Mengulas Getirnya Kekerasan Seksual Masyarakat Adat melalui Film “Woman From Rote Island”
Judul: Woman From Rote Island (2023)
Sutradara: Jeremias Nyangoen
Studio: Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang SInema
Durasi: 1 jam 48 menit
Genre: Thriller/Drama
Film bertokoh utama Martha, perempuan asal Pulau Rote yang mendapatkan pelecehan seksual saat bekerja di Malaysia. Sayangnya, bukan kepedulian, namun stigma dan pelecehan seksual yang kembali dia dapatkan saat pulang ke kampung halaman.
Aspirasionline.com — Woman from Rote Island merupakan film garapan Jeremias Nyangoen yang berhasil meraih piala penghargaan untuk kategori film panjang terbaik dalam ajang Piala Citra Festival Film (FFI) 2023. Seperti judulnya, Women from Rote Island mengisahkan realita pahit yang dialami oleh perempuan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Secara sederhana, premis film ini berangkat dari masalah psikologis yang dilalui oleh korban pelecehan seksual dan bagaimana eksistensi korban justru dianggap sebagai ancaman oleh masyarakat setempat. Dengan membawa genre thriller, film ini menyuguhkan kisah kelam yang dibalut dengan keindahan Pulau Rote serta sentuhan bumbu komedi pada beberapa scene di dalamnya.
Film ini berawal ketika Martha, seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia, kembali ke kampung halamannya untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Namun, alih-alih hanya menggendong duka, Martha turut pulang bersama trauma dan depresi yang ia bawa setelah menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerjanya.
Proyeksi psikologis dari pengalaman traumatis yang dialami Martha justru menempatkannya pada posisi rentan, ketika masyarakat justru mulai menilai Martha sebagai ancaman.
Sikap yang Martha tunjukkan menimbulkan stigma yang membawanya harus dirantai dan dikurung sendiri di dalam kamar. Hingga di kamar itu, Martha kembali dilecehkan tanpa ada seorang pun yang tahu.
Proses penyelesaian masalah yang hanya menggunakan cara adat membuat pelaku masih bisa berkeliaran bebas dan kembali melakukan kejahatan seksual pada perempuan lainnya. Hingga akhirnya, kejahatan pelecehan seksual ini mencapai puncak rasa ketidakmanusiaan saat korbannya mengandung, bahkan dibunuh serta dimutilasi.
Masyarakat yang mulai paham pahitnya kekerasan seksual, mulai menyuarakan tentang pentingnya keadilan bagi mereka, yakni penyintas kekerasan seksual.
Stereotip Kasus Pelecehan Seksual di Masyarakat Adat
Payung hukum di Indonesia tentang pelecehan seksual nyatanya masih belum terimplementasikan secara optimal, terutama pada masyarakat adat. Seperti yang tergambarkan pada Woman From Rote Island, banyak daerah yang masih menggunakan hukum adat sebagai sarana penyelesaian konflik.
Akan tetapi, kebanyakan penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan hukum adat ini tidak memberi efek jera kepada pelaku dan justru menyudutkan korban. Dalam film Women from Rote Island, sebagai korban, keluarga Martha justru diminta untuk membayar biaya ganti rugi.
Film ini merefleksikan kejadian nyata yang terjadi kepada Dinda (16) di Mentawai, dimana kasus yang dialaminya justru diselesaikan melalui Tulou atau denda adat sebanyak Rp30 juta setelah dilecehkan oleh empat orang pria.
Ketika Dinda mencoba melaporkan kejadian tersebut dan melakukan visum, polisi justru menetapkan jika ini bukan kasus kekerasan seksual lantaran tidak adanya jejak kekerasan berupa selaput dara yang robek. Oleh karena itu, Dinda justru dianjurkan untuk menyelesaikan masalah ini secara adat.
Selain Dinda, ada juga Mekar (25) yang mendapatkan pelecehan seksual di usia 16 tahun hingga akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Kasus ini hanya diselesaikan melalui Tulou atau sejumlah dua babi jantan, dua kubik kayu, dan gergaji mesin hingga masalah ini akhirnya dianggap selesai.
Dilansir dari artikel pada laman Magdalene.co, adanya penyeragaman dan pembentukan dari susunan serta kedudukan pemerintah desa justru membuat Tulou kehilangan esensinya. Dalam kasus kekerasan seksual, penggunaan Tulou sebagai denda adat dalam kasus kekerasan seksual hanya dijadikan sebagai alat formalitas.
Selain Tulou, fenomena kawin tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Timur juga cukup meresahkan karena menjadikan adat sebagai tameng untuk melakukan kekerasan seksual.
Kawin tangkap merupakan tradisi dimana seorang perempuan ditangkap secara paksa untuk dinikahi. Meski dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), tradisi ini dilegalkan berdasarkan budaya dan adat setempat.
Sayangnya, stigma masyarakat yang menilai bahwa korban pelecehan seksual sebagai perempuan “nakal” membuat korban seringkali merasa takut untuk melaporkan kejadian tersebut, sehingga memperkuat siklus ketidakadilan dan memperburuk kondisi korban.
Hal ini juga dapat membuat korban merasa terisolasi dan sulit mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk pulih dari trauma yang dialami.
Implikasi Psikologis dari Korban Pelecehan Seksual
Sikap Martha dalam film “Woman From Rote Island” yang berubah menjadi pendiam, menyendiri, bahkan menunjukan sikap trauma dan depresi setelah kembali dari Malaysia menunjukan salah satu dampak psikologis yang muncul dari korban pelecehan seksual.
Pada film tersebut, pelecehan seksual yang diterima Martha terjadi berkali-kali, mulai dari luar hingga di dalam kampung halamannya sendiri. Tidak sepele, hasilnya Martha sering berteriak ketakutan dan bahkan tidak ragu untuk mengejar pelaku menggunakan senjata tajam hingga membakar rumah.
Martha tetap diam meski dirinya harus menerima ketidakadilan, dirantai dan dikurung didalam kamar, bahkan saat dirinya kembali mendapatkan pelecehan seksual hingga hamil.
Seseorang yang mengalami pelecehan seksual akan merasa dirinya rendah. Stigma masyarakat akan menggiring korban untuk merasa bahwa suara mereka tidak akan pernah didengar hingga akhirnya mereka cenderung memilih untuk diam. Korban akan merasa sudah tidak lagi memiliki “nilai” dalam dirinya sendiri.
Seperti hal yang dilakukan oleh Martha, melepas seluruh pakaian nya di tempat umum dan membiarkan tubuhnya terlihat tanpa sehelai kain pun yang menutupinya. Martha merasa dirinya sudah tidak berharga sehingga mampu melakukan hal seperti itu.
Implikasi psikologis yang terjadi pada korban pelecehan seksual bukanlah hal yang sederhana, semuanya begitu kompleks sehingga membutuhkan dukungan dari keluarga, orang orang terdekat, bahkan lingkungan. Korban sangat membutuhkan dukungan untuk dapat pulih dan mampu melawan rasa trauma akibat kejadian yang tidak pernah mereka harapkan.
Penulis: Tia Nur Aisyah, Mg. | Editor: Mahalia Taranrini
Foto: mediaindonesia.com