Upaya Individu Menghadapi Tekanan Ekonomi Melalui Humor Kritik ‘In This Economy’

CategoriesForum Akademika

Tren ‘in this economy’ berawal dari candaan di media sosial yang berkembang menjadi humor bernuansa kritik. Ungkapan ini kemudian merefleksikan tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat.

Aspirasionline.com — Tren candaan ‘in this economy’ kini marak digunakan di berbagai media sosial yang merujuk pada upaya individu untuk menahan keinginan berbelanja dikarenakan kondisi ekonomi yang buruk. 

Tren ‘in this economy’ mencuat di tengah kejenuhan masyarakat terhadap pemerintah yang dinilai gagal menekan harga-harga agar tetap stabil. Kenaikan harga juga dipicu oleh kebijakan perpajakan yang dinilai terlalu membebani masyarakat, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga sarana olahraga. 

Isu penerapan pajak oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia turut disebut memberi dampak pada barang-barang di dalam negeri. Kondisi ini memperkuat keresahan publik bahwa segala sesuatu semakin mahal, namun pendapatan tetap stagnan.

Sry Lestari, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Medan, menjelaskan bahwa tren ‘in this economy’ merupakan bentuk kekecewaan yang mendalam terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat ini ketika harga-harga cenderung tidak stabil, kemudian diluapkan melalui kritik humor yang kini marak digunakan.

“Sebenarnya kritik sosial yang bisa menyadarkan masyarakat bahwa kita sama sama tertekan secara ekonomi tapi kita tidak tahu harus berbuat apa jadi mereka pada akhirnya mereka mencetuskan ya inilah ‘in this economy,’” ungkap Sry kepada ASPIRASI melalui Google Meeting pada Kamis, (30/7).

Kritik Humor Menjadi Pelarian untuk Bertahan Hidup

Ramainya perbincangan tren ‘in this economy’ di media sosial didominasi dari kelompok masyarakat menengah ke bawah seperti pekerja, lulusan baru, dan karyawan. Sry menambahkan, hal ini disebabkan oleh mudahnya akses informasi yang masuk kepada mereka melalui konten-konten yang sesuai dengan kehidupan mereka. 

“Tidak menyentuh ke bawah, ya. Menurut Ibu, karena tidak mempunyai akses, sulit juga untuk kelas bawah mengenal isu ini, jadi relate dengan kaum menengah ke bawah,” tambah Sry. 

Di tengah kondisi ekonomi yang kian terpuruk, tren ini jadi ajang normalisasi terhadap ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan hidup layak. Gaya hidup minimalis kerap dijadikan pembenaran, terutama bagi generasi muda yang berpenghasilan terbatas.

Selain itu, normalisasi ini berpotensi menutupi kenyataan bahwa banyak masyarakat kesulitan memperoleh hak atas pendidikan dan kehidupan yang layak akibat keterbatasan daya beli.

Kendati kemudian, dengan keadaan ekonomi yang lemah akhirnya  menuntut masyarakat untuk cermat pengeluaran mereka dan terpaksa melakukan penyesuaian kebutuhan dengan cepat. Segala kegiatan konsumtif dihentikan dan mulai mendahulukan kebutuhan.

“Gerakan ini membawa efek yang positif. Tapi di sisi lain membuat pengeluaran masyarakat tidak mendorong perputaran ekonomi jadi ekonominya mati juga, orang- orang udah enggak mau berbelanja,  tidak mau konsumtif lagi seperti dulu saving, saving, saving (menabung),” ujar Sry.

Pernyataan Sry ini juga turut didukung oleh studi yang berjudul “Membangun Resiliensi Ekonomi: Strategi Adaptasi Masyarakat Indonesia Terhadap Dampak Perlambatan Ekonomi 2025” oleh Adi Hidayatullah dan Wawan Lulus Setiawan.

Dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa masyarakat menerapkan berbagai strategi, termasuk diversifikasi sumber   pendapatan,   pemanfaatan   teknologi   digital,   serta penguatan  jaringan  sosial  dan  peran  koperasi  sebagai  bentuk ketahanan  di  tengah  krisis  ekonomi.

Munculnya Solidaritas di Tengah Kritik Humor 

Tidak jarang, ditemukan narasi yang bertentangan dengan curhatan masyarakat mengenai keadaan ekonomi saat ini. Beberapa masyarakat justru menimbulkan kesan bahwa penggunaan ‘in this economy’ terlalu berlebihan untuk menggambarkan keadaan ekonomi yang dirasa baik-baik saja. 

Sry menjelaskan bahwa kondisi seperti ini, justru membawa solidaritas di tengah masyarakat. Sebab, melalui kritik humor ini masyarakat seolah menempatkan masyarakat dalam payung yang sama.

“Ini bisa menciptakan solidaritas di antara masyarakat untuk saling menguatkan. Walaupun tertekan, ya sama-sama ‘in this economy’ ini tertekan masih bisa kita bawa bercanda, sih. Masih bisa untuk let it go jalanin saja. Walaupun kita terlihat baik baik di luar tapi hancur di dalamnya,” sambungnya.

Dirinya menilai dengan adanya solidaritas sesama masyarakat akan timbul sikap skeptis ketika masyarakat menyorot kegagalan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi. 

Masyarakat bersama sama dapat saling memperkuat solidaritas dan tidak menimbulkan kesan tone deaf dalam menghadapi tekanan ekonomi ini. Karena dengan adanya kesadaran kolektif maka diharapkan akan adanya perubahan ke arah lebih baik oleh pemerintah. 

Ketika dia mempunyai kepekaan, (dalam artian) tidak tone deaf gitu, ketika masyarakat merasakan seperti itu, turutlah untuk saling menguatkan, untuk saling merasa solidaritas, itulah yang muncul dari gerakan ini,” tuturnya. 

 

Ilustrasi: Calvin

Reporter: Santi | Editor: Ummu Hani

 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *