Kasus grup fantasi sedarah di Facebook pada Mei lalu menambah daftar kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Komnas Anak menilai lemahnya pengawasan digital dan regulasi yang sudah tidak relevan menjadi salah satu masalah utama.
Aspirasionline.com — Pada bulan Mei lalu, dunia maya digegerkan dengan sebuah kasus yang mengundang kontroversi besar, yakni mencuatnya grup fantasi sedarah di Facebook. Kasus ini viral setelah beredarnya tangkapan layar percakapan di sebuah grup yang membahas konten penyimpangan seksual terhadap anggota keluarga sendiri, atau yang lebih dikenal dengan inses.
Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Reublik Indonesia (Bareskrim Polri) telah menangkap enam anggota yang aktif membagikan konten asusila terkait fantasi inses serta pornografi kepada anak di bawah umur. Keenam tersangka diketahui memiliki motif berbeda, mulai dari faktor ekonomi hingga kepuasan fantasi seksual.
Agustinus Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), mengungkapkan kekhawatirannya atas viralnya kasus ini. Menurutnya, penyebaran kasus fantasi sedarah berpotensi memicu reaksi penasaran masyarakat lainnya.
“Kejadian (kasus) fantasi sedarah ini benar-benar tidak kita inginkan muncul sebetulnya, karena itu juga bisa jadi memunculkan reaksi yang tadinya tidak punya pemikiran seperti itu akhirnya jadi punya (pemikiran yang sama) gitu,” ungkap Agustinus saat diwawancarai ASPIRASI pada Rabu, (9/7).
Kasus kekerasan seksual terhadap anak juga semakin meresahkan. Komnas Anak mencatat sebanyak 3.400 kasus pelecehan anak dan ini terus menunjukkan peningkatan, bahkan sampai pada tahap mengkhawatirkan.
“Kalau tahun lalu kita sebutnya keadaan anak Indonesia itu adalah abnormal, tapi tahun ini diatasnya abnormal. Kalau tahun lalu kita bilang Indonesia zona merah sekarang zona hitam,” ungkapnya.
Agustinus menilai maraknya konten tidak senonoh di platform digital dipicu minimnya literasi digital masyarakat dan kurangnya pengawasan, baik dari pemerintah maupun orang tua. Anak-anak pun mudah mengakses berbagai konten tanpa penyaringan.
“Kita perlu menyusun standarisasi konten digital sehingga mana yang boleh (diakses) dan yang tidak. Tetapi kan ini enggak, semua bebas (diakses) gitu, (persoalan) ini perlu diangkat,” tambahnya.
Tidak Lagi Relevan, Komnas Anak Desak Revisi UU Penyiaran dan UU Peradilan Anak
Komnas Anak menilai terungkapnya grup asusila ini merupakan bentuk dari lemahnya standarisasi pengawasan di ruang digital. Undang-Undang (UU) Penyiaran yang berlaku saat ini dinilai memiliki celah dalam menyaring informasi berbasis digital.
“Ketika berita ini keluar jadi viral, sebaiknya kami juga punya sikap bahwa ini saatnya untuk merevisi UU Penyiaran. Karena UU Penyiaran yang kita gunakan sekarang itu Undang-Undang tahun 2002, waktu itu hanya mengatur radio dan televisi, waktu itu media sosial belum ada,” tukasnya.
Komnas Anak pun mendorong usulan revisi UU Penyiaran kepada Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Menurut Agustinus, UU yang sudah berusia 23 tahun itu sudah tidak relevan untuk mengontrol konten digital seperti grup penyimpangan di media sosial.
“Kemarin kita juga sudah sampaikan ke rapat dengar pendapat umum ke Komisi I, segera merevisi. Bagaimana mungkin Undang-Undang usianya 23 tahun yang enggak relevan lagi dengan keadaan yang sekarang. Itu untuk yang fantasi sedarah,” ujarnya.
Dengan revisi UU Penyiaran, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan dapat diperluas untuk mengawasi konten di media sosial, tidak hanya media konvensional.
“Perlunya Undang-Undang (penyiaran) direvisi supaya bisa Komisi Penyiaran tidak hanya membatasi atau mengawasi tentang konten TV dan radio, tetapi sosmed (sosial media) yang lagi sangat masif menayangkan berita apapun tanpa ada pengawasan dari pemerintah,” tukasnya.
Tak hanya mengusulkan revisi UU Penyiaran, sejak satu tahun lalu Komnas Anak lantang menyuarakan perihal revisi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) kepada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Indonesia.
Dalam pengamatan Komnas Anak, implementasi UU SPPA saat ini sudah tidak sesuai dengan realitas yang ada. Dua tahun terakhir, tren anak sebagai pelaku kekerasan seksual terus meningkat, tetapi solusi hukum yang diberikan hanya berupa pembinaan.
“Bagaimana mungkin hukumannya hanya pembinaan sementara yang dia lakukan adalah perbuatan orang dewasa, pelecehan seksual, pemerkosa, sampai membunuh begitu,” pungkas Agustinus.
Gambar: TribataNews Polri
Reporter : Syafira | Editor : Azzahwa