Penulisan Ulang Sejarah, Melupakan Dosa: Potensi Penghilangan Jejak Pelanggaran HAM di Indonesia

CategoriesOpini

Rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang digadang-gadang untuk meluruskan narasi nasional menuai kritik.  Langkah ini dikhawatirkan akan mengaburkan keberpihakan terhadap korban sejumlah peristiwa pelanggaran HAM.

Aspirasionline.com – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) menginisiasi proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia (RI) yang disebut sebagai hadiah kemerdekaan RI ke-80.

Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan, menyatakan bahwa sejarah yang sekarang kurang menjawab tantangan kekinian dan globalisasi sehingga sering dipandang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. 

Namun, penulisan ulang sejarah Indonesia patut dipertanyakan kelayakannya, terutama jika kelak menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat sejarah.

Penulisan secara lengkap nantinya akan dibuat sepuluh jilid dalam bentuk buku sejarah. Berdasarkan laporan artikel yang dilaporkan dari Tempo.co dengan draft sebagai berikut : 

Jilid 1 : Sejarah Awal Indonesia dan Asal-Usul Masyarakat Nusantara;

Jilid 2 : Nusantara dalam Jaringan Global: Hubungan dengan India dan Cina;

Jilid 3 : Nusantara dalam Jaringan Global: Hubungan dengan Timur Tengah;

Jilid 4 : Interaksi dengan Bangsa Barat: Persaingan dan Kerjasama;

Jilid 5 : Respon Masyarakat terhadap Penjajahan;

Jilid 6 : Pergerakan Kebangsaan dan Bangkitnya Semangat Merdeka;

Jilid 7 : Perang Kemerdekaan Indonesia;

Jilid 8 : Masa-masa Sulit dan Ancaman Persatuan Bangsa;

Jilid 9 : Era Orde Baru (1967–1998);

Jilid 10 : Masa Reformasi (1999–2024).

Peristiwa Pelanggaran HAM Tak Masuk Revisi, Pemerintah Tuai Kritik

Beberapa peristiwa yang akan ditulis ulang nantinya akan dilakukan beberapa revisi tertentu. Misalnya, narasi mengenai masa penjajahan Belanda selama 350 tahun yang akan dikaji ulang dengan harapan masyarakat lebih mengetahui fakta bahwa bukan hampir tiga setengah abad Indonesia dijajah, melainkan rangkai perjuangan yang sangat panjang dan bertahap.

Sementara itu, sejarah Indonesia yang melekat lainnya seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada tragedi berdarah tahun 1965 dan peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), dinyatakan tidak akan mengalami perubahan dalam narasi sejarah yang ada. 

Fadli Zon, dalam wawancara bersama CNN Indonesia, menjelaskan bahwa saat itu PKI memang ingin mengambil alih kekuasaan negara, sehingga tidak ada letak kontroversinya. Pernyataan Fadli Zon justru mengindikasi bahwa penulisan ulang sejarah ada yang ditutupi dan tidak berdasarkan banyak sumber, sehingga memerlukan verifikasi fakta dalam pembuktiannya nanti. 

Sejarawan Asvi Warman Adam menilai keputusan Kemenbud yang enggan merevisi peristiwa 1965 dan kasus pelanggaran HAM berat 1998 patut dipertanyakan. Menurutnya, mengabaikan rangkaian tragedi tersebut bertentangan dengan etika penulisan sejarah.

Asvi pun mempertanyakan fakta sejarah dalam buku tersebut jikalau tak terdapat kebaruan dalam penulisan ulang sejarah. 

Pasalnya, sejarah seharusnya membawa pembaruan, termasuk pengakuan terhadap fakta-fakta kelam. Tanpa itu, penulisan ulang sejarah berisiko hanya memperpanjang narasi negara yang cenderung menutupi perannya dalam kekerasan.

Hasil penelitian dari Heri Samtani yang berjudul “Diaspora Etnis Tionghoa dan Memori Penderitaan Tragedi Mei 1998 dalam Cerpen Nyonya Rumah Abu Karangan Vika Kurniawat” menyebutkan bahwa dalam peristiwa 1998, etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan yang dilandasi oleh adanya bahaya laten dari interaksi lintas budaya antara keturunan Tionghoa dengan pribumi Indonesia.

Heri juga menyebutkan bahwa etnis Tionghoa menjadi sasaran kemarahan pribumi yang merasa adanya ketidakadilan dan kesetaraan ekonomi. Hal ini juga disebabkan oleh kebijakan berbau rasialis yang mencapai bentuk sempurna di era Orde Baru. 

Sehingga, ketika revisi sejarah dilakukan tanpa memperhatikan aspek yang menguak fakta-fakta krusial, terutama peristiwa-peristiwa yang menyangkut kekerasan negara. Revisi sejarah berisiko menjadi upaya pembungkaman untuk melanggengkan narasi negara yang bersih dari pelanggaran.

Perlu Pertimbangan Matang, Pengambilan Keputusan Pemerintah Cenderung Terburu-buru

Merujuk pada laporan CNN Indonesia, penulisan ulang sejarah ini melibatkan 100 sejarawan yang dipimpin oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Susanto Zuhdi. Proses ini tidak dilakukan dari nol, melainkan hanya melanjutkan apa yang sudah ada dalam buku sejarah dan kemudian akan dilakukan  update, penambahan data dan sebagainya. 

Rencananya, ketika proses penulisan telah mencapai 70 persen, akan diadakan diskusi publik yang melibatkan berbagai ahli untuk menguji dan menyempurnakan isi naskah.

Sekilas, pendekatan yang dilakukan dalam proyek ini terkesan terbuka dan partisipatif. Namun, hal utamanya justru mengambang di udara. Apakah pembaruan ini jelas dimaksudkan sebagai penyempurnaan pemahaman sejarah, atau justru mengotak-atik narasi yang telah ada?

Jika ditinjau dari waktu kajian proyek yang singkat dan tenggat masa rampungnya sangat dekat, menunjukkan sikap pemerintah yang terburu-buru dalam membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak hal.

Tak hanya itu, sebagaimana dilaporkan Tempo.co, pendanaan terkait penerbitan buku nantinya akan menggunakan dana dari Kemenbud bersama Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI). Demi meminimalisir terjadinya bias kekuasaan, penyaluran pendanaan ini pun perlu diadakannya pengawasan. 

Banyaknya bagian penting terutama yang menyangkut kekerasan negara dikhawatirkan akan ditepikan. Jika penulisan ulang ini justru menghapus jejak pelanggaran HAM di Indonesia, maka sulit berharap penegakkan hukum di kemudian hari.

Alih-alih menjadi motor rekonsiliasi, penulisan dengan kajian yang singkat ini justru ditakutkan merayap masuk menghapuskan ingatan dan sejarah yang sebenarnya terjadi.

Jangan sampai citra manis disematkan kepada tokoh yang justru terlibat dalam melukai bangsanya sendiri, terutama kepada rakyatnya. Namun, menjadikan hal itu sebagai alasan untuk mengaburkan fakta yang ada dan telah ditulis pengamat sebelumnya adalah bentuk pengkhianatan moral.

Sejarah bukanlah untuk dinikmati segelintir orang, melainkan persoalan yang harus diketahui sejelas-jelasnya oleh semua orang tanpa menutupi luka kelamnya. Jika peristiwa berdarah saja tidak mendapatkan penerangan, apakah kita semua dapat memaknai sejarah resmi ini?

 

Ilustrasi oleh : Nazriel

Reporter : Nazriel | Editor : Khaila Adinda

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *