Wujudkan Green Climate Fund, Indonesia Bersama WHO dan UNDP Hadapi Perubahan Iklim
Green Climate Fund (GCF) yang diusung Kementerian Kesehatan bersama WHO dan UNDP berkomitmen untuk membangun fondasi sistem kesehatan indonesia yang kuat dalam menghadapi perubahan iklim.
Aspirasionline.com – Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, bersama Sujala Pant sebagai perwakilan UNDP (United Nations Development Programs) Indonesia dan Dr. N. Paranietharan selaku perwakilan WHO (World Health Organization) Indonesia berkomitmen bersama untuk melaksanakan Green Climate Fund (GCF) di Indonesia. Digelar di Hotel Westin, perhelatan peresmian proyek GCF ini dilaksanakan pada Senin, (29/4).
Acara ini juga dihadiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Pusat Statistik (BPS).
Menyoroti kesiapan perubahan iklim global, Indonesia bersama enam belas negara lainnya bergabung dalam proyek GCF dalam rangka peningkatan ketahanan menghadapi perubahan iklim dalam pelayanan kesehatan nasional.
Tidak hanya itu, GCF juga ditujukan guna memberikan solusi yang inovatif dalam mendukung ketahanan iklim, mengurangi emisi gas rumah kaca, serta sebagai upaya peningkatan akses pada energi bersih untuk fasilitas dan sistem kesehatan.
“Perubahan iklim adalah ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia, dan WHO berkomitmen untuk meresponsnya,” tegas Paranietharan pada Senin, (29/04).
Dalam rentan tahun 2030 sampai dengan 2050, WHO memprediksi bahwa secara global perubahan iklim dapat menyebabkan pertumbuhan angka kematian hingga 250 ribu jiwa tambahan per tahun. Angka kematian ini timbul sebagai akibat dari munculnya permasalahan, seperti kekurangan gizi, malaria, diare, dan tingkat stres yang tinggi.
Melihat kondisi tersebut, Menteri Kesehatan Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, juga ikut menunjukkan komitmennya dalam menghadapi perubahan iklim terutama di Indonesia.
“Kementerian Kesehatan akan berkomitmen untuk mendukung energi dan sumber daya yang diperlukan untuk memimpin proyek ini. Untuk mencapai hasil yang diharapkan bersama, kerja sama yang luas dari berbagai kementerian akan diperlukan,” tukasnya secara tegas pada Senin, (29/4).
Pada kesempatan yang sama, Profesional Nasional Kesehatan Lingkungan dan Perubahan Iklim Nasional dari WHO Indonesia, Indah Deviyanti menambahkan, nantinya suatu daerah atau negara akan rentan apabila perubahan iklim tidak didukung dengan infrastruktur yang memadai.
“Daerah atau negara dengan infrastruktur kesehatan yang lemah akan menjadi daerah yang paling rentan atau paling tidak mampu mengatasi masalah perubahan iklim dan dampaknya,” tutur Indah kepada para audiens pada Senin, (29/4).
Peran Sistem Kesehatan Masyarakat dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim
Perubahan iklim nyatanya cukup berdampak kepada kesehatan. Selain itu, perubahan iklim, seperti perubahan suhu, kelembapan, dan curah hujan juga mendorong perubahan epidemiologi penyakit.
Terdapat tiga peran penting yang dapat dilakukan sistem kesehatan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Peran pertama, menurut Indah, sistem kesehatan masyarakat diharapkan mampu mengantisipasi segala masalah kesehatan serta memprediksi dampak yang muncul akibat perubahan iklim.
“Sistem kesehatan diharuskan dapat memprediksi magnitude (besaran) penyakit, tren penyakit akibat panas atau akibat climate event lainnya, serta dampak tidak langsung seperti perubahan pola penyakit menular yang dapat memperburuk status kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Selanjutnya, sistem kesehatan masyarakat perlu memperkuat ketangguhan terhadap perubahan iklim dan menjaga lingkungan di sistem serta fasilitas kesehatan. Hal ini berkaitan dengan fasilitas kesehatan serta membangun strategi akibat perubahan iklim yang terjadi.
“Hal ini mencakup pelayanan kesehatan beroperasi selama bencana terkait iklim terjadi, dan bagaimana strategi untuk mengurangi jejak karbon, untuk mengintegrasi praktik berkelanjutan dalam operasi sehari-hari,” ungkap Indah lebih lanjut.
Sementara itu, sistem kesehatan masyarakat diharuskan untuk menyosialisasikan keuntungan dari upaya mengatasi perubahan iklim di berbagai sektor lainnya.
Sebagai contoh, dengan mengurangi polusi udara akibat industri, tidak hanya mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga mengurangi resiko penyakit pernapasan atau penyakit akibat polusi udara.
Demikian pula dalam sektor pertanian yang meningkatkan ketahanan pangan yang bermanfaat dalam mengurangi penyakit serta bermanfaat bagi lingkungan.
“Mendorong pertanian dan pola makan berkelanjutan dapat meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi penyakit kronis sekaligus memberi manfaat bagi lingkungan,” pungkas Indah.
Mekanisme dan Pendanaan Global GCF untuk Penanganan Perubahan Iklim
Berangkat dari Conference of the parties 26 (COP 26), GCF merupakan bentuk komitmen Kementerian Kesehatan Indonesia bersama 74 negara lainnya. GCF memfokuskan pada penurunan emisi gas rumah kaca, menciptakan ketahanan kesehatan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dan mewujudkan sistem kesehatan rendah karbon yang kemudian diterjemahkan menjadi tiga output.
Output pertama merupakan penjelasan terkait manajemen GCF. Kemudian, kerangka kebijakan dan informasi untuk konferensi PBB tentang perubahan iklim (PKC) COP26, serta komitmen dan dukungan. Terakhir, output terkait dengan solusi inovatif untuk implementasi meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan meningkatkan akses ke energi bersih untuk sistem kesehatan di tujuh negara tersebut.
“Kemudian tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan ketahanan iklim dan kesehatan, serta layanan kesehatan di tujuh negara. Jadi ini yang akan dilakukan oleh Indonesia,” ungkap National Technical Specialist UNDP Indonesia, Agus Soetianto pada Senin, (29/04).
Dari tiga output tersebut, nantinya akan diterapkan melalui pengawasan iklim dan kesehatan terpadu serta sistem peringatan dini sebagai kunci output yang akan dilakukan. Adapun meningkatkan program pencegahan pengendalian penyakit berdasarkan informasi iklim serta meningkatkan kesiapsiagaan dan pemberian layanan.
WHO dan UNDP bekerja sama di tingkat global untuk mengelola program-program terkait perubahan iklim ini. UNDP bertanggung jawab untuk mengajukan proposal dan mengelola proyek secara keseluruhan, sementara WHO memberikan saran teknis.
Hal pertama yang akan dilakukan Indonesia di tahun 2024 ini adalah memanfaatkan dana dari Project Preparation Facilities (PPF). Kemudian, tahun ini juga mempersiapkan sisa desain elemen proposal yang nantinya akan dimasukkan dalam proposal besar.
“Yang No Objection Letter-nya dari NDA (perjanjian kerahasiaan) kita harus dapatkan di bulan November paling lama, sehingga bisa diajukan ke forum GCF untuk implementasi di 2025 dan seterusnya sesuai tujuan,” terang Agus.
Total yang akan dikontribusikan oleh GCF untuk program ini secara global adalah 64 juta dolar. Namun, GCF meminta pembiayaan bersama (co-financing), yang artinya kontribusi yang dilakukan tidak harus dalam bentuk uang. Total program GCF dan co-financing akan bernilai sekitar 122 juta US dollar.
Tidak hanya ditujukan untuk penurunan emisi gas rumah kaca, pendanaan tersebut juga diterapkan sebagai bagian mobilisasi sumber daya supaya memastikan komitmen diimplementasikan di COP 26 sesuai dengan prioritasnya.
Foto : ASPIRASI/Hanni Mg
Reporter : Hanni Mg, Tia Mg. | Editor: Nabila Adelita.