Berbeda dengan berita harian dalam mengupas isu dan peristiwa, indepth reporting hadir untuk menyingkap permasalahan istimewa dari akar hingga batang tubuh permasalahan. Karakterisasi indepth reporting menjadikan kepentingan publik sebagai kiblat menunjukkan keberpihakan penuh jurnalis terhadap publik.
Aspirasionline.com – Pikiranku masih berkabut. Sudah hampir dua tahun aku rutin menulis di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), tetapi pikiranku belum juga tajam mengarah pada satu jenis tulisan paling mistik.
Indepth, tulisan paling mistik sepanjang aku hidup. Pasalnya, membalut isu mendalam dengan tulisan yang membuat mata pembaca tetap segar bukanlah perihal mudah.
Ada satu jurnalis yang tulisan indepth-nya tak habis-habis membuat aku takjub. Namanya Francisca Christy Rosana, dia akrab disapa Cica. Hari itu, Minggu, (29/6) dia hanya berjarak sekitar delapan langkah dari tempatku duduk.
Di Auditorium lantai 8 Gedung Medical Education and Research Center (MERCe) Kampus Limo Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), kedatangan Cica mengundang bisik-bisik sayup dari khalayak. Udara di sekelilingnya terasa lebih pekat dibandingkan udara lain di ruangan.
Bertepatan dengan tema Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) ke-40 yang mengusung jargon “Mengabdi Lewat Kata, Menjaga Demokrasi Bersama”, pengenalan materi indepth reporting selaras dengan keahlian Cica sebagai pemateri. Lugas, Cica memantik diskusi hari itu dengan kalimat apik yang masih melekat dalam ingatanku.
“Bahwa berita sebetulnya tidak hanya berangkat dari kita sebagai penulis menuliskan sudut pandang orang ketiga. Tetapi juga bisa berangkat dari sudut pandang orang pertama,” singkap Cica di depan audiens pada hari Minggu, (29/6).
Mengupas Lebih Dalam dan Menyelam Lebih Jauh dengan Indepth Reporting
Indepth reporting, sebut Cica, kerap disalahartikan oleh sebagian orang sebagai tulisan investigasi.
Padahal, berbeda dengan investigasi yang menitikberatkan tulisan pada pembuktian, menurut Cica, indepth reporting lebih berfokus pada penjelasan suatu peristiwa atau suatu skandal.
“Bedanya investigasi dengan indepth, indepth itu menjawab lebih ke bagaimana dan mengapa, tapi investigasi lebih pada pembuktian,” jelas Cica.
Lebih lanjut, Cica menjelaskan bahwa karakteristik tulisan indepth terletak pada bentuk tulisannya yang feature (tulisan bertutur). Sehingga, jika dibandingkan dengan berita straight news (berita langsung), tulisan indepth cenderung ditulis dengan gaya naratif yang kaya deskripsi, dengan mengurai reportase yang dilakukan.
“(Indepth) lebih pada reportasenya. Menggambarkan dulu reportasenya, lalu tidak langsung mengatakan siapa yang mengatakan apa, tapi tulisannya itu lebih pada tulisan-tulisan yang sifatnya kayak cerita,” ungkap Cica lebih lanjut.
Jenis topik yang diangkat dalam tulisan indepth reporting juga menjadi poin penting di pembahasan hari itu. Cica menyorot, dengan memakan waktu yang cukup lama, indepth reporting hadir untuk menyingkap permasalahan istimewa dari akar hingga ke batang tubuh permasalahan. Hal ini yang menjadikan indepth reporting berbeda dengan berita-berita harian.
“Nah, biasanya liputan indepth ini harus sesuatu yang istimewa. Kenapa istimewa? karena kalau tidak istimewa, sudah muncul di mana-mana jadi berita-berita harian. Tetapi indepth ini harus lebih istimewa daripada straight news,” ujarnya.
Penjelasan soal indepth reporting semakin menarik ketika Cica menguliti sedikit demi sedikit pengalamannya saat menulis indepth. Dengan hafal, dia bercerita bahwa liputan indepth yang ia tulis tidak datang begitu saja, melainkan selalu bermula dari data dan fakta sebagai pemantik.
“Biasanya liputan ini tidak datang begitu saja. Liputan ini biasanya berawal dari dokumen, berawal dari data, (dan) harus ada data awalnya dulu. Ketika kami menulis soal revisi Undang-undang (UU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau pembentukan Danantara, itu kami berangkat dari naskah revisi UU, susahnya minta ampun. Kami dapat dari seseorang Tenaga Ahli di DPR,” ungkap Cica.
Semakin jauh penjelasan, Cica semakin membuatku yakin bahwa indepth memang benar tulisan mistik. Pasalnya, dalam pemaparan, Cica menjelaskan bahwa indepth reporting menjadikan kepentingan publik sebagai kiblat utama penulisan.
Hal ini merupakan bukti yang menunjukkan memang keberpihakan jurnalis harus kepada publik. Cica sebut, berita adalah milik publik. Sehingga, dari proses awal penentuan isu hingga arah tulisan, harus berorientasi pada publik.
“Sebagai penulis, kita harus berorientasi pada pembaca. Berita itukan untuk kepentingan publik. Maka, apa yang paling perlu diketahui publik itulah yang kemudian menjadi kita prioritaskan. Kita itu nulis bukan untuk satu dua orang. Berita itu bukan untuk penulis, berita itu milik publik. Publik berhak mendapatkan informasi yang lengkap,” tambahnya.
Akhirnya, aku mengerti. Setelah mencerna dari hulu ke hilir, bahwa yang membuat tulisan indepth terasa begitu mistik bagiku adalah hadirnya tokoh utama dalam tulisan indepth. Cica menjabarkan, penentuan tokoh menjadi kunci penting sebagai navigator untuk dapat mengulik lebih luas peristiwa dalam indepth reporting.
“Karena setiap liputan indepth itu harus ada tokohnya. Dalam tata kami di redaksi selalu ditanya ‘ini siapa dalangnya?’, ‘ini siapa aktornya?’ kalo tidak ada dalangnya tidak ada aktornya dicari dulu karena setiap skandal itu ada aktornya. Tiap kebijakan yang nyeleneh itu ada aktornya,” pungkas Cica.
Foto: Calvin/LPM ASPIRASI
Reporter: Ihfadzillah Y | Editor: Abdul Hamid