Mengenal Impostor Syndrome, Kecenderungan Remaja Merasa Tak Layak
Impostor syndrome merupakan suatu kondisi psikologis ketika seseorang merasa bahwa kesuksesan & keberhasilan yang diraih disebabkan keberuntungan, bukan karena upaya yang telah dilakukan.
Aspirasionline.com – Istilah impostor syndrome atau juga dikenal dengan proud syndrome kini mulai dikenal oleh masyarakat luas. Impostor syndrome sendiri tidak termasuk ke dalam gangguan mental, meski begitu, seseorang dengan kondisi ini tidak atau bahkan kurang bisa mengoptimalkan dirinya.
Dalam kondisi ini, seseorang akan merasa bahwa kesuksesan dan keberhasilan yang diraihnya merupakan sebuah keberuntungan.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Sandy Kartasasmita, menyebutkan bahwa impostor syndrome dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal ini dapat dipengaruhi oleh diri sendiri, seperti keinginan diri untuk menjadi perfeksionis. Menurutnya, keadaan inilah yang dapat memunculkan perilaku impostor syndrome.
“Keinginan untuk sempurna berlebihan, sehingga semua hasil yang kita raih, semua hasil yang kita dapatkan, semua hasil yang kita capai, itu si belum apa-apa,” ungkap Sandy kepada ASPIRASI pada Jumat, (14/3).
Tanpa sadar, kondisi ini membangkitkan situasi ketidakpuasan diri pada seseorang, sehingga jika dibiarkan, akan menjadi perfeksionis, serta orang tersebut tidak pernah bisa menghargai dirinya sendiri.
Pengalaman masa lalu juga dapat menjadi faktor kemunculan dari kondisi impostor syndrome. Banyaknya kritikan dan kegagalan di masa lalu membuat seseorang merasa tidak boleh cepat puas, selain itu menjadi ragu-ragu dan tidak percaya bahwa keberhasilan merupakan hasil dari kerja kerasnya dan membandingkan dirinya dengan orang lain.
Hal ini tidak memicu diri kita lebih baik, justru tanpa sadar menghancurkan diri kita sendiri. Kurang menerima diri sendiri, merasa selalu salah, dan membutuhkan pengakuan dari orang lain juga termasuk faktor-faktor internal yang akhirnya memunculkan impostor syndrome.
“Berpuas diri memang tidak baik, namun membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, dengan siapapun juga itu bukan memicu diri kita lebih baik, tapi kita tanpa sadar menghancurkan diri kita sendiri,” jelas Sandy.
Sandy yang juga menekuni profesi sebagai Psikolog Klinis mengungkapkan bahwa keluarga dapat menjadi faktor eksternal yang dapat memicu impostor syndrome.
Dalam hal ini, keluarga menjadi faktor eksternal yang memiliki peran besar untuk dapat menyebabkan munculnya impostor syndrome. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola asuh orang tua hingga bagaimana perilaku orang tua membandingkan kakak dengan adik ataupun sepupu dalam keluarga.
“Bagaimana orang tua itu membanding-bandingkan atau keluarga membandingkan diri seseorang dengan orang lain, kakak dengan adik, atau dengan sepupu,” terang Sandy memberi contoh.
Sementara, impostor syndrome ini rentan terjadi di usia remaja awal dan dewasa awal, karena di usia ini, seseorang masih mencari jati atau identitas dirinya.
Kendati demikian, semua rentang usia memiliki kesempatan yang sama untuk mengalami impostor syndrome, meskipun akan lebih banyak terjadi di usia remaja dan dewasa awal.
Hindari Impostor Syndrome dengan Berhenti Membandingkan Diri
Impostor syndrome dapat memberikan dampak negatif, di antaranya adalah kecemasan, munculnya stres, sikap yang semakin perfeksionis, dan kondisi obsesif kompulsif yang akan berdampingan dengan insomnia serta depresi.
Meski begitu, kata Sandy, kondisi ini dapat dicegah dengan mengembangkan kemampuan diri, mengoptimalkan diri, dan tidak terus-menerus mengutak-ngatikkan kelemahan dan keburukan diri.
“Bukan kutak katik keburukan kita, yang ada kita makin stress karena seakan akan banyak banget buruknya,” tuturnya.
Menurut Sandy, cara untuk mengatasi kondisi ini yakni dengan belajar menerima diri sendiri dan menghargai pencapaian sekecil apapun.
“Berhentilah untuk membandingkan diri kita karena dengan menghindari kondisi tersebut kita menyadari bahwa setiap orang punya perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, setiap orang punya nasib nya sendiri- sendiri,” lanjutnya.
Selain berdampak pada diri sendiri, impostor syndrome juga berdampak pada hubungan sosial seseorang yang sedang mengalaminya. Menurutnya, hal ini juga banyak dipengaruhi ketika melihat pencapaian orang lain di media sosial.
“Banyak nonton media sosial, liat sosial yang ada jadinya ya merasa kok dia lebih keren ya, dia lebih bagus ya,” imbuh Sandy.
Sandy menyebut, bahwa banyak melihat media sosial juga akan berdampak pada kepercayaan diri seseorang, maka dari itu perlu untuk membatasi waktu melihat media sosial dan berpikiran lebih positif.
“Semua orang punya pencapaian sendiri, semua orang punya karirnya sendiri, hidupnya sendiri. Turut bergembiralah kita melihat teman kita baik, turut bersenang hatilah kalau kita melihat teman kita sukses, udah cukup,” pungkasnya.
Reporter : Ummu Hanni, Mg. I Editor: Anita Ambar
Sumber foto: Simply Psikologi