Urgensi Pembentukan Lembaga Yudikatif Mahasiswa Pertama di UPNVJ

Berita UPN

Pembentukan Mahkamah Mahasiswa (MM) yang masih berupa wacana, menarik berbagai reaksi mahasiswa. Hal-hal terkait urgensi pembentukan, profesionalisme, dan tingkat efektifitas kelembagaan menjadi topik bahasan utama.

Aspirasionline.com – Baru-baru ini bergulir wacana untuk membentuk Mahkamah Mahasiswa (MM) di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ). MM merupakan lembaga yudikatif di tingkat universitas yang berfungsi menyelesaikan permasalahan, konflik, maupun sengketa yang terjadi di seputaran mahasiswa, baik di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun di Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa). 

Sebagai lembaga yudikatif di tingkat universitas, MM akan memiliki peran yang setara dan kedudukan yang sejajar dengan Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat universitas (BEM-U) dan juga Majelis Permusyawaratan Mahasiswa tingkat universitas (MPM-U). Pembentukan MM diperlukan dalam melengkapi aspek yudikatif dalam trias politica di kampus UPNVJ.

Selain itu, wacana pembentukan MM juga diharapkan dapat membangun student governments yang baik, lengkap, dan seimbang.  Dalam mewujudkan hal tersebut, MPM kinisedang menyusun draft Peraturan Keluarga Mahasiswa (PERKEMA) khusus yang mengatur terkait MM.

“Kita (MPM, red.) sudah membuat rancangan draft-nya (PERKEMA MM, red.) dan kita juga sempat mendiskusikannya,” jelas Bunga Deskomala, ketua MPM UPNVJ.

Bunga menambahkan bahwa MPM telah melakukan reses terhadap fakultas-fakultas di UPNVJ. Dalam reses tersebut, para perwakilan fakultas menginginkan adanya MM di lingkungan kampus demi mendukung perkembangan trias politica di kampus. 

“Pada saat reses fakultas, MPM sudah menanyakan untuk kira-kira bagaimana kalau ada Mahkamah Mahasiswa, dari hasilnya memang (perwakilan, red.) fakultas-fakultas ini menginginkan adanya Mahkamah Mahasiswa,” lanjut Bunga ketika diwawancarai oleh ASPIRASI, Jumat (8/7).

Namun, Bunga mengakui jika dari MPM sendiri belum melakukan obrolan serius terkait pembentukan MM terhadap pihak rektorat. Hal tersebut karena pihaknya masih menyusun produk hukum sebagai legal standing pembentukan MM.

“Kalau misalnya untuk pihak rektorat, belum buka omongan secara resmi karena dari kita harus menyiapkan bahan-bahan dulu. Dari kita kan gak mungkin ngomong ke pihak rektorat tanpa ada legal standing, tanpa adanya basic on data,” tambah mahasiswi Fakultas Hukum tersebut..

Urgensi Pembentukan Mahkamah Mahasiswa

MM sebagai lembaga yudikatif dianggap perlu dibentuk karena sangat dibutuhkan untuk mewadahi dan menyelesaikan permasalahan di seputar Ormawa, UKM, dan mahasiswa. MM diharapkan dapat menjadi solusi efektif dalam penyelesaian konflik maupun sengketa secara profesional sesuai dengan prosedural yudikatif.

Bunga menjelaskan jika hal yang mendasari wacana pembentukan MM adalah banyaknya konflik yang terjadi di ranah KEMA. Oleh karena itu, MM dibentuk dalam rangka meminimalisir dan menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih dewasa. 

“Konflik itu pasti akan terjadi dalam dinamika perpolitikan, baik antar lembaga atau antar mahasiswa, itu pasti akan terjadi konflik. Jadi memang yang mendasarinya ini (Pembentukan MM, red.) karena banyaknya konflik,” terang Bunga.

Pernyataan Bunga mengenai banyaknya konflik di seputar mahasiswa dan UKM diamini oleh Aditya Nur’ahya, Ketua UKM USWAH. Menurutnya MM dapat menjadi solusi dari penyelesaian konflik yang terjadi.

“Memang sangat diperlukan ya, karena kan permasalahan UKM dan mahasiswa tidak hanya satu dua bisa dihitung jari, tapi banyak,” terang Aditya pada Aspirasi, Selasa (12/7).

Hal ini didukung pula oleh Natasya Dwi Fitria, mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis. Ia beranggapan perlu adanya sebuah lembaga peradilan untuk memutus penyelesaian permasalahan yang terjadi di antara mahasiswa maupun Ormawa.

“Mahasiswa dan organisasi atau Ormawa butuh sebuah lembaga yang bisa menjadi penyelesaian permasalahan, khususnya di tingkat universitas,” ujar Natasya kepada Aspirasi, Minggu (10/7).

Berbanding terbalik, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH), Rizkydhio Putera Bermuda menganggap keberadaan MM belum terlalu dibutuhkan di UPNVJ. Menurutnya kasus sengketa antar fakultas yang terjadi masih sangat minim, sehingga tingkat urgensi pembentukan MM pun belum begitu tinggi.

“Kayaknya belum terlalu dibutuhin ya karena kan kita melihat kasus-kasus sengketa yang ada di UPN itu kayak antar fakultas itu juga masih minim ya jadi masih belum terlalu dibutuhkan juga,” jelas Rizky ketika dihubungi oleh Aspirasi pada Senin, (11/7).

Mahkamah Mahasiswa di Mata Mahasiswa

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang bertanggung jawab dalam pembentukan lembaga yudikatif menjelaskan bahwa nantinya MM akan terdiri dari tujuh hakim. Ketujuh hakim tersebut merupakan representasi dari tujuh fakultas yang terdapat di UPNVJ.

Sayangnya, hal ini sedikit mempengaruhi kepercayaan dan respon dari mahasiswa terhadap putusan-putusan MM nantinya. Karena tidak semua hakim memiliki background ilmu hukum dan kehakiman, yang tentunya diperlukan untuk menunjang profesionalisme hakim MM dari tujuh fakultas tersebut.

Basic pengetahuannya, kompetensinya, melihatnya itu cuman bisa didapet dari fakultas hukum dan gak mungkin juga kalau Mahkamah Mahasiswa hakim-hakimnya itu diisi sama anak-anak Fakultas Hukum (saja, red.), gak adil juga kan,” jelas Rizky.

Selain itu menurut Rizky, akan sulit untuk mencari Sumber Daya Manusia (SDM) di luar Fakultas Hukum untuk mengisi kursi hakim tersebut. Kesulitan pencarian SDM di luar Fakultas Hukum itu takutnya nanti berdampak pada kualitas hakim yang ditunjuk nanti.

“Kita susah nyari sumber daya, akhirnya kita terlalu memaksakan, dan orang yang memaksakan itu (mengisi posisi hakim, red.) sebenarnya mereka hanya terpaksa, bukan sesuai kemauan atau inisiatif dia, di mana yang dipaksa ini kan kadang cuma untuk memenuhi (kuota, red.) aja, kompetensinya belum menjamin juga,” tambah Rizky.

Rayhan Fajar, mahasiswa Fakultas Teknik juga ikut menambahkan bahwa kurangnya kompetensi atau pengalaman yang dimiliki oleh calon hakim MM nantinya dapat mempengaruhi kepercayan KEMA terhadap hasil putusan MM. 

“Kalo belum ada pengalaman seperti itu akan kurang kepercayaan,” jelas Rayhan kepada Aspirasi, Senin (9/7).

Alifia Berizky, ketua UPN Band Veteran, juga turut mengungkapkan keresahannya. Menurutnya, hakim MM yang terdiri dari berbagai fakultas ini akan membuat mahasiswa merasa ragu terhadap keputusan yang diambil. 

Selain itu, Alifia juga beranggapan jika akan lebih baik apabila hakim-hakim MM terdiri atas mahasiswa hukum atau ilmu politik karena akan lebih tahu mengenai prosedur dan peraturan dalam pelaksanaan MM.

“Apakah ini nantinya akan menjadi eksklusif ke FH itu sendiri, tapi kalau misalnya dari seluruh fakultas juga itu kayak kurang aja menurut aku,” ujar Alifia pada Aspirasi,

Ia juga menambahkan, akan lebih efektif jika MM tidak hanya berfungsi sebagai lembaga peradilan saja. Namun juga memiliki fungsi dalam pengawasan.

“Aku kira MM ini bisa lebih efektif lagi kalau fungsinya itu ditambah mengawasi,” tambahnya.

Bunga menegaskan bahwa saat ini yang ada hanyalah gambaran MM yang MPM berikan dan belum final. Selain itu, rancangan mengenai proses serta mekanisme pemilihan hakim MM ini belum dapat dibuka karena draft terkait PERKEMA MM yang masih tersimpan di internal. 

“Belum bisa aku buka saat ini karena draft-nya (PERKEMA MM, red.) masih di internal,” tegas Bunga.

Oleh karena itu, MPM sendiri belum melakukan sosialisasi secara gencar kepada pihak eksternal, seperti mahasiswa, UKM, atau ORMAWA. Akibatnya masih banyak mahasiswa, UKM, dan ORMAWA yang belum mengetahui wacana pembentukan lembaga yudikatif ini.

Bunga memastikan jika nanti setelah rancangan tersebut dikaji secara matang, MPM akan langsung membuka dan menyampaikannya terhadap mahasiswa, UKM, maupun ORMAWA. MPM juga akan menerima kritik dan saran dari seluruh Keluarga Mahasiswa (KEMA) UPNVJ, sebagai bahan evaluasi dan perbaikan lembaga yudikatif ini kedepannya.

 “Ini (rancangan PERKEMA MM, red.) akan dikaji dulu, nah nanti kalau udah kita selesai kaji, akan kita floor kok,” tutup Bunga.

Ilustrasi: Alfianti Putri.

Reporter: Mahalia Tarantini, Alfianti Putri. | Editor: Ryan Chandra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *