Sudut Pandang Lies Marcoes Natsir pada Perempuan dalam Islam

Tokoh

Lies Marcoes Natsir, sosok perempuan muslim yang senantiasa memberikan pemikirannya akan posisi perempuan dalam Islam sekaligus tokoh feminisme Islam yang terus berjuang dalam mewujudkan kesetaraan bagi perempuan.

Aspirasionline.com –  Lahir enam puluh empat tahun lalu, tepatnya pada tanggal 17 Februari 1958. Nama orang yang lahir enam puluh empat tahun lalu di Jawa Barat tersebut adalah Lies Marcoes Natsir. Lies Marcoes Natsir yang biasa dipanggil Lies kini berkegiatan di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon.

Lies merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara dengan seorang ibu anggota Aisyiyah, sayap perempuan dari organisasi muslim modernis Muhammadiyah. Ibunya adalah seorang vendor dan tulang punggung keluarga dengan latar belakang Muslim tradisionalis.

Masa kanak-kanak Lies dihabiskan dengan kegiatan seperti pramuka, berkemah, dan bermain ditepian sungai. Dia juga mengakui bahwa sedari kecil telah akrab dengan novel-novel karya Buya Hamka dan buku-buku ilmu sosial yang dia dapat di perpustakaan ayahnya.

Pada saat ingin melanjutkan perkuliahan di tahun 1978, Lies memutuskan merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya pada Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Teologi Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah. Setelah menyelesaikan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah, dia melajutkan studi magisternya di bidang Antropologi Kesehatan di University of Amsterdam.

Cara Pandangan Terhadap Perempuan dalam Islam

Selama berkuliah di University of Amsterdam, Lies bertemu dengan Martin van Bruinessen, seorang peneliti dan aktivis yang menjadi dorongan Lies lebih mendalami isu gender dan Feminisme.

Setelah sekian lama mendalami gender dan feminisme, Lies juga turun melihat posisi perempuan dalam agama yang ia yakini. Lies menyampaikan sudut pandang yang dia percaya akan aspek tersebut. Lies menyampaikan  bahwa Islam di Indonesia berbeda dengan wilayah lain di belahan dunia manapun.

Islam di Indonesia tumbuh dalam dua keping lahan saya kira. Satu, perlawanan terhadap kolonialisme yang Islamnya menjadi Islam kiri karena perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Nah yang kedua, culture Indonesia walaupun dari masyarakat agraris, masyarakat pedagang, masyarakat kelas yang dipengaruhi oleh kolonialisme jadi elite sekuler, itu memberi ruang, tempat, posisi yang bagus pada perempuan dibandingkan di wilayah-wilayah Islam lain.

Beralih pada status perempuan dalam Islam, menurut Lies hal tersebut merupakan satu kesatuan serta memiliki keterkaitan. Namun, dia juga menyadari agama kerap kali digunakan dalam tindak kekerasan terhadap perempuan serta terkadang mengesampingkan perempuan ketika berhadapan dengan agama.

Berbagai fenomena patriarki sangat ditentang oleh Lies, salah satu contoh praktik talibanisme perempuan yang memaksakan perempuan untuk berdiam diri di rumah atas dasar agama dan keyakinan bahwa perempuan adalah sumber fitnah. 

Selanjutnya, Lies juga menyoroti konsep bahwa ketika seorang perempuan menjadi seorang istri berdasarkan pemahaman Islam apakah perempuan tersebut dipandang sebagai hak milik dari sang suami  atau mitra suami dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Perspektif pertama yang menganggap perempuan adalah hak milik suami, karena suami telah membayar mahar, maka makna izin itu bersifat syariat mutlak. Izin itu dimaknai sebagai satu paket kewajiban istri kepada suami. Sebaliknya, dari sisi suami, sebagai bentuk kontrol lelaki atas perempuan, karena perempuan adalah properti lelaki dunia akhirat. Sedangkan perspektif kedua, berangkat dari anggapan bahwa perempuan adalah mitra, dan karenanya permintaan izin itu, meskipun dengan landasan teologis, di dalamnya terdapat ruang negosiasi.

Konsep bahwa perempuan harus tunduk dan patuh bahkan merendah di hadapan suami merupakan pandangan yang bertentangan dengan prinsip Tauhid. Pasalanya Tauhid melarang manusia untuk menuhankan apapun di alam semesta. Manusia tidak boleh menyembah kepada sesama manusia, termasuk istri pada suami. Ia juga memastikan bahwa feminisme adalah metodologi yang mengajarkan manusia tentang penihilan kepada Tuhan-Tuhan ciptaan manusia.

Lies juga mengkritik bahwa kita masih pada situasi yang senantiasa meninggikan seorang laki-laki dalam berbagai aspek. “Kita masih berada di sini, kiblatnya masih laki-laki, kadang-kadang laki-laki membesar perempuan mengecil, kadang-kadang bisa setara, tapi tidak bisa sebaliknya.

Dia juga mengungkapkan pada kalangan feminisme Islam sosok Aisyah diyakini sebagai seorang feminis. Hal ini didasari pada perannya sebagai sanadnya hadis. Dari hadis Aisyah, misalnya, kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya.

Kemudian terkait isu mengenai pandangan bahwa akan selalu ada irisan dan pertentangan antara feminisme sekuler dan feminisme Islam akan terus terjadi merupakan hal yang kurang tepat. Bagi Lies untuk menyelesaikannya permasalahan ini adalah perjumpaan antara feminisme sekuler dengan feminisme Islam.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ulasan ini merupakan bagian dari kumpulan ulasan Series Tokoh Edisi Lebaran.

Penulis: Tegar Gempa. | Editor: Verena Nisa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *