Pelaksanaan Earth Hour di Tengah Wabah Covid-19
Meski pandemik Covid-19, Earth Hour tetap dilakukan pada Sabtu, 28 Maret mulai pukul 20.30 sampai 21.30.
Aspirasionline.com – Komunitas Earth Hour bersama World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia kembali memperingati Earth Hour dengan gerakan switch-off atau mematikan lampu dan semua barang elektronik selama satu jam. Earth Hour ini dilaksanakan pada Sabtu, 28 Maret, dimulai pukul 20.30 sampai dengan 21.30.
Dalam konferensi pers via daring, Komunitas Earth Hour dan WWF mengundang pembicara, antara lain Lukas Adhyakso pelaksana tugas Chief Executive Officer (CEO) WWF Indonesia, Tri Satya Putri Naipospos selaku ahli kesehatan dan dokter karantina hewan di Kementerian Pertanian, Arifin Putra seorang public figure yang tergabung di WWF Warrior, Renny Widyanti seorang relawan komunitas Earth Hour di Bogor, dan Erwin lay Managing Director Likee Indonesia.
Menurut Lukas mengatakan bahwa Earth Hour sudah berjalan selama 11 tahun bersama semua WWF di seluruh dunia. Tujuannya mendorong partisipasi publik kepada alam. Acara ini biasanya dirayakan dengan berkumpul. Namun, tahun ini WWF mengambil langkah berbeda karena turut serta bersimpati kepada situasi yang sulit dalam menghadapi Covid-19.
“Tapi inilah juga waktunya kita duduk dan merefleksikan diri tentang apa yang bisa kita sumbangkan kepada alam,” jelas Lukas.
Terlebih lagi, menurutnya makna Earth Hour tak sekedar mematikan lampu dan menghemat energi, gerakan ini juga mampu memberikan waktu kepada alam untuk bisa pulih, dan juga mengetahui bagaimana seharusnya kita mencintai alam.
Renny mengatakan bahwa terjadinya pandemik Covid-19 tak berarti memutuskan aksi-aksi yang menjadi tujuan Earth Hour selama 11 tahun ini. Menurutnya pada tahun ini tetap akan ada aktivitas istimewa: gedung-gedung akan mematikan lampunya. Banyak relawan dan orang yang akan mematikan lampunya sebagai kegiatan simbolik untuk kita benar-benar merenungkan gambaran bumi ke depan untuk anak cucu kita.
“Melakukan social distancing tapi bukan berarti tidak bisa berpartisipasi dalam aktivitas Earth Hour, misalnya ada acara aktivitas Facebook live, Instagram live, atau hal-hal lain yang di mana kita tetap bisa berinteraksi teman-teman,” tuturnya.
Earth Hour dan Covid-19
Walaupun dilakukan secara daring, Renny menyatakan bahwa sudah ada 30 kota yang akan bergabung di Instagram live untuk memeriahkan jalannya Earth Hour. Peringatan Earth Hour Ini juga dimeriahkan dengan diskusi bersama hingga live musik dari masing-masing daerah.
“Kita berharap bukan hanya generasi milenial saja yang ikutan. Generasi milenial ini berada di rumah masing-masing, mereka pasti akan mengajak keluarganya dan tetangganya. Minimal orang awam tahu kenapa mereka matiin lampu, kenapa mereka melakukan hal itu,” kata wanita lulusan Bina Sarana informatika itu.
Erwin juga mengatakan, di tengah pandemik Covid-19 kegiatan Earth Hour yang dilakukan secara virtual daring juga didukung oleh Likee—sebuah aplikasi berbasis video pendek. Setiap orang dapat membuat dan mengirimkan video dengan menggunakan tagar dan dapat dibagikan ke sosial media.
“Likee menginginkan untuk menjadi platform yang memungkinkan pengguna untuk berpartisipasi dalam Earth Hour 2020 era digital, dengan berkolaborasi dengan WWF Indonesia menghadirkan challenge Connect to Earth with Likee,” jelas Erwin.
Selain membahas perihal pelaksaan Earth Hour, Satya atau yang akrab dipanggil Tata ini berpendapat bahwa mewabahnya Covid-19 dikarenakan pemburuan, perdagangan, dan mengkonsumsi satwa liar.
“Zoonotik ini adalah sebuah penyakit yang mengancam bagi keanekaragaman hayati,” jelas Tata.
Lebih lanjut Tata juga mengatakan, ketika Zoonotik ini menyebar nantinya akan terjadi lompatan dari patogen atau agen patogen oleh spesies tertentu. Dia akan berevolusi, bermutasi, dan melompat ke inang barunya.
Menurut Tata, ini adalah peristiwa dimana penyalit zooonotik mulai muncul dan ini diperburuk oleh perdagangan satwa liar, perusakan habitat, dan climate change atau perubahan iklim.
“Salah satu dari virus zoonotik adalah Covid-19,” pungkasnya.
Foto: Google
Reporter: Tamara Mg.| Editor: Syena Meuthia.