Dirancang Sebagai Solusi Kemacetan, Kebijakan ERP Justru Banyak Menuai Kontra
Kebijakan jalan berbayar atau ERP menuai banyak kontra. Perlunya keterkaitan seluruh lapisan masyarakat dalam pembuatan kebijakan serta ketersediaan fasilitas transportasi umum menjadi problematika utama.
Aspirasionline.com – Sebagai kota metropolitan, kemacetan sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari bagi warga Jakarta. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk mengurangi kemacetan, salah satunya dengan rencana penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di 25 ruas jalan Jakarta.
ERP merupakan sebuah sistem jalan berbayar yang tengah dicanangkan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan tujuan mengurangi kemacetan. Alih-alih bakal mengimbau pengguna kendaraan pribadi untuk menaiki transportasi umum, kebijakan ini justru menuai banyak kontra.
Khodijah, salah satu pengguna transportasi umum mengaku menolak ERP. Sebagai mahasiswi yang tinggal dan banyak beraktivitas di Jakarta, ia mengaku penerapan ERP dirasa kurang efektif. Terlebih, menurutnya layanan transportasi umum belum maskimal.
“Misalnya mereka dikenain biaya, mereka kan pindah nih ke transportasi umum, nah sedangkan transportasi umum kita aja belum maksimal banget,” tutur Khodijah saat dikonfirmasi pada Kamis, (16/2).
Masalah yang paling ia rasakan yaitu pada stasiun KRL. Menurutnya, ada beberapa stasiun yang ia perhatikan tidak pernah mengalami perubahan fasilitas sama sekali, salah satunya Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Aku kan sering ngelewatin Tanah Abang, ya. Itu dari dulu aku lewat situ enggak berubah, gitu aja (fasilitasnya). Jalurnya pun segitu aja, cuma ada dua peron. Jadi bolak-balik peron sebelah kiri sama sebelah kanan,” ujarnya.
Mahasiswi itu juga beranggapan, stasiun yang mengalami banyak perubahan setelah direvitalisasi, seperti Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, pun belum ada peralihan fungsi secara maksimal.
Stasiun Manggarai yang menjadi stasiun sentral dan pusat transit itu, menurut Khodijah, justru menyita lebih banyak waktu dan membuatnya harus berdesak-desakkan di stasiun tersebut.
“Tapi segitu banyak menunjukkan perubahan aja, menurut aku masih belum maksimal soalnya aku masih sering ngalamin desek-desekan di Manggarai,” ucapnya.
Rizqi, seorang pekerja yang menggunakan kendaraan pribadi yang kerap melintasi daerah Kuningan, Jakarta Selatan, salah satu jalan yang masuk ke dalam 25 ruas jalan berbayar, juga mengaku tidak setuju dengan kebijakan ERP.
“Dari aku sih enggak setuju ya, apalagi setiap hari tuh lewat jalan yang memang bakal diterapin (kebijakan ERP),”
Ia menyebut, kebijakan ERP membuatnya keberatan karena harus mengeluarkan uang lebih untuk membayar ruas jalan yang ia lewati menuju tempat kerjanya.
“Bakal tekor juga setiap hari bayar (jalan berbayar tersebut). Kalau dihitung per minggu aja kan udah lumayan (jumlahnya),” ungkapnya kepada ASPIRASI pada Jumat, (17/2).
Berbagai penolakan juga ditunjukkan oleh pengemudi ojek online dan pengemudi taksi konvensional. Mereka sama-sama menolak kebijakan ERP, mengingat penghasilan pengemudi transportasi ojek maupun taksi dihitung dari per hari mereka mendapat penumpang.
Iwan Anre, salah satu driver ojek online mengutarakan bahwa penerapan ERP akan merugikannya. Menurutnya, jika kebijakan ERP nantinya akan diterapkan, pihak perusahaan harus menaikkan tarif pada aplikasi atau tarif ERP dibebankan pada penumpang.
“Buat sehari-hari aja kadang (pendapatannya) pas, Mbak. Saya kan juga sudah berkeluarga, punya anak juga,” keluh Iwan kepada ASPIRASI pada Sabtu, (18/2).
Adapun, Robi, salah satu pengemudi taksi konvensional, turut merasa dirugikan dengan adanya kebijakan ERP. Baginya, kenaikan tarif tidak mungkin dilakukan oleh pihak perusahaan, mengingat jangka waktu yang diperlukan untuk perubahan akan cukup lama.
“Merugikan supir jatuhnya. Otomatis ‘kan larinya (berdampak) ke supir, bukan dari pihak perusahaannya,” ujarnya pada Selasa, (21/2).
Sepakat dengan Iwan, Robi juga menyarankan agar nantinya tarif ERP dibebankan pada penumpang, seperti pada pembayaran E-toll selama ini.
Efektivitas Penerapan ERP Dari Kacamata Pengamat Kebijakan Publik
Fatkhuri, Dosen Kebijakan Publik, Program Studi Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), masih belum melihat efektivitas yang dapat dibawa ERP sebagai solusi kemacetan di Jakarta.
Dengan gamblang, ia menjelaskan jika kebijakan ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa dibarengi dengan perancangan sistem transportasi yang baik serta tersedianya infrastruktur, integrasi transportasi, dan pusat parkir.
Ia khawatir jika ERP ini nantinya hanya akan mengulang kembali kebijakan DKI Jakarta seperti ganjil genap dan 3 in 1 yang belum menuai hasil yang signifikan dalam mengurangi kemacetan.
“Akan ada banyak implementation gap, kebijakan yang diterapkan tidak sesuai dengan tujuan. Tujuannya mengurangi kemacetan, tapi bisa saja akan melahirkan kemiskinan, kriminalitas, dan akan memindahkan pusat kemacetan dari 25 ruas jalan pemukiman ke sekitar 25 ruas jalan ini. Maka ini enggak akan menyelesaikan masalah,” ungkap Fatkhuri kepada ASPIRASI pada Rabu, (1/3).
Berkaca pada Singapura dan Swedia yang telah sukses melaksanakan ERP, Fatkhuri menjelaskan lebih lanjut jika kebijakan di dua negara tersebut tidak serta merta diterapkan tanpa adanya kesiapan yang matang.
Swedia sendiri memerlukan strategi referendum yang dapat memastikan jika ERP bisa diterapkan. Selain itu, kuat atau tidaknya kondisi pemerintahan suatu negara memegang posisi krusial dalam keberhasilan kebijakan ini, sebagaimana Singapura yang mampu menciptakan budaya kondusif di negaranya.
Baik Singapura dan Swedia memiliki sistem transportasi yang dinilainya lebih maju, ditambah dengan integrasi transportasi yang saling terjalin. Bukan hanya itu, peningkatan kendaraan yang berada di dua negara tersebut tidak sebesar Jakarta.
“Beda dengan Jakarta. Masyarakatnya plural, civil society-nya kuat. Keberadaan masyarakat sangat penting. Kalau mereka (masyarakat, red.) tidak terlihat, kebijakan tidak akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat, penolakan akan semakin besar,” tegasnya.
ERP Bukan Solusi, Tapi Bentuk Diskriminasi
Sebagai solusi yang ditawarkan dalam mengatasi kemacetan, alih-alih dapat menjawab permasalahan tersebut, ERP bagi Fatkhuri hanyalah wujud diskriminasi bagi kaum menengah ke bawah.
Dengan ERP, jalan yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang, nantinya justru hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
“Kalau masyarakat tidak memiliki kemampuan berbayar, tidak bisa mengakses. Artinya akan ada pergeseran pemanfaatan jalan. Ini yang sebetulnya tidak melalui kajian yang komprehensif, agak tergesa-gesa, padahal ini memangkas hak para manusia,” jelas Fatkhuri.
Tidak lupa, Fatkhuri juga menyoroti angka kemiskinan kelompok pinggiran Jakarta yang tidak sedikit. Penerapan ERP yang awalnya bertujuan untuk mengurangi kemacetan, justru akan turut berakhir menambah beban ekonomi masyarakat kelompok menengah ke bawah.
Belum lagi, beban ekonomi ini nantinya dapat berpotensi berdampak pada peningkatan angka kriminalitas.
Sebagai informasi, tarif kebijakan ERP berkisar antara Rp5.000 hingga Rp19.000. Jika diakumulasikan pada aktivitas masyarakat kecil yang membutuhkan akses pada ruas-ruas jalan berbayar tersebut, maka jumlah tarif yang dibebankan akan sangat meresahkan mereka.
Oleh karena itu, menurut Fatkhuri, kebijakan ERP ini masih memerlukan kajian dalam naskah akademik, membutuhkan riset yang banyak, dan perlu melibatkan stakeholder.
Lebih lanjut, Fatkhuri menyarankan pemerintah untuk lebih banyak melibatkan partisipasi publik yang melibatkan pakar, akademisi, peneliti, asosiasi transportasi, masyarakat sekitar, serta pengguna jalan yang setiap hari melintasi Jakarta.
Pelibatan partisipasi ini yang seharusnya menjadi penentu apakah kedepannya kebijakan ERP akan sukses atau justru menjadi sia-sia.
“Kalau mereka tidak dilibatkan, maka kebijakan ini bias kepentingan,” tegasnya.
Foto: Teuku Farrel.
Reporter: Mahalia Taranrini, Alya Putri | Editor: Daffa Almaas.