Pengemudi ojol menggelar aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, pada hari Selasa (20/5). Menuntut kejelasan tarif layanan yang dinilai memberatkan dan mendesak pemerintah perusahaan aplikasi untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan.
Aspirasionline.com — Para pengemudi ojek online (ojol) kembali menggelar aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, pada Selasa, (20/5). Para pengemudi ojol menuntut tarif layanan yang adil dan mengkritik pemotongan ongkos yang dirasa memberatkan. Aksi ini bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional sebagai bentuk perjuangan kesejahteraan para pengemudi.
Secara serentak para pengemudi mengenakan atribut khasnya, menaikkan poster-poster tuntutan, menyuarakan berbagai orasi, hingga menonaktifkan aplikasi sementara sebagai bentuk protes terhadap perusahaan aplikasi ojol. Para Pengemudi menilai perusahaan aplikasi telah melanggar prinsip kerja sama kemitraan yang selama ini menjadi landasan kerja mereka.
Ade Rianti, seorang pengemudi ojol sejak 2017, yang aktif di berbagai komunitas ojol dan ikut berpartisipasi dalam demonstrasi ojol pada Mei lalu, mengungkapkan keresahannya terkait pemotongan tarif yang melebihi kesepakatan awal.
“Pemotongannya itu harusnya, kan, memang dari perusahaan driver (pengemudi) gojek ini dua puluh persen, tapi ini lebih dari dua puluh persen. Itu memberatkan driver gitu,” ungkap Ade kepada ASPIRASI melalui telepon WhatsApp pada Senin, (2/6).
Lebih lanjut, Ade juga menyoroti program baru dari perusahaan yang bernama Aceng (Argo Goceng). Program ini menetapkan tarif tetap sebesar Rp5.000 untuk layanan GoFood. Ia menilai, kebijakan tersebut justru merugikan para pengemudi.
“Customer bayarnya mahal nih, tetapi yang diterima sama driver itu cuma Rp5.000,” ungkapnya.
Ade menegaskan tuntutan pengemudi dalam demo adalah pemotongan tarif sebesar 10 persen, bukan 20 persen yang diberlakukan saat ini.
“Makanya kemarin protes pas demo itu karena argonya enggak sesuai sama yang di aplikasi. Perjanjiannya gitu, pemotongannya terlalu gede. Makanya kemarin itu driver minta pemotongan sepuluh persen. Kalau sepuluh persen masih wajar, ya, tetapi ini, kan, dari pihak aplikator itu minta dua puluh persen, tapi itu lebih, enggak sesuai sama perjanjian,” jelas Ade.
Selaras dengan pernyataan Ade, Fadil, pengemudi ojol sejak 2016, menyampaikan keluhannya atas pemotongan tarif yang menindas para pengemudi ojol. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pihak perusahaan terhadap mitra pengemudi.
“Ya, menurun pendapatannya, karena memang dari pihak ojol sudah tidak mendukung juga mitranya. Jadi dalam arti mau syukur, enggak mau juga enggak apa-apa,” ujar Fadil saat diwawancarai oleh ASPIRASI melalui telepon WhatsApp pada hari Kamis, (12/6).
Minim Transparansi, Perusahaan Aplikasi Ojek Online Abai pada Regulasi
Ketimpangan tarif dan ketidakjelasan aturan menjadi perhatian utama para pengemudi ojol. Pasalnya beberapa hal yang tertuang dalam peraturan dirasa tidak terealisasi dengan benar.
Elkristi Ferdinand Manuel, dosen Hukum Tata Negara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), menilai bahwa adanya ketimpangan pendapatan dan ambiguitas kebijakan dalam layanan ojol sebagai pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pengguna aplikasi itu hanya tahunya front-end-nya (bagian tampilan depan aplikasi) saja, di back-end-nya (sisi belakang aplikasi) tidak tahu tuh. Bagaimana sih, kenapa saya sampai ketemu potongannya sepuluh persen, terus ditambah lagi dua puluh persen lagi misalnya gitu. Jadi kan ini ketidakseimbangan di sana,” ujar Elkristi saat diwawancarai ASPIRASI, Senin (7/7).
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor untuk Kepentingan Masyarakat, khususnya Pasal 12, menyatakan bahwa perusahaan aplikasi harus melakukan pembahasan dengan pemangku kepentingan, termasuk para pengemudi sebagai mitra perusahaan.
Namun menurut Elkristi, sosialisasi dan pengumuman terkait kebijakan ini jarang dilakukan oleh perusahaan dan terlihat tidak terbuka kepada pengemudi ojol.
“Perusahaan wajib melakukan sosialisasi dan melakukan pengumuman kepada pengemudi dan penumpang. Ada pengumumannya? Enggak ada. Berarti kan, secara Permen (Peraturan Menteri) ini tidak dijalankan dengan baik gitu ya,” jelasnya.
Elkristi menilai kondisi ini termasuk dalam pelanggaran hukum serta pelanggaran HAM karena perusahaan tidak mengimplementasikan peraturan yang ada dengan baik.
“Ketika hak seorang pekerjaan dan mendapatkan pendapatan yang layak (tidak terpenuhi), itu pelanggaran HAM iya kan. Nah, tadi perusahaan ketika dia tidak melaksanakan perintah Pasal 12 Permen Perhubungan tadi, itu pelanggaran hukum, karena dia tidak menjalankan apa yang dikatakan oleh Undang-Undang (UU) atau norma di dalam suatu aturan hukum tertulis,” tuturnya.
Kesejahteraan Ojek Online di Tengah Ketidakpastian Hukum
Sejak 2019, pengemudi ojol telah menuntut payung hukum yang jelas untuk melindungi kesejahteraan dan hak-hak mereka. Namun, hingga kini, tuntutan tersebut belum terealisasi dan pemerintah dianggap lamban merespons.
Ade Rianti menyampaikan harapannya terkait rancangan UU Transportasi Online yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Itu baru rencana aja, belum tentu sesuai sama tujuan yang nantinya akan dibuat. Kadang suka melenceng. Kayak dulu, ‘Oh iya nanti ojol ada payung hitamnya, perlindungan hukumnya.’ Sampai sekarang tidak ada. Jadi tetep mitra aja,” ujarnya.
Fadil juga menegaskan pentingnya payung hukum bagi pengemudi dan menekankan pemerintah harus hadir dengan regulasi yang jelas.
“Pemerintah itu harusnya membuatkan Undang-Undang, payung hukumnya. Karena, kan, sekarang itu ojol masuknya e-commerce (perdagangkan elektronik), bukan masuk transportasi. Kalau masuk e-commerce, ya, memang banyak potongannya. Makanya harusnya pemerintah kasih solusi, bikin Undang-Undang untuk driver ojol supaya tidak ditindas sama aplikator,” jelas Fadil.
Tindakan pemerintah dalam mengurus perusahaan aplikasi kemudian turut dipertanyakan oleh para pengemudi. Mengingat status mereka yang ambigu antara mitra dan pekerja membuat hak jaminan sosial, perlindungan hukum, dan upah minimum tidak terpenuhi.
Meski begitu, Elkristi menilai bahwa sebelum membentuk peraturan baru, pemerintah seharusnya lebih dulu memastikan implementasi peraturan yang sudah ada berjalan dengan baik.
“Kalau saya sih lebih ke pembangunan SDM-nya (Sumber Daya Manusia) gitu dibandingkan membangun struktur kertasnya, dalam artian empiris dan sosiolegal, lah. Jadi kita harus menyelesaikan sebuah masalah ini secara holistik,” pungkasnya.
Ilustrasi: Zalfa Ronaa
Reporter: Zalfa Ronaa | Editor: Hanifah Nabilah