Wacana Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Akademisi hingga Aktivis Suarakan Penolakan

CategoriesNasional

Rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Mantan Presiden Soeharto menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Selain dinilai tidak sesuai dengan rekam jejaknya, langkah ini juga dianggap berpotensi menghidupkan kembali hukum yang otoriter dan mematikan sejarah kelam pelanggaran HAM di masa lalu.

Aspirasionline.com – Pasca lebih dari 500 orang dari berbagai latar belakang menyatakan sikap menentang rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, konferensi pers terkait usulan tersebut digelar pada Selasa, (4/11) di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat.

Konferensi ini dihadiri oleh sejumlah akademisi, aktivis, hingga tokoh agama. Diadakan guna menyuarakan kontra terhadap upaya rehabilitasi nama Soeharto yang dianggap bertentangan dengan nilai keteladanan, keadilan, dan juga kemanusiaan.

Usman Hamid, selaku Direktur Amnesty International Indonesia, membuka konferensi pers dengan pembacaan surat yang sudah dikirimkan ke Istana Merdeka untuk Presiden Prabowo Subianto berisi pernyataan tegas masyarakat terhadap wacana tersebut.

“Kami rakyat Indonesia dari berbagai komponen bangsa dan latar belakang serta tempat tinggal di Indonesia maupun di luar negeri dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mendiang Presiden Soeharto,” seru Usman pada Selasa, (4/11). 

Ketidaksesuaian Citra Pahlawan Nasional dengan Rekam Jejak Moral dan Historis Soeharto

Seolah masih menyisakan jejak kelam dalam sejarah bangsa, surat penolakan tersebut turut menyatakan bahwa rekam jejak Soeharto tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya dimiliki oleh pahlawan nasional.

Usman menyebut bahwa gelar kehormatan itu tidak dapat diberikan kepada tokoh dengan catatan pelanggaran berat terhadap prinsip moral, historis, bahkan hukum.

“Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai moral, historis, dan juga nilai-nilai hukum, kami sepenuhnya percaya dan yakin bahwa rekam jejak Soeharto tidak mencerminkan nilai-nilai luhur tersebut,” ujarnya. 

Pandangan senada kemudian disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno, seorang Imam Katolik. Magnis mengungkapkan bahwa gelar pahlawan nasional menuntut adanya integritas moral dan sejarah, yang mana belum terpenuhi oleh Soeharto.

“(Gelar) seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat. Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto yang paling bertanggungjawab atas genosida satu dari lima genosida terbesar umat manusia di abad ke-20, yaitu pembunuhan sesudah 1965-1966,” ujar Magnis  pada Selasa, (4/11).

Soeharto diyakini telah terlibat dalam berbagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di bawah masa kepemimpinannya, mulai dari pembantaian komunis pada 1965-1966, represi terhadap gerakan mahasiswa pada 1974-1978, penembakan misterius, hingga penculikan para aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998.

Ditambah lagi dengan adanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto sampai kemudian dikeluarkannya Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Marzuki Darusman, Mantan Jaksa Agung, yang turut hadir dalam konferensi pers tersebut menjelaskan bahwa nama Soeharto masih tertulis pada TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 sebagai pelaku tindak KKN yang perlu diproses dan diadili hingga hari ini. 

“Karena itulah dari segi hukum saja semata-mata sudah tidak bisa Presiden Soeharto diberikan gelar kepahlawanan itu, yang sudah beberapa tahun terakhir ini diajukan terus menerus kepada Dewan Gelar semasa Presiden yang lalu, ditolak setiap kali,” ungkap Marzuki dalam Konferensi Pers pada Selasa, (4/11).

Gelar Pahlawan Soeharto Menutup Jalan Keadilan HAM

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sejatinya sudah berulang kali dilakukan sejak wafatnya Soeharto pada tahun 2008. Namun, pengusulan tahun ini nampak berbeda. 

Asvi Warman Adam, selaku sejarawan melihat adanya kesamaan komposisi tim antara rencana penganugerahan gelar ini dengan penulisan ulang sejarah Indonesia. Keduanya sama-sama melibatkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, sejarawan Susanto Zuhdi, dan Agus Mulyana.

Hal ini dikhawatirkan akan menjadi pertanda berakhirnya segala kasus pelanggaran HAM berat yang tidak terselesaikan semasa pemerintahan Soeharto hingga kini.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto ini juga akan menutup pintu bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru (Orba) dan sesudahnya,” ujar Asvi pada Selasa, (4/11).

Pernyataan tersebut turut diperkuat oleh pendapat dari seorang peneliti hukum, Bivitri Susanti, yang menilai wacana pemberian gelar ini dapat menjadi langkah awal menuju kembalinya Undang-Undang Dasar (UUD) lama, tanpa batas masa jabatan presiden, tanpa pasal-pasal hak asasi manusia, serta tanpa lembaga yudikatif yang berwenang menangani upaya banding dalam proses peradilan.

“(Hal) itulah yang mengerikan buat kami yang belajar hukum tata negara, dan seharusnya mengerikan untuk kita semua,” tukas Bivitri dalam Konferensi Pers pada Selasa, (4/11).

Dengan demikian, Utati Koesalah, selaku salah satu perwakilan penyintas tragedi 1965, menyatakan tidak setuju dengan rencana yang digaungkan pemerintah.

“Jadi kalau presiden yang melakukan begitu banyak tekanan pada kami (korban), terus mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama, karena saya di sini sebagai korban langsung. Kami tetap menolak,” tegasnya pada Selasa, (4/11).

Seorang aktivis sosial, Firda Athira Azis, menuturkan bahwa dirinya merasa wacana ini akan sangat menyakiti hati para korban praktik pelanggaran HAM di zaman Soeharto, sekaligus membuat segala bentuk perjuangan reformasi yang telah dilakukan selama ini sia-sia.

“Kalau kita memberikan gelar ini terhadap orang yang mencederai nilai-nilai bangsa, nilai-nilai demokrasi, berarti kita juga mencederai reformasi tahun 1998 yang anak muda bergerak, yang telah kita lakukan,” tekan Firda pada Selasa, (4/11).

Kendati demikian, Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan sekaligus Kepala Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), menyatakan bahwa semua tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto tidak mempunyai bukti. 

“Enggak pernah ada buktinya kan (pelanggaran HAM Soeharto)? enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu. Ya, apa faktanya? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta dan data,” terang Fadli dalam Keterangan Pers yang digelar pada Rabu, (5/11), dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.

Lebih lanjut, Fadli Zon menegaskan bahwa proses pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah melalui tahapan resmi.

“Jadi (pemberian gelar pahlawan) memenuhi syarat dari bawah, dari beberapa layer (lapisan) itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah dan itu datangnya dari masyarakat juga,” ujar Fadli. 

 

Foto: YouTube Yayasan LBH Indonesia

Reporter: Reisha | Editor: Tia

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *