Mythomania: Kebohongan untuk Mencari Simpati

Forum Akademika

Pengidap mythomania gemar menjadi pahlawan dan korban dalam kebohongannya untuk mencari simpati serta sering menciptakan kebohongan yang dramatis dengan menyisipkan data yang valid untuk memberikan kepercayaan pada pendengarnya.

Aspirasionline.com — Kebohongan bukanlah hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari. Sering kali orang di sekitar kita, bahkan diri kita sendiri melakukan kebohongan untuk alasan tertentu, baik untuk menyelamatkan diri dari suatu masalah, atau sebatas meningkatkan eksistensi semata. 

Meski demikian, hal tersebut tetap saja tidak pantas untuk dinormalisasikan. Kebohongan yang diawali hanya untuk menutupi suatu kesalahan atau meningkatkan eksistensi akan menjadi suatu kebiasaan yang buruk jika dibiarkan. Hal inilah yang menjadi cikal bakal dari kondisi  mythomania, sebuah kebiasaan berbuat bohong secara terus menerus yang tak terkendali.

Seorang Psikolog Klinis Anak dan Keluarga dari Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Tumbuh Kembang Nisfie Hoesein menjelaskan dari kacamata psikologi bahwa mythomania merupakan sebuah kebohongan patologis. Kondisi tersebut disebut patologis karena sifatnya merugikan untuk diri sendiri maupun orang lain.

Kecenderungan seperti ini membuat orang yang berada dalam kondisi tersebut tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak berbohong, sampai tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbohong dan meyakini bahwa kebohongannya adalah benar.

“Jadi dorongan itu (berbohong, red.) padahal nggak ada situasi yang mengancam, padahal nggak ada situasi yang dia bakalan diadili untuk sesuatu perbuatan buruknya atau dia tidak ada ancaman bahwa dia akan menyakiti orang lain, tidak ada gitu, jadi dia tuh yang ngomong aja bicara sesuatu yang nggak telling the truth,”  jelas Nisfie saat diwawancarai ASPIRASI pada  Rabu, (30/8).

Kondisi mythomania ini diawali oleh keadaan di mana seseorang yang awalnya berbohong untuk melindungi dirinya, kemudian belajar bahwa dengan berbohong dapat membantu dirinya untuk mendapatkan simpati dan perhatian orang lain, lalu kebohongan tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan.

“Mungkin awalnya memang mau melindungi diri dari tadi (kesalahan, red.) supaya dia tuh belajar, ‘oh ternyata itu tuh ngefek’, nah karena ngefek dia ulang, ngulang dengan intensitas yang lebih tinggi,” ungkapnya.

Berbohong untuk Diterima di Lingkungan

Kondisi mythomania ini rentan terjadi pada usia remaja di mana pada usia tersebut seseorang sedang mencari jati diri dan butuh pengakuan dari orang lain. Namun, hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan dan culture di mana individu tersebut berada. 

Orang-orang di desa jarang mengalami kondisi mythomania karena dalam culture mereka tidak memedulikan pengakuan yang bersifat gengsi. Sedangkan mayoritas masyarakat kota sangat mementingkan gengsi dan membutuhkan pengakuan, sehingga kondisi mythomania ini cenderung sering terjadi di perkotaan.

Orang dengan kecenderungan mythomania sering kali menciptakan cerita yang memosisikan dirinya sebagai korban atau sebagai ‘pahlawan’. Hal ini terjadi karena ia belajar bahwa peran tersebut lebih mendapat pengakuan dan simpati dari orang lain, dan respons itulah yang mereka inginkan. 

“Kenapa? Karena sebelum-sebelumnya dia pernah belajar bahwa menjadi korban itu selalu mendapatkan perhatian lebih, kan gitu, atau menjadi penyelamat selalu mendapatkan pengakuan lebih dibanding jadi orang biasa,” ujar Nisife.

Selain itu, lanjut Nisfie, orang mythomania biasanya juga menciptakan sebuah cerita dengan menyisipkan data yang valid untuk meyakinkan pendengarnya, tetapi cerita tersebut akan ia formulasikan menjadi lebih dramatis agar menarik perhatian pendengarnya.

Orang yang berada dalam kondisi tersebut dalam memilih sebuah cerita yang akan ia ciptakan biasanya melihat dari kondisi percakapan yang sedang ia atau kelompoknya bicarakan. 

Bila percakapan di lingkungannya sedang sibuk memamerkan sebuah kehebatan yang tidak bisa ia pahami, maka ia akan mencari sebuah cerita yang bisa dikatakan unik dan tidak pernah terjadi oleh teman-temannya agar mendapatkan respons kagum dari lingkungannya.

Penyebab dan Cara Menghadapi Pengidap Mythomania

Kondisi mythomania ini tidak semata-mata tanpa sebab. Menurut psikolog tersebut terdapat beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab seseorang berada dalam kondisi mythomania. 

Cikal bakal yang menyebabkan orang berada dalam kondisi ini adalah gangguan antisosial. Seseorang yang memiliki gangguan antisosial cenderung mengabaikan sebuah konsep kebenaran atau kesalahan dalam berperilaku, sehingga cenderung bisa mendapatkan hujatan dari orang lain. 

Untuk menghindari hujatan tersebut, orang yang mengalami gangguan antisosial cenderung akan berbohong, dan hal ini bisa menjadi berkepanjangan selagi gangguan antisosial yang dimiliki seseorang itu masih ada.

Kemudian Borderline Personality Disorder (BPD)  juga menjadi penyebab dari mythomania. Ini juga mirip dengan gangguan kepribadian antisosial. Orang dengan BPD melakukan kebohongan untuk menutupi rasa kekesalan orang lain atas perilaku yang ia lakukan. Ia menyadari bahwa ia tidak diterima di lingkungan nya, sehingga ia menciptakan sebuah cerita yang menarik perhatian orang di sekitarnya.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab adalah Narcissistic Personality Disorder (NPD). Kondisi ini penekanannya berada pada kebutuhan yang tinggi akan pengakuan dan sanjungan. Maka dari itu seorang NPD cenderung akan berbohong agar ia terus mendapatkan pengakuan untuk mempertahankan perasaan atau kondisi yang selalu baik untuk dirinya sendiri.

Yang terakhir, trauma masa kecil yang masih menghantui juga merupakan penyebab kondisi mythomania. Seseorang yang saat kecil memiliki pengalaman buruk, dirundung, bahkan dilecehkan, menjadi alasan orang tersebut menciptakan cerita yang tidak sesuai dengan kebenarannya untuk menutupi lukanya di masa lalu dengan tujuan untuk mendapat pengakuan. 

Namun jika kita sebagai pendengar menyadari bahwa seseorang yang sedang kita dengarkan  sedang dalam kondisi mythomania, kita bisa memberikan koridor batasan pada topik yang dibahas, agar orang tersebut tidak membicarakan hal-hal yang keluar dari topik yang dibicarakan di awal. 

“Jadi tetaplah kita jadi teman yang baik buat dia, dan kita perlu juga bilang ‘gue tuh sebenernya dengan lu apa adanya udah happy lho, sebagai teman ngeliat lu apa adanya tuh cukuplah, lo nggak usah cerita-cerita yang kaya gitu juga gue udah respect sama lu’,” kata Nisfie saat memperagakan respons kepada seseorang dalam kondisi mythomania.

Jika respons tadi dirasa belum ampuh dan semakin membahayakan bagi orang tersebut, kita bisa bicara secara baik-baik untuk menyarankan orang tersebut mendatangi ahli yang bisa menangani hal tersebut sembari memberitahukan bahwa hal ini bisa berbahaya bila berkepanjangan.

“Sampaikan dan yakinkan dia bahwa ini bisa disembuhkan, bahwa ini bisa diatasi, bahwa ini bisa diganti dengan hal yang lebih baik. Itu cara kita menghadapinya,” tutupnya.

 

Ilustrasi: ASPIRASI/Sofwa Najla.

Reporter: Sofwa Najla. | Editor: Agnes Felicia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *