Emansipasi Manusia dalam Teknologi

Nasional

Diskusi terbuka yang diadakan Cak Tarno Institute (CTI) dengan tema “Marxist Digital: Pertentangan Kelas dan Emansipasi” oleh Tony Doludea.

Aspirasionline.com – Taman payung melingkar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) menjadi tempat diskusi terbuka yang diadakan oleh Cak Tarno Institute (CTI) pada Sabtu (25/11) lalu. Mengangkat tema “Marxist Digital: Pertentangan Kelas dan Emansipasi”, diskusi terbuka ini diadakan dalam rangka menyikapi perkembangan teknologi di era digital dan dampaknya pada kehidupan.

Diskusi yang dimulai pada sore hari itu dipantik oleh Tony Doludea, sekaligus penulis dari esai yang berjudul “Marxist Digital: Pertentangan Kelas dan Emansipasi dalam The Internet of Things (IoT)”. Diawali dengan cerita pendek dengan judul “Hidung” karya Nikolai Vasilievich Gogol, esai sebanyak lima belas halaman itu dibagikan dan dibacakan pada audiensi.

Tony kemudian mengatakan kalau latar belakang kisah hidung tersebut adalah gambaran dari kritik sosial terhadap masyarakat yang berlomba-lomba mengejar tingkat dan status sosial di masa itu. Kembali ke masa kini, hidung tersebut oleh Tony dianalogikan menjadi telepon pintar. Menurutnya, telepon pintar sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. “Telepon pintar menyimpan segala bentuk informasi, menjadi alat komunikasi, dan transaksi. Sehingga menjadi penentu martabat manusia,” ungkapnya.

Telepon pintar dianggap Tony sebagai penentu martabat manusia disebabkan oleh terus berkembangnya teknologi dan tak dapat dihindarkan. Dimulai dengan munculnya 1G dalam bentuk analog 35 tahun silam hingga ke Long Term Evolution (LTE) yang dikenal dengan 4G. Perkembangan yang terus terjadi membuat para ahli teknologi memprakirakan tahun 2020 akan muncul teknologi 5G.

Teknologi 5G yang dipaparkan pria kelahiran tahun 1967 ini kemudian dibahas dari sudut pandang filsafat. Teknologi 5G ini dianggap akan memberikan pengaruh yang signifikan pada kehidupan manusia dalam berbagai aspek. “Teknologi informasi 5G dengan The IoT-nya mengandung bahaya sekaligus ekspresi martabat manusia sebagai penyingkapan ada,” jelas pria yang akrab disapa Bang Dul itu. Ia kemudian menambahkan jika ‘ada’ tidak dapat dibicarakan atas dasar pengamatan yang terlepas dari keberadaan manusia.

Setelah membahas perkembangan digital dari sudut pandang filsafat, ia juga menjelaskan dari sudut pandang Marxist. Menurutnya, pertentangan antara kaum pemodal atau borjuis dan kaum buruh atau proletar telah bergeser menjadi pertentangan antara para budak yang dikuasai teknologi digital dengan mereka yang tidak dapat diperbudak oleh dunia digital.

Pergeseran tersebut menurutnya memang dapat terjadi di zaman sekarang, dan gagasan yang kemudian diberikan oleh Marxist terhadap hal tersebut adalah emansipasi. Menurut Tony, setiap manusia harus mampu menempatkan dirinya di posisi yang sesuai, agar tidak menjadi budak teknologi. “Dalam perkembangan teknologi kita (manusia, red) mau jadi orang atau jadi mesin?” tanya pria kelahiran Malang tersebut.

Setelah melemparkan pertanyaan tersebut, Tony yang menganggap kalau transparansi dalam dunia digital manusia diajak untuk meninggalkan keinginan dalam mencapai kesempurnaan. Ia menambahkan kalau manusia selalu jauh lebih indah dalam kerapuhan, kekurangan, kenganjilan, dan keplinplanannya dan menjadi apa adanya. “Inilah emansipasi Marxist dalam dunia digital, suatu rahmat dalam bahaya yang dikandung oleh teknologi digital,” tutupnya sambil juga menutup kertas esai lima belas halaman yang akan disusun menjadi buku itu.

Reporter : Laviola Mg. |Editor : Ida

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *