Aksi Seribu Lilin UPNVJ Terangi Ingatan Pelanggaran HAM di September Hitam

CategoriesBerita UPN

Puluhan mahasiswa UPNVJ menyalakan lilin di depan Gedung Wahidin Sudirohusodo dalam rangka memperingati September Hitam. Aksi yang diprakarsai pasca wafatnya Lala, kini telah rutin terlaksana selama empat tahun. Lebih dari sekadar simbolik, aksi ini menjadi gema yang mendesak negara menutup buku pelanggaran HAM yang lama terabaikan.

Aspirasionline.comBadan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menginisiasi aksi Seribu Lilin untuk memperingati September Hitam pada Kamis, (25/9).

Aksi dimulai pada pukul 20.26 Waktu Indonesia Barat (WIB), dengan lantang aksi ini menggema, membawa tema “Menolak Lupa, Merawat Ingatan, Menggugat Dosa Negara.”

Seruan ini menjadi panggilan nurani yang mendesak akan terwujudnya keadilan atas luka panjang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini.

Di hadapan Gedung Wahidin Sudirohusodo UPNVJ, puluhan mahasiswa berseragam hitam duduk bersila membentuk lingkaran ditemani malam temaram. 

Aksi simbolik September Hitam telah berlangsung selama empat tahun, setelah pertama kali digelar tahun 2022 pasca insiden tragis yang menimpa almarhumah Lala, Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Resimen Mahasiswa (Menwa) yang wafat saat mengikuti rangkaian kaderisasi. 

Ivana Adiba Rahmi, selaku Ketua BEM FIKES UPNVJ, menuturkan tentang ironi mengenai respon kampus terhadap kasus Lala masih jauh dari apa yang diharapkan. Kasus ini bak redup dari sorotan para jajaran rektorat. 

“Secara simbolik (aksi) ini diawali dari kejadian kemalangan dari almarhumah Kak Lala. Dengan keabaian SOP (Standard Operating) yang dilaksanakan dari Resimen Mahasiswa dan bagaimana sikap dari UPN “Veteran” Jakarta untuk menyikapi hal ini tuh masih kurang,” jelas Ivana kepada ASPIRASI pada Kamis, (25/9).

Aksi Seribu Lilin Jadi Ruang Merawat Ingatan dan Menanamkan Kesadaran HAM

Kilau cahaya lilin yang bergetar di tengah kerumunan menjadi saksi bisu. Lantunan refleksi yang pelan namun tegas, menekankan ingatan tidak boleh dilenyapkan dan keadilan harus senantiasa ditegakkan. Tragedi wafatnya Lala, mahasiswa UPNVJ, empat tahun silam menjadi pemicu lahirnya gerakan solidaritas ini.

Meski begitu gerakan ini bukan hanya upaya semata untuk merawat ingatan akan peliknya September Hitam, tetapi juga seruan bagi para mahasiswa baru untuk berani menyuarakan HAM dari lingkaran paling dekat. 

“Kemudian aku ingin di acara ini bukan hanya merawat ingatan tapi juga menunjukkan kepada mahasiswa baru bahwa itu (memperjuangkan HAM) sebenarnya harus dimulai dari kecil, dari tempat kita sendiri, dari rumah kita sendiri UPN “Veteran” Jakarta,” terang Ivana.

Lebih lanjut, aksi ini kemudian menjadi sarana untuk meneguhkan kesadaran bahwa HAM bermula dari diri kita sendiri dan harus dijaga agar tak lagi ternodai di masa depan.

Selain menyoroti kasus almarhumah Lala, aksi ini sekaligus mengangkat tuntutan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum tuntas di Indonesia. 

“Ada 12 pelanggaran HAM berat itu disebutkan juga. Mungkin ada tambahan lagi (kasus) Kanjuruhan dan juga banyak pelanggaran HAM secara nasional di-mention, disebutkan dari temen-temen pihak fakultas lain, juga UPNVJ Bergerak, serta MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa),” pungkas Ivana.

Pentingnya Menolak Lupa dan Konsistensi Perjuangan HAM di Indonesia

Saat malam merambat semakin dalam, cahaya semangat para mahasiswa tak kunjung redup. Mereka tetap lantang menuturkan refleksi tentang dinamika HAM yang terus bergolak hingga kini. 

Mahdi, mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2025, menilai bahwa kejadian September Hitam belum menemukan keadilan. Memang sudah ada sistem peradilannya, tetapi keadilan yang datang tak setimpal. 

“Untuk nama-nama yang telah dihilangkan oleh negara, kita harus bersumpah bahwa kita harus tetap melawan dan menolak lupa akan hal itu. Karena yang tidak terjadi kepada kita, belum tentu kedepannya tidak akan terjadi kepada kita,” tukas Mahdi kepada ASPIRASI pada Jumat, (26/9).

Padahal, HAM warga negara sejatinya wajib dilindungi oleh negara yang tertera jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 huruf I ayat (4). Negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.

Kendati demikian negara masih kerap acuh akan perannya dalam isi pasal tersebut, terbukti dari banyaknya pelanggaran HAM yang tak mendapat proses peradilan yang diharapkan.

Melihat perlindungan HAM di negeri ini masih jauh dari kata baik, Syahzalfa Mayesa Drieyandra, mahasiswa Fisioterapi angkatan 2024, menilai bahwa ketidakpedulian negara bisa mengancam demokrasi bangsa.

“Masih banyak kasus yang belum diselesaikan, bahkan kadang negara tuh kayak yaudah pura-pura lupa aja. Demokrasi juga makin terancam dengan adanya pembatasan kebebasan berpendapat, intimidasi, dan kebijakan yang enggak pro rakyat,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Jumat, (26/9).

Dengan terselenggaranya aksi ini, Syahzalfa berharap bahwa aksi Seribu Lilin tidak hanya berhenti di seremoni belaka. Ia turut menekankan pentingnya keseriusan pemerintah untuk benar-benar mendengarkan suara rakyat, bukan sekadar menebar janji tanpa realisasi.

“Aku berharap juga aksi seperti ini tuh bisa membuat masyarakat lain ya, lebih peduli dan tidak hanya berhenti di acara seremonial saja. Nah, semoga juga nih pemerintah kita tuh bener-bener kedepannya ya, kedepannya bener-bener mau mendengarkan rakyat bukan hanya sekadar memberi janji,” tutur Syahzalfa. 

 

Foto : ASPIRASI/Najmi Fathya

Reporter: Ghasya & Syafira | Editor : Tia Nur

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *