP No. 61/Tahun 1999. Peraturan ini dikeluarkan saat pemerintahan presiden BJ Habibie, yang pada saat itu Indonesia juga mengalami krisis politik dan ekonomi. Dengan dikeluarkannya PP tersebut maka Perguruan Tinggi seperti UI, UGM, IPB, dan ITB diubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Ketika sudah berstatus BHMN, maka Perguruan Tinggi yang disebutkan diatas dapat melakukan otonomi kampus utamanya dalam pemungutan biaya.

Pemungutan biaya menjadi beragam dari uang masuk, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), uang Saruan Kredit Semester (SKS), dan lainnya. Berubahnya status PTN menjadi PT BHMN itu perlahan mengubah watak PTN. Yang sebelumnya PTN publik, menjadi PTN privat.

Perubahan watak atau sifat pendidikan bisa dicontohkan ketika Fakultas Kedokteran—dari seluruh universitas—yang dikenal berbiaya mahal mengubah orientasinya. Sebelumnya, dihasilkannya seorang dokter untuk misi kemanusiaan, tetapi karena modal untuk menjadi dokter sangat mahal maka para lulusannya terdorong untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya guna mengembalikan modal kuliah, setelah lulus kuliah dengan menjadikan orang sakit sebagai komoditas.

Bangsa ini sepertinya harus belajar dari negeri Kuba, negara komunis itu telah menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan mendasar rakyat. Fasilitas pendidikan dan kesehatan di Kuba sangat baik dan terus mengalami perbaikan, sehingga dua bidang tersebut menjadi fasilitas gratis bagi rakyatnya. Padahal dari segi kekayaan alam, Kuba tidak sekaya Indonesia.

Pelajaran sejenis juga dapat dipelajari dari India. India memberikan pelayanan gratis dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA), sementara untuk Perguruan Tinggi (PT) amat murah. Untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, pada saat ini, jika dikonversi ke mata uang rupiah hanya Rp 2.000.000,- rupiah saja.

UU BHP = Korporatisasi Pendidikan

Pendidikan lambat laun seperti perusahaan. Artinya lembaga pendidikan lebih memfokuskan kepada urusan tata kelola. Tata kelola yang baik guna memuaskan pelanggan. Maka dari itu, standarisasi tata kelola yaitu tolak ukurnya dengan International Organization for Standardization (ISO).

Dalam UU BHP inilah muncul istilah-istilah korporat yang meninjolkan sisi tata kelola dalam dunia pendidikan. Istilah itu seperti: Tata Kelola, Dewan Audit, Organ Audit, Dewan Pengawas, efisiensi, efektifitas, penjaminan mutu, layanan prima, usaha komersial, investasi, investasi dalam bentuk portofolio, dan sebagainya.

UU BHP membuat pendidikan yang seharusnya melakukan fungsi pengajaran dan pendidikan terhadap siswa-siswinya malah mengabaikan fungsi tersebut. Institusi pendidikan itu justru sibuk dengan urusan tata kelola yang teknis-administratif-manajerial.

Terlebih lagi tata kelola tersebut lebih fokus pada pendanaan. Berkaitan pendanaan maka berhubungan cara mendapatkan dana tersebut. Agar mutu pendidikannya terjamin, ISO dijadikan sebagai lembaga penjamin mutu institusi pendidikan di Indonesia. Fenomena korporatisasi pendidikan diperkuat dengan kehadiran UU BHP itu.

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan yakni menjadikan peserta didik sebagai manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sudah sepatutnya pendidikan itu dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi nyatanya, dengan adanya UU BHP serta ISO menjadikan pendidikan hanya sebagai perusahaan yang berkelut dengan tata kelola saja, tetapi tidak untuk menciptakan manusia yang terdidik dan mencapai kebahagiannya.

Buku ini disajikan dengan rinci, dimulai dari masuknya gelombang liberalisme ke Indonesia hingga perjuangan kaum intelektual kritis untuk dapat menghilangkan UU BHP. Selain itu terdapat data masing-masing biaya kuliah PTN terutama PT BHMN/ PTS. Buku ini layak untuk dibaca para pemerhati, penguasa, ataupun mahasiswa utamanya untuk membuka pikiran dan melatih berpikir kritis bahwa pendidikan yang seharusnya menjadi hak mendasar rakyat tanpa terkecuali dijadikan ladang untuk meraup untung sebanyak-banyaknya[.]

Oleh : Ardhi Ridwansyah

Judul : Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis : Darmaningtyas, dkk
Penerbit : Madani
Tahun : April, 2014
Tebal : xxvi + 342 Halaman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *