Lunturnya Makna Kebhinekaan Melalui Data Kependudukan
Manusia lahir sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Mereka diberi akal sehat dan perangai yang baik agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam menjalani kehidupan sosial di masyarakat, seorang individu dihadapkan dengan berbagai kategori kelompok, salah satunya ialah kelompok dalam hal keyakinan.
Perbedaan dapat menciptakan dua hal yang bertolak belakang, yakni kerukunan dan perpecahan. Di era modern ini, pergesekan antar individu maupun kelompok bukanlah menjadi hal yang tabu di kalangan masyarakat. Namun saat ini, permasalahan yang timbul biasanya dikaitkan dengan keyakinan. Lantas apakah keyakinan dapat dikatakan menjadi sumber masalah jika setiap masalah dikaitkan dengan keyakinan?
Salah satu permasalahan yang saat ini tengah ramai diperdebatkan oleh masyarakat Indonesia ialah perihal pengisian kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Perdebatan ini timbul karena adanya kontras penuturan dari berbagai pihak mengenai boleh atau tidaknya kolom agama tersebut diisi oleh kepercayaan diluar enam kepercayaan umum di Indonesia.Hal tersebut dapat menjadi wadah timbulnya diskriminasi terhadap para penghayat kepercayaan.
Arief Hidayat selaku ketua Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”. Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5).
Kontras dengan penuturan diatas, sekitar 200 dari 3.500 anggota suku Orang Rimba atau Anak Dalam di Jambi pindah dari kepercayaan Animisme dan masuk agama Islam agar hidup lebih sejahtera dan mendapatkan KTP. Menurut Muhammad Yusuf selaku pemimpin kelompok, setelah mereka hijrah keyakinan dari Animisme menjadi Islam pihak pemerintah mulai memperhatikan mereka.
Sejalan dengan kasus tersebut, di Sumba Timur seorang penganut kepercayaan Komunitas Marapu Nggay Mehang Tana mengeluh mengalami kesulitan dalam banyak hal. Misalnya, perkawinan antar-pemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakukan secara adat tidak diakui oleh negara. Akibatnya anak-anak mereka kesulitan mendapat akta kelahiran dan KTP elektronik. Untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama di luar kepercayaannya pada KTP elektronik. Jumlah mereka pun terus menyusut secara drastis dari waktu ke waktu karena mengikuti aturan administrasi.
Saat ini, Kementrian Dalam Negeri bersama Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merumuskan sejumlah opsi pengisian kolom agama di KTP elektronik bagi para penghayat kepercayaan. Opsi pertama adalah dengan menuliskan “penghayat kepercayaan”. Kedua dengan menuliskan “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama-nama aliran kepercayaan yang dianut sesuai dengan nama organisasi mereka.
Dalam berbagai penuturan diatas telah tersirat secara jelas bahwa makna sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia, belum diimplementasikan dengan baik. Selain itu, pemerintah sepertinya turut melunturkan makna Kebhinekaan yang telah mengalir dalam jiwa masyarakat Indonesia.
Pemerintah secara tidak sadar telah berlaku tidak adil dengan masyarakatnya. Masyarakat yang menganut kepercayaan umum memiliki akses mudah dalam hal administrasi kependudukan, sedangkan mereka yang menganut kepercayaan lain secara turun temurun diharuskan melanggar adat istiadatnya dengan cara hijrah ke kepercayaan yang diakui oleh pemerintah. Padahal telah dijelaskan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu,dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Untuk mendukung kedua pasal diatas telah dicantumkan pula dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Seharusnya pemerintah sadar jika masyarakat senantiasa mengikuti aturan yang diterapkan walaupun terkadang peraturan yang dibuat tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat. Untuk menyelesaikan polemik tersebut, pemerintah harus memikirkan secara matang alternatif penyelesaian yang dapat bersifat adil bagi masyarakatnya.
Untuk mewujudkan persatuan bangsa tidak hanya melalui penuturan dalam kalimat semata, tetapi harus ada implementasi secara nyata. Pemerintah yang dianggap sebagai pemimpin harus dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakatnya agar toleransi dalam berbagai hal yang menyangkut perbedaan dapat terwujud dan tidak ada lagi diskriminasi antar masyarakat.
Oleh : Syafira Annisa Ferdiani, mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES), semester IV.