Kewenangan Trias Politica di Balik Indonesia Cemas

CategoriesOpini

Lebih dari dua dekade pasca reformasi, demokrasi Indonesia tetap menjunjung semangat Trias Politica. Namun dalam praktiknya, distribusi kekuasaan kerap diwarnai saling lempar tanggung jawab, terutama saat keputusan kontroversial seperti kenaikan tunjangan DPR RI yang dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat yang juga ditempa tingginya kenaikan pajak.

Aspirasionline.com – Dalam beberapa pekan terakhir, wacana politik nasional diramaikan oleh polemik kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dilansir dari Tempo yang berjudul Ini Alasan Anggota DPR Dapat Tunjangan Perumahan Rp 50 Juta per Bulan pada (18/8), Sekretariat Jenderal DPR RI  menyatakan tunjangan rumah anggota DPR naik menjadi Rp50 juta per bulan, menggantikan fasilitas rumah dinas yang dihapus karena dinilai tidak ekonomis. Ditambah dengan tunjangan bahan bakar, beras dan lainnya hingga Rp7 juta, total pendapatan seorang anggota DPR kini bisa mencapai Rp70–120 juta per bulan. 

Keputusan ini dinilai sebagai bentuk pengkhianatan moral terhadap rakyat, terutama di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih sulit. Masyarakat kecil harus terus berjuang menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok dan beban pajak, sementara wakil rakyat justru sibuk menambah kenyamanan hidupnya

Di tengah polemik ini, Istana Kepresidenan Indonesia mencoba mengambil jarak dengan menyatakan bahwa hal tersebut bukan keputusan eksekutif. Dilansir dari BeritaSatu yang berjudul Polemik Kenaikan Tunjangan DPR, Istana Angkat Bicara pada (28/8), juru bicara Presiden menegaskan bahwa kenaikan itu sudah diperhitungkan oleh Kementerian Keuangan dan menjadi urusan DPR. Namun, publik tetap menilai Presiden sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab, bukan hanya karena posisinya sebagai kepala eksekutif, tetapi juga sebagai simbol negara.

Mengurai Salah Kaprah Trias Politica di Indonesia

Indonesia mengadopsi sistem presidensial yang berlandaskan prinsip Trias Politica (politik tiga serangkai) sebagaimana diperkenalkan Montesquieu. Konsep ini menegaskan bahwa kekuasaan negara harus terbagi menjadi tiga yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 

Setiap cabang memiliki fungsi jelas. Legislatif membuat undang-undang, eksekutif melaksanakan undang-undang, dan yudikatif menegakkan hukum. Pemisahan ini bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di tangan satu pihak dan menjamin keseimbangan politik.

Namun, Indonesia tidak menganut Trias Politica secara murni sebagaimana dirumuskan Montesquieu. Sebagaimana yang ditulis dalam Jurnal berjudul Indonesia tidak menganut Trias Politika (2025), praktik politik di Indonesia menunjukkan bahwa kekuasaan legislatif sering kali lebih condong pada kepentingan partai daripada kepentingan rakyat. 

Hal ini tercermin dari dukungan sebagian anggota DPR terhadap kebijakan eksekutif yang kontroversial, seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Selain itu, pengangkatan pejabat di lembaga yudikatif maupun lembaga independen kerap melibatkan campur tangan Presiden dan DPR. Fenomena ini menunjukkan adanya tumpang tindih kekuasaan, di mana sebagian anggota legislatif sekaligus menjadi bagian dari kekuatan eksekutif melalui koalisi politik.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, meskipun dalam proses pembentukan Undang-Undang (UU) harus bekerja sama dan mendapat persetujuan dari lembaga legislatif tersebut. Dengan demikian, Presiden memiliki kedudukan yang independen dari DPR, namun tetap memiliki peran penting dalam proses legislasi bersama lembaga tersebut.

Didukung melalui Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 5 ayat (1), Presiden memegang kekuasaan membentuk kebijakan negara dan memimpin pemerintahan. Pasal 7 menegaskan Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, sedangkan Pasal 20 ayat (1) menyatakan DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Meski terlihat terpisah, Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 menyebutkan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan DPR harus mendapat persetujuan Presiden.

Dengan kata lain, setiap kebijakan DPR yang berdampak luas, termasuk kebijakan publik dan tunjangan anggota, berhubungan langsung dengan Presiden. Koalisi politik yang mendukung Presiden di DPR membuat posisi eksekutif dan legislatif tidak bisa sepenuhnya terpisah. 

Menurut Miriam Budiardjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik (2008), pemisahan ini tidak berarti masing-masing lembaga berdiri sendiri tanpa koordinasi. Justru setiap lembaga wajib saling mengawasi (checks and balances) agar kekuasaan tidak disalahgunakan.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa Presiden, melalui menteri perwakilannya, tetap memiliki kekuatan konstitusional untuk menolak RUU yang dianggap tidak sesuai dengan politik hukum atau konstitusi. 

Hal ini pernah terjadi pada tahun 2019, Presiden Jokowi menolak empat usulan revisi terhadap UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan oleh DPR. Presiden menyatakan bahwa ia tidak setuju terhadap substansi RUU tersebut karena berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK.

Artinya, sebesar apa pun kewenangan DPR, Presiden tetap memiliki ruang untuk melakukan koreksi politik melalui sikap dan komunikasi publiknya. Karena itu, Presiden Prabowo tidak bisa sekadar berlindung di balik argumen itu urusan legislatif ketika publik menuntut keadilan.

Naik Gaji di Senayan, Rakyat Dihantam Kenaikan Pajak

Bulan kemerdekaan Indonesia menjadi kabar buruk kala kenaikan tunjangan DPR RI hadir di tengah dinamika ekonomi Indonesia. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan target penerimaan negara dari sektor perpajakan pada tahun 2026 sebesar Rp2.35 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 13,51% dibandingkan dengan target pajak dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang mencapai Rp2.07 triliun.

Tak lama dari kabar itu, kabar kenaikan tunjangan DPR RI ramai diperbincangkan bak mencekik daya ekonomi masyarakat seolah pemerintah Indonesia menggunakan kewenangannya dalam fungsi anggaran tanpa mempertimbangkan sensitivitas sosial. 

Dilansir dari AspirasiOnline yang berjudul Gelar Aksi Depan Gedung DPR, Masyarakat Tuntut Kesejahteraan Ekonomi di Indonesia pada (28/8), ribuan buruh dan mahasiswa menggelar aksi di depan DPR menuntut kesejahteraan, mulai dari kenaikan upah, penghapusan outsourcing (tenaga kerja yang disediakan oleh perusahaan lain), hingga pengesahan RUU Perampasan Aset. 

Sarino dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), menegaskan bahwa meskipun buruh bisa menambah penghasilan dengan lembur, hal tersebut tak memberikan dampak nyata dikarenakan beban pajak yang semakin tinggi. 

Ditambah lagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2025), rata-rata gaji bulanan pekerja mencapai Rp3.09 juta  tentunya tidak sebanding dengan penetapan pajak yang digadangkan untuk APBN tersebut.

Ketika masyarakat mulai mempertanyakan kebijakan tersebut, DPR RI terlihat memilih untuk diam bahkan semakin percaya diri bertindak semena-mena. Padahal, dalam situasi krisis ekonomi, perwakilan rakyat bahkan simbol kehadiran Presiden jauh lebih penting daripada sekadar menyalahkan prosedur legislatif.

Kekecewaan masyarakat terhadap DPR memuncak setelah sikap legislatif dinilai semakin semena-mena. Dilansir dari Tempo yang berjudul Rumah Ahmad Sahroni Digeruduk Massa: Mobil Mewah hingga Uang Dirusak dan Dijarah pada (30/8), rumah anggota DPR dari Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni, di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, digeruduk ratusan massa. Aksi ini dipicu oleh pernyataan Sahroni yang meremehkan wacana pembubaran DPR, menyebut kritik terhadap lembaga legislatif sebagai berlebihan dan melabeli pengkritik sebagai orang tolol.

Aksi ini menandakan bahwa publik tidak hanya menolak kebijakan yang memberatkan, tetapi juga menuntut Presiden hadir menjawab keresahan mereka. Trias Politica bukan alasan untuk bersembunyi, melainkan panggilan bagi Presiden berdiri paling depan, menggunakan kewenangan konstitusionalnya, dan mengembalikan kepercayaan rakyat.

Menariknya, respons Presiden Prabowo sejauh ini lebih terfokus pada instruksi kepada aparat keamanan. Dilansir dari Kompas yang berjudul Presiden Prabowo Instruksikan TNI dan Polri Tindak Tegas Unjuk Rasa Anarkistis pada (30/08), Presiden memerintahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menindak tegas unjuk rasa yang bersifat anarkis. Meski tindakan ini penting untuk menjaga ketertiban, sikap ini dinilai belum menyentuh akar permasalahan yang memicu kemarahan publik, seperti ketidakadilan anggaran dan pengabaian aspirasi rakyat.

Langkah yang bisa diambil Presiden termasuk evaluasi besar-besaran DPR RI, audit transparansi anggaran, perlindungan publik, dan dialog terbuka dengan masyarakat. Reset semacam ini tidak hanya menenangkan publik, tetapi juga memperkuat legitimasi Presiden sebagai pemimpin yang hadir ketika sistem politik diuji.

Rakyat menuntut Presiden menampakkan wujud kepemimpinannya menjadi pengambil keputusan yang hadir di garis depan, bukan sekadar menyampaikan pernyataan. Masyarakat menunggu eksekutif yang bertindak tegas, menegur lembaga legislatif, memastikan keselamatan dan kesejahteraan, serta bertanggung jawab penuh secara moral dan konstitusional.

 

Foto: ASPIRASI/Zhufar

Reporter : Akbar Syah | Editor : Nabila Adelita

 

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *