Kebijakan Bansos Bersyarat Vasektomi Cerminkan Pelanggaran HAM dan Pengabaian Isu Kemiskinan 

CategoriesOpini

Kebijakan vasektomi untuk bansos merupakan bentuk kebijakan reproduksi yang koersif dan mencerminkan sikap negara dalam memandang persoalan kemiskinan. Pendekatan yang diambil oleh KDM, yang cenderung mengalihkan akar permasalahan kemiskinan dan mengabaikan prinsip keadilan gender, tidak dapat dianggap sebagai solusi substantif bagi problem struktural kemiskinan itu sendiri.

Aspirasionline.com – Pembebanan tanggung jawab kontrasepsi pada satu gender terus menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Di tengah populasi yang meningkat tajam tanpa diimbangi angka kesejahteraan, dorongan atas kontrol kelahiran menjadi solusi yang sering menimbulkan perdebatan.

Pernyataan yang cukup kontroversial dari seorang penguasa, Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat, pada Selasa, (29/4) lalu, melahirkan perdebatan publik. 

Kang Dedi Mulyadi (KDM), begitu panggilan akrabnya, mengemukakan wacana kebijakan yang menuai polemik, yakni menjadikan vasektomi sebagai prasyarat bagi masyarakat pra-sejahtera untuk memperoleh bantuan sosial (bansos) di wilayah Provinsi Jawa Barat.

Pernyataan KDM memang belum dilegitimasi sebagai kebijakan, namun sudah dapat mempengaruhi implementasi kebijakan di tingkat bawah. Pernyataan ini juga sangat wajar jika sudah bisa menimbulkan perdebatan.

Perdebatan ini dapat berangkat dari posisi KDM sebagai seorang penguasa. Pernyataannya merupakan sikap politik yang didasarkan atas cara pandang penguasa menyikapi persoalan kemiskinan. Dalam hal ini, solusinya bisa dilihat menitikberatkan kepada beban berat keuangan negara karena lahirnya anak-anak miskin di wilayahnya.

Cara pandang ini tidak sepenuhnya salah. Hal ini sejalan dengan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebut secara jelas bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”

Amanat UUD kemudian dijalankan dalam berbagai kebijakan alokasi keuangan negara dan daerah yang hingga saat ini masih berfokus pada cara-cara penanggulangan kemiskinan, baik itu dalam wujud bantuan sosial maupun subsidi yang dibebankan kepada negara.

Sebagai negara yang menjalankan otonomi daerah, penanggulangan kemiskinan tentu juga dibebankan kepada kemampuan daerah untuk menekan angka kemiskinan. Dengan tutup mata akan ketimpangan kemampuan daerah dan kepadatan penduduk, persoalan kemiskinan akan selalu menjadi program tahunan yang harus dikerjakan pemerintah daerah.

Hal ini yang bisa membantu kita untuk memahami cara pandang KDM dalam mengentaskan kemiskinan di wilayahnya. Menekan populasi masyarakat miskin, bisa jadi meningkatkan angka kesejahteraan karena meringankan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada program bantuan sosial yang dapat dialihkan kepada pembangunan dan prioritas lainnya.

Sayangnya, cara pandang ini mengabaikan realitas bahwa kemiskinan adalah isu yang sangat kompleks. Isu ini bukan hanya ketidakmampuan masyarakat miskin dalam menjamin kehidupan yang layak bagi anak-anak yang dilahirkannya semata.

Lebih dari itu, faktor ketidakbecusan negara dalam menjamin bahwa para calon orang tua memiliki kemampuan untuk menyiapkan hidup yang sejahtera bagi generasi penerusnya.

Melihat Letak Masalah Kemiskinan dan Angka Kelahiran di Jawa Barat

Pandangan yang menyalahkan tingginya angka kemiskinan pada banyaknya jumlah penduduk dan keluarga miskin bukanlah hal baru di masyarakat kita. Namun, selain pandangan ini tidak adil, kenyataannya kemiskinan disebabkan oleh ketimpangan distribusi ekonomi yang dikelola negara.

Lebih lanjut, dalam konteks Jawa Barat, hal ini dapat ditelusuri melalui beberapa indikator terkait, seperti angka kelahiran dan tingkat kemiskinan

Berdasarkan data terakhir per Juli 2023, Angka Kelahiran Total atau Total Fertility Rate (TFR) Jawa Barat  menunjukkan angka yang cukup rendah, yaitu 2,11 dibandingkan dengan angka nasional dan provinsi lainnya.

Hal menarik lainnya yang justru luput dari perhatian adalah bahwa kemiskinan lebih dipengaruhi oleh upah rendah dan pengangguran, yang dinilai berkorelasi lebih kuat dengan kemiskinan dibandingkan angka demografis.

Penelitian dalam jurnal Munarni dkk. (2024) di Sulawesi Tenggara yang berjudul Pengaruh Upah Minimum Dan Pengangguran Terhadap Kemiskinan Di Provinsi Sulawesi Tenggara, memiliki temuan yang menarik.

Temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen pengangguran berkontribusi pada peningkatan kemiskinan sebesar 0,34 persen, sementara hubungan antara kebijakan upah minimum dan penurunan tingkat kemiskinan bersifat positif. Menariknya, penelitian ini juga menemukan bahwa angka fertilitas tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Oleh karena data yang menunjukan angka fertilitas di Jawa Barat yang rendah, maka bisa dilihat bahwa masalah kemiskinan di Jawa Barat bukanlah karena angka kelahiran, namun pengangguran yang tinggi.

Berdasarkan data dari situs jabar.bps.go.id, angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Barat tercatat sebesar 6,75 persen per November 2024. Sementara itu, angka TPT nasional per Februari 2024 tercatat sebesar 4,82 persen, sebagaimana dilansir dari situs bps.go.id.

Berangkat dari penelitian dan data diatas, dapat dikatakan bahwa cara pandang KDM dalam melihat persoalan kemiskinan di Jawa Barat dengan membingkai masalah utamanya adalah tingginya angka kelahiran bisa jadi sangat keliru dan diskriminatif.

Cara pandang lain tentunya adalah hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Menitikberatkan beban tanggung jawab kontrasepsi kepada salah satu gender melanggar hak atas tubuh individu. Terlebih, paksaan dan dorongan ini dilakukan oleh negara melalui kebijakan yang memaksa keluarga miskin, seolah-olah mereka tidak memiliki pilihan lain.

Pemaksaan Laki-Laki untuk Vasektomi Tidak Serta-merta Menciptakan Keadilan Gender

Selama puluhan tahun, baik di dunia maupun di Indonesia, beban tanggung jawab kontrasepsi sering kali diberatkan kepada perempuan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis alat kontrasepsi perempuan yang jauh lebih beragam.

Adapun bila berkaca dari eksistensi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia yang masih menekankan stigma kepada perempuan untuk mengontrol kelahiran. Hal ini memang menjadi persoalan serius atas kebijakan dan stigma reproduksi yang membahayakan perempuan selama puluhan tahun.

Usulan terhadap vasektomi sebagai kontrol kelahiran yang mengalihkan tanggung jawabnya kepada laki-laki bisa menjadi angin segar terhadap pemaksaan program KB yang dibebankan kepada perempuan.

Hanya saja keadaan ini juga tidak dapat menjadi pembenaran atas kebijakan kebijakan reproduksi yang koersif kepada laki-laki. Pemaksaan atas vasektomi, meskipun ditujukan kepada laki-laki tetap merupakan kebijakan yang tidak berkeadilan gender.

Meskipun secara faktanya, vasektomi lebih efektif dalam menekan dan mengontrol kelahiran dengan resiko yang jauh lebih minim, paksaan atas hak reproduksi individu tetap bukan merupakan ranah negara, apalagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara yang demokratis.

Secara jelas, usulan untuk mensyaratkan keluarga miskin penerima bansos dengan mewajibkan vasektomi bagi negara yang katanya demokrasi adalah kebablasan.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini bisa juga menjadi solusi jangka panjang atas kontrol populasi dan menekan angka kemiskinan di masa depan. 

Biar bagaimanapun, masalah kemiskinan ini juga perlu dilihat dari kurangnya kesadaran keluarga miskin dalam mengontrol secara bijak jumlah kelahiran itu sendiri. Beban ekonomi yang dimiliki, serta pendapatan yang kurang mumpuni juga merupakan tanggung jawab dari calon orang tua dalam mempertimbangkan jumlah anak.

Hal ini juga karena ketidaksiapan ekonomi keluarga atas banyaknya beban ekonomi rumah tangga akan melahirkan anak-anak yang tidak memiliki hak dan kesempatan yang baik atas pemenuhan gizi dan pendidikannya.

Oleh karena itu, upaya untuk mengontrol populasi keluarga miskin dengan kelahiran anak-anak yang lahir dari keluarga tidak mampu secara finansial dapat menjadi pertimbangan dengan banyak penyesuaian. Sebab hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak anak-anak itu sendiri di masa depan, serta kestabilan emosional keluarga.

Namun, hal ini akan tetap beresiko dan bisa menimbulkan persoalan baru di masa depan, yaitu kekurangan jumlah penduduk seperti yang sudah dialami oleh negara-negara maju. Terlebih, tetap tidak membenarkan kebijakan reproduksi yang koersif dan menitikberatkan stigma beban ekonomi kepada keluarga miskin begitu saja.

Sebagai gantinya, kebijakan ini seharusnya tidak bersifat koersif dan tidak menimbulkan stigma gender terkait tanggung jawab reproduksi.

KDM sebaiknya lebih bijak dalam menjelaskan sebab-akibat dari permasalahan kemiskinan di wilayahnya. Pengendalian populasi dan kemiskinan melalui program KB seharusnya dilakukan dengan pendekatan edukatif yang komprehensif, mudah diakses, dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Terlebih lagi  alokasi APBD Jawa Barat untuk penanganan kemiskinan terbilang rendah dan jauh lebih kecil dibandingkan anggaran infrastruktur. Jika memang KDM fokus menangani kemiskinan dengan mengutamakan akar permasalahannya, selain mengontrol populasi keluarga miskin, KDM juga perlu memperhatikan ketersediaan lapangan pekerjaan untuk mengurangi angka pengangguran dan memastikan upah yang layak bagi masyarakat.

Selain itu, KDM dapat memulai dengan merancang program penanganan kemiskinan yang lebih mengarah pada isu pokok, seperti pemerataan pendidikan dan peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya.

 

Ilustrasi : Nabila Adelita

Reporter : Natasya Oktavia | Editor : Nabila Adelita

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *