Bayang-Bayang Kebermanfaatan yang Menyusutkan Nilai Diri Manusia dalam Novel Metamorfosa Samsa

CategoriesResensi

Judul : Metamorfosa Samsa

Penulis : Franz Kafka

Tahun Terbit : 2018

Genre : Komedi

Dunia kerap menilai manusia dari manfaatnya, membuat mereka yang tak produktif mudah disingkirkan, bahkan oleh keluarga. Lewat Metamorfosa Samsa, Kafka secara tajam memperlihatkan pahitnya hidup kala fungsi menggantikan cinta.

Aspirasionline.comFranz Kafka menceritakan kisah seseorang yang secara bertahap terasing dari dunianya melalui tokoh Gregor Samsa. Gregor adalah seorang pedagang kain keliling yang menopang hidup keluarganya. Semula, Gregor sangat dihormati oleh keluarganya, tetapi keadaan berubah saat ia bangun dari tidurnya dalam keadaan aneh.

Tanpa alasan yang jelas, Gregor mendapati dirinya menjadi seekor serangga. Panik akan kehilangan pekerjaan, ia berusaha keluar kamar untuk menjelaskan kondisinya pada manajer. Namun, ketika melihat wujud Gregor, sang manajer ketakutan dan melarikan diri. Peristiwa itu juga disaksikan keluarga Gregor yang merasa ngeri dan memaksanya kembali ke kamar.

Sejak saat itu, hidup Gregor perlahan berantakan. Bentuknya yang menjijikkan membuatnya tak bisa bekerja dan keluarganya pun mulai menjauhinya.

Penyempitan Nilai Manusia Menjadi Sekadar Peran Sosial

Perubahan bentuk tubuh Gregor membawa perubahan drastis dalam hubungan dengan keluarganya. Selama ia menjadi tulang punggung, Gregor dianggap sebagai andalan keluarga, namun setelah berganti wujud dia justru dianggap sebagai beban dan diabaikan. 

Awalnya, ibu dan adiknya, Grete, menerima kondisi Gregor. Namun, lambat laun mereka disibukkan dengan pekerjaan mereka dan tidak peduli keadaan Gregor yang terasing di dalam kamarnya. 

Saat keberadaan Gregor tidak sengaja diketahui oleh tiga pria penyewa kamar apartemennya, Grete mengeluhkan bahwa ia tersiksa dengan keberadaan Gregor kepada orang tuanya. 

Sesudah harus bekerja begitu keras seperti yang kita lakukan sekarang, mustahil kita bisa menanggung siksaan abadi seperti ini saat sudah di rumah. Aku tidak tahan lagi.” (Halaman 88).

Ucapan itu memperlihatkan pola pikir utilitarian (berhubungan dengan manfaat), manusia dihargai selama ia bermanfaat. Bahkan, Grete yang dulu ditanggung hidupnya oleh Gregor kini menyebutnya monster.

Gregor tak marah kala mendengar ucapan itu, tetapi ia menyadari bahwa dirinya telah menyulitkan keluarganya. Ia berkeyakinan kuat bahwa dengan kepergiannya, setidaknya akan mengurangi satu permasalahan dalam keluarga. 

Habis manis sepah dibuang. Itulah kondisi Gregor dalam keluarganya. Sikap mereka mencerminkan pola pikir kapitalis, ditunjukkan ketika nilai seseorang hanya diukur dari produktivitas, bukan martabatnya sebagai manusia. Kondisi serupa juga tampak pada banyak kasus penelantaran lansia, di mana orang tua yang tak lagi produktif dianggap beban keluarga.

Kasih sayang keluarga dalam cerita ini lebih mirip kontrak emosional, selama Gregor bisa menopang keluarga, ia dicintai, namun ketika tak lagi berguna, ikatan itu seolah tak pernah ada.

Produktivitas dan Tekanan Emosional yang Membebani Sandwich Generation

Sebelum sadar sepenuhnya bahwa dirinya telah berubah, Gregor tetap bersikeras ingin berangkat kerja karena takut dipecat. Kecemasannya dipicu utang keluarga yang harus ia bayar. Gregor menahan diri untuk tidak keluar dari pekerjaan meski merasa tertekan.

“Kalau aku tak harus menahan diri demi orang tuaku, aku pasti sudah sejak dulu keluar dari pekerjaan.” (Halaman 4).

Dedikasi Gregor mengingatkan pada kondisi banyak anak muda masa kini, terutama sandwich generation, generasi produktif yang menanggung beban finansial dari dua generasi sekaligus. 

Mereka bekerja keras menopang keluarga dan kerap mengorbankan diri tanpa ruang untuk mengeluh, fenomena masa kini yang menunjukkan bahwa nilai diri seringkali hanya diukur dari seberapa besar kontribusi finansial yang bisa diberikan.

Ironisnya, setelah Gregor tak lagi menjadi tumpuan, keluarganya yang semula tak berdaya justru bangkit dan mandiri. Namun, kemandirian mereka timbul karena paksaan keadaan, bukan karena ikatan kasih sayang.

Lebih tragis lagi, kematian Gregor justru disambut kelegaan oleh keluarganya, yang seolah lupa akan semua kontribusinya. Hal ini mencerminkan hubungan keluarga yang utilitarian, di mana nilai seseorang ditentukan oleh kegunaannya.

 

Sebagai karya klasik, Metamorfosa Samsa memiliki kelebihan pada kritik sosial yang tajam dan simbolisme yang kuat. Gregor sebagai serangga menjadi metafora keterasingan manusia dalam masyarakat modern. Ceritanya juga relevan hingga kini, terutama bagi mereka yang merasa terjebak dalam tuntutan produktivitas berlebihan.

 

Dalam buku Metamorfosa Samsa, Kafka seolah ingin menunjukkan bahwa kadang rasa cinta dalam keluarga tak lebih kuat daripada ketergantungan. Ketika ketergantungan itu hilang, kasih sayang pun memudar. Kafka berhasil menggugah kesadaran bahwa martabat manusia seharusnya tak hanya diukur dari manfaatnya.

 

Foto: penerbitbaca.com

Reporter: Ghasya | Editor: Safira

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *