Hidden Figures : Praktik Apartheidism dalam Kacamata Psikologi Komunikasi
Apartheid, tak lain merupakan buah dari praktik sosio-politik yang menyenggol kondisi psikologis seseorang yang mendorong seseorang untuk berperilaku sesuai dengan kelompok yang mereka ikuti.
Aspirasionline.com – Penentuan derajat manusia dari warna kulitnya, berujung pada kebijakan politik yang santer terdengar ditelinga: politik Apartheid. Singkatnya, bentuk praktik politik apartheid ini menerapkan sistem pemisahan ras yang dilegalkan. Apartheid inilah yang menjadi landasan penggarapan film yang disutradarai oleh Theodore Melfi dengan judul Hidden Figures, diproduksi 2016 lalu.
Film yang diadaptasi dari sebuah kisah nyata ini mengisahkan tentang peluncuran Friendship 7 – roket Amerika pertama yang diterbangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada tahun 1962. Seperti judulnya, film ini fokus pada sosok-sosok tersembunyi yang berperan penting dalam perencanaan dan persiapan peluncuran serta pendaratan roket tersebut.
Sosok tersembunyi itu merupakan tiga orang wanita jenius berkulit hitam. Sosok “ras kulit hitam” menjadikan mereka sebagai kaum minoritas di Negeri Paman Sam, dan sosok “wanita” melekatkan mereka kepada kaum minoritas di dalam NASA. Ditambah, saat itu, perempuan kurang mendapat perhatian akan kesetaraan hak-nya.
Bagian dari sebuah kaum minoritas inilah yang membawa mereka ke dalam miniatur neraka dengan para iblis yang menguasai mereka. Setiap ketiga wanita ini memiliki permasalahan pelik yang berbeda dalam bergumul di bidangnya masing-masing demi suksesnya peluncuran roket Friendship 7.
Rendahnya kesetaraan hak atas ras kulit hitam di Amerika pada saat itu membuat tiga wanita negro ini dikucilkan. Didalam kantornya, mereka tak diperkenankan untuk menggunakan toilet sebagaimana kaum kulit putih lainnya. Bahkan, termos di ruangan yang disediakan untuk karyawan pun , tidak berlaku bagi ketiga wanita tersebut.
Pembatasan dalam mengenyam pendidikan dan promosi jabatan juga masuk dalam daftar masalah pelik yang harus mereka hadapi. Namun, salah satu dari mereka, Mary Jackson, akhirnya berhasil menjadi insinyur penerbangan Afrika-Amerika pertama di NASA dan Amerika. Pada 1979, ia ditunjuk sebagai Langley Women’s Program Manager, dimana ia memperjuangkan kemajuan wanita semua ras.
Kaitan Psikologi Dalam Konsep Komunikasi Kelompok
Dalam usaha menerbangkan roket Friendship-7, sangat mustahil akan berhasil jika hanya dilakukan oleh individu. Karenanya, untuk sebuah proyek besar itu, diperlukan banyak kontributor dalam satu kelompok agar terlaksana mereka punya target. Sebuah kelompok besar ini bernama NASA. Anggota kelompok dalam NASA mempunyai tanda psikologis, salah satunya sense of belonging (perasaan mengikat-terikat) yang tinggi pada NASA. Perasaan terikat dengan NASA ini dibuktikan dengan sebuah usaha keras demi keberhasilan siklus luncur-darat roket NASA.
Namun, di dalam sebuah kelompok besar ini, terlihat sangat jelas adanya garis batas yang memecah kelompok: kelompok ras kulit putih dan kelompok ras kulit hitam. Sumner, seorang profesor sosiologi, mendikotomikan sebuah kelompok menjadi kelompok Ingroup dan Outgroup.
Dalam praktik apartheid, kelompok ingroup dan outgroup ini terbukti. Ras kulit putih memandang kelompoknya sebagai kelompok Ingroup dan ras kelompok kulit hitam sebagai kelompok Outgoup. Singkatnya, bentuk segregasi identitas kelompok ini disebut dengan We (kami) dan The Others (yang lain/lawan kami). Pegawai NASA negroid dicap sebagai The Others oleh kelompok ras kulit putih, begitu pula sebaliknya.
Pemisahan kelompok ini tentu memengaruhi mental dan psikologis anggotanya dalam berperilaku. Rasa berkuasa yang tertanam dalam diri seorang kulit putih menjadikannya berani dan congkak, mereka juga tidak segan mendiskriminasi orang lain, yang dalam konteks ini adalah orang-orang kulit hitam. Setiap stimulus dan respon yang dilakukan pada ras kulit hitam menjadi cenderung negatif, berbeda dengan sebagaimana mereka memperlakukan sesama mereka. Perbedaan berperilaku ini dilakukan oleh ras putih diberbagai aspek, seperti yang sudah ditulis di muka.
Rasa berkuasa tersebut, dikaitkan lagi dengan buah politik apartheid yang saat itu tampuk kekuasaan didominasi oleh kulit putih – kendati secara historis benua kulit putih itu dulunya adalah benua yang didiami oleh kulit hitam. Tidak ada kata untuk kesetaraan hak bagi ras kulit hitam. Sekiranya begitu yang melekat di persepsi kolektif mereka.
Begitu jauhnya pemisahan kelompok membawa pengaruh pada seseorang dalam berperilaku, hingga mampu membutakan mereka dalam melihat konsep individu. Tak peduli jika ketiga sosok wanita (sebuah individu) ini jenius dan sangat berpengaruh pada keberhasilan NASA. Pokoknya, jika mereka bukan bagian dari ras kulit putih (merupakan bagian dari The Others), tidak ada kata untuk kesetaraan hak bagi ras kulit hitam, lagi-lagi.
Terlepas dari klasifikasi kelompok oleh Sumner, kelompok juga dapat memengaruhi perilaku komunikasi anggotanya. Saat apartheid masih diberlakukan seperti yang digambarkan dalam film ini, terdapat sebuah norma dalam kelompok kulit putih yang memandang ras kulit hitam tidak layak untuk diajak berkomunikasi. Bahkan, harga dirinya terasa jatuh bila mereka menjalin komunikasi dengan ras kulit hitam.
Perilaku konformis yang terjadi dalam kelompok kulit putih demikian kentalnya bagai adat yang tak lekang dari tiap generasi. Kemudian, polarisasi juga lahir sebagai akibat dari konformitas. Polarisasi, menciptakan perbedaan yang ekstrem diantara kedua ras ini. Semisal, pemeran Paul Stafford yang merupakan seorang kulit putih yang berperan cukup penting di NASA, secara gamblang menggambarkan perilaku komunikasinya yang polaris dalam film ini. Ia menganggap ras kulit hitam tidak memiliki kemampuan yang setara dengan ras kulit putih sepertinya.
Setelah polarisasi, kohesivitas juga turut serta sebagai akibat dari konformitas ini. Forsyth, dalam bukunya yang berjudul Group Dynamic memberikan pengertian bahwa kohesivitas kelompok merupakan kesatuan yang terjalin dalam kelompok dan menikmati interaksi satu sama lain. Kohesivitas yang terjadi dalam kelompok NASA hanya dinikmati oleh mereka ras kulit putih. Mereka memiliki ketertarikan anggota secara interpersonal pada satu sama lain, tentu hanya sesama kulit putih. Bagi ras kulit hitam, kohesivitas ini merugikan karena mereka bukan bagian dari kebanyakan. Mereka tidak merasa memiliki kesamaan dalam kelompok tersebut, dalam konteks warna kulit dan ras.
Situasi dimana ras Amerika-Afrika dipinggirkan dan direndahkan, membuat kehadiran mereka di NASA tak diapresiasi. Dalam sebuah kelompok, seorang anggota juga mengalami apa yang disebut inklusi, yaitu perasaan cemas dalam menyesuaikan diri. Hal inilah yang dirasakan ketiga sosok tersembunyi di dalam NASA. Mereka sulit menyesuaikan diri di miniature sebuah neraka, seperti yang saya tamsilkan diawal. Tidak hanya inklusi, ketiga sosok tersembunyi ini juga mengalami afeksi yang berkekurangan (underpersonal) atau rasa kasih sayang yang kurang. Kekurangan afeksi ini mereka rasakan juga disebabkan oleh adanya stigma – bodoh dan kriminalis – oleh kelompok kulit putih terhadap kelompoknya. Mereka selalu dipandang sebelah mata dan diremehkan.
Secara keseluruhan, film ini berhasil membuat sadar akan betapa tingginya kesenjangan sosial antara orang yang berkulit hitam dengan mereka yang berkulit putih pada saat itu. Namun, setelah pelopor anti-apartheid Nelson Mandela berhasil menjunjung kesetaraan ras pada 1994 silam, pemisahan kelompok berdasarkan warna kulit sudah sangat berkurang saat ini.
Penulis : Firda Cynthia |Editor : Taufiq Hidayatullah