
Berfokus Pada Pemulihan Hak Korban, Pelaksanaan Tim PPHAM Meninggalkan Banyak Persoalan
Tim penyelesaian non yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu masih terus berjalan pelaksanaanya, tetapi keterlibatan pemerintah daerah dan minimnya acuan hukum menjadi polemik.
Aspirasionline.com– Pada Januari lalu, Presiden Joko Widodo telah mengakui atas 12 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Pernyataan itu terbentuk usai menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).
TIM PPHAM dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022. Adanya ketidakpastian hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi pertimbangan dalam pembentukan PPHAM.
Banyak pihak yang mengkhawatirkan keberadaan tim PPHAM ini karena dianggap tidak sesuai dengan mekanisme HAM. Penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non yudisial tentu berbeda dengan penyelesaian secara yudisial (pengadilan).
Anis Hidayah selaku Koordinator Subkomisi Pemajuan Komisi Nasional (Komnas) HAM menegaskan bahwa penyelesaian non yudisial untuk pelanggaran HAM berat masa lalu memberikan dua hak kepada korban yakni hak atas pemulihan dan hak atas rehabilitasi.
“Proses non yudisial ini adalah suatu proses untuk memberikan dua hak kepada korban pelanggaran HAM berat, yaitu hak atas pemulihan dan hak atas rehabilitasi bagi mereka yang selama bertahun-tahun itu mengalami situasi yang buruk akibat posisi mereka sebagai korban pelanggaran HAM berat, tetapi tidak ada pengakuan dari negara terkait peristiwa itu,” jelas Anis pada Selasa, (18/7).
Lebih lanjut, Anis menyatakan bahwa Komnas HAM seringkali menemukan korban pelanggaran HAM berat yang kondisi kehidupannya jauh dari kata layak. Maka, upaya penyelesaian secara non yudisial menjadi salah satu upaya yang dilakukan untuk memulihkan hak-hak korban.
“Jadi dalam banyak aspek kehidupan itu karena posisi mereka sebagai korban pelanggaran HAM berat itu mengalami situasi buruk ya, traumatik yang cukup mendalam sehingga upaya non yudisial ini adalah upaya pemulihan yang diberikan oleh negara untuk mereka yang menjadi korban meskipun proses hukumnya masih belum berjalan,” katanya saat berjumpa dengan ASPIRASI.
Anis juga menyebutkan keberadaan tim PPHAM tidak memiliki kausalitas dengan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial. Komnas HAM akan tetap melanjutkan kewenangannya sebagai penyelidik proses hukum kasus pelanggaran HAM berat.
Memperjelas ucapan Anis, Ridha Wahyuni, Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), menjelaskan jika dua mekanisme ini sangat berbeda dan memiliki payung hukumnya masing-masing sehingga tidak bisa meniadakan salah satunya.
“Satu untuk litigasi yudisial itu adalah menemukan siapa yang bersalah, terdakwa, terpidananya, untuk memberikan sanksi hukum, untuk memberikan keadilan kepada para korban pelanggaran HAM berat ini. Nah kemudian adalah yang satu sisi adalah memberikan kompensasi, rehabilitasi, pemulihan hak-hak korban melalui proses non yudisial yang sudah dibentuk oleh presiden dihukum itu, tapi tidak bisa menghapuskan proses hukum yang saat ini sedang berproses antara Komnas HAM dan kejaksaan,” jelasnya kepada ASPIRASI pada Kamis, (20/7).
Pemulihan Hak Korban
Keefektifan Tim PPHAM ini turut dipertanyakan, akibat penyelesaian non yudisial terlaksana meskipun tanpa mengungkapkan kebenaran kasusnya terlebih dahulu. Ketika diwawancarai oleh ASPIRASI, Anis mengaku pihaknya belum bisa menjawab apakah Tim PPHAM efektif atau tidak karena prosesnya masih berlangsung.
“Ada beberapa kasus yang memang proses hukumnya sudah berjalan tetapi pelakunya dibebaskan tetapi beberapa kasus pelanggaran HAM berat ini proses hukumnya belum berjalan masih berhenti di tingkat penyidikan oleh kejaksaan agung nah ini tidak terpengaruh oleh proses non yudisial ini, jadi kalau ditanyakan apakah efektif atau tidak, saya belum berani memastikan bahwa ini akan efektif atau tidak,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Anis menjelaskan jika peran Komnas HAM sebagai lembaga independen membuat keterlibatan mereka pada Tim PPHAM hanya sebatas memantau serta memastikan pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang diterbitkan Komnas HAM. Dengan ini, Komnas HAM berharap jika SNP yang mereka terbitkan bisa menjadi prinsip yang digunakan dalam proses pemulihan korban.
“Kita berharap prinsip-prinsip itu digunakan dalam proses pemulihan bagi mereka para korban pelanggaran HAM berat misalnya soal kesetaraan, soal non diskriminasi, kemudian bagaimana juga prinsip-prinsip keadilan. Jadi bagaimana TPPHAM ini bisa menjangkau semua korban tanpa membedakan status satu dengan yang lain,” jelas Anis.
Bagi korban pelanggaran HAM yang sudah meninggal, Anis menuturkan jika jenis rekonsiliasi yang akan dilaksanakan nantinya akan diberikan kepada ahli waris korban. Penentuan ini dilaksanakan berdasarkan dokumen yang tersedia yang nantinya akan dijadikan pembuktian. Sehingga, rekonsiliasi itu akan tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya meski korban sudah meninggal dunia.
“Sehingga itu mestinya tidak hilang begitu saja karena posisi mereka yang sudah meninggal dunia,” tegas Anis ketika diwawancarai oleh ASPIRASI.
Persoalan dalam Inpress Nomor 2 Tahun 2023
Selain Keppres Nomor 17 Tahun 2022, Presiden juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2023 yang memuat tentang pelaksanaan rekomendasi Tim PPHAM. Melalui Inpres tersebut, terdapat 16 kementerian dan 3 lembaga negara yang diarahkan oleh Presiden untuk memulihkan hak-hak korban atas pelanggaran HAM berat dan mencegah agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.
Melalui Inpres yang dikeluarkan, kementerian serta lembaga negara yang menjadi bagian tim pelaksana sudah mendapatkan tugas spesifik. Namun, pemerintah daerah di bawah Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) yang bertugas melakukan verifikasi data korban menimbulkan banyak pertanyaan. Pasalnya, tugas memverifikasi data korban HAM merupakan kewenangan dari penyelidikan Komnas HAM.
Menanggapi hal ini, Ridha merasa cukup aneh serta menilai jika landasan hukum yang dimiliki terkait penugasan Tim PPHAM ini sangat lemah.
“Jadi untuk authority sebenarnya itu juga menurut saya tidak masuk akal juga bagaimana pertanggungjawabannya, apa landasannya hanya Inpres itu cukup masih lemah, dan mereka tidak mempunyai kewenangan itu karena kewenangan yang sudah dilakukan Komnas HAM itu memberikan surat keterangan korban,” ungkap Ridha.
Ridha menegaskan bahwa proses verifikasi data korban perlu berhati-hati serta memerhatikan mekanisme kerja Standar Operasional Prosedur (SOP) pelanggaran HAM. Jika tidak, hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan manipulatif data dalam melakukan tracking korban.
Pembagian spesifikasi tugas yang sudah ditentukan turut menjadi persoalan lain pada Inpres nomor 2 tahun 2023. Pemerintah dinilai tidak memerhatikan keadaan korban terlebih dahulu.
Anis menyatakan bahwa isi dari Inpres mengacu pada Keppres Nomor 17 Tahun 2022, sehingga tim yang dibentuk pada tahun lalu sudah melakukan asesmen yang sebelumnya menghasilkan gambaran kebutuhan-kebutuhan korban.
“Jadi asesmen itulah yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan korban, identifikasi kebutuhan korban, gambaran situasi korban di wilayah-wilayah mana korban itu berada, lalu seberapa ketersediaan data untuk korban pelanggaran HAM berat itu, beberapa pekerjaannya itu dilakukan oleh tim sebelumnya yang dibentuk oleh presiden melalui Keppres yang 17/2022, yang sekarang ini adalah menjalankan hasil kinerja dan rekomendasi dari tim PPHAM,” jelas Anis.
Minimnya Acuan Hukum serta Keberadaan RUU KKR
Kurangnya acuan hukum terkait keberadaan Tim PPHAM ini memunculkan narasi tentang pengesahan kembali RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang sulit menemukan titik terang sangat memerlukan upaya melakukan kebenaran dan rekonsiliasi. Sehingga pengesahan RUU KKR menjadi salah satu cara agar kasus pelanggaran HAM berat tidak berakhir mengecewakan.
Selaku Komisaris Komnas HAM, Anis mengaku kesulitan yang dialami dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat ialah dari aspek pembuktian hukum acara. Perbedaan persepsi antara Komnas HAM sebagai Penyelidik dan Kejaksaan Agung sulit menemukan kesamaan.
“Mungkin memang sudah waktunya undang-undang ini direvisi begitu ya, sehingga kebutuhan-kebutuhan terkait dengan penegakan hukum kasus pelanggaran HAM berat ini bisa terakomodasi melalui revisi undang-undang 26 tahun 2000 termasuk juga mengusulkan kembali undang-undang KKR yang dulu pernah ada dan dibatalkan oleh mahkamah konstitusi.” kata Anis.
Ridha juga menyampaikan bahwa sesuai dengan hirarki perundang-undangan Indonesia, keberadaan Undang-Undang KKR lebih utama untuk mempermudah pelaksanaan di lapangan.
“Jadi kan kalau kita mau taat aturan ya sebaiknya ya undang-undang itu dulu dibahas dengan baik dengan kuat dan bisa diimplementasikan, kemudian baru dimunculkan peraturan-peraturan ikutannya untuk bisa mempermudah pelaksanaan di lapangan sehingga tidak menimbulkan debatable,” tutup Ridha mengakhiri sesi wawancara bersama ASPIRASI.
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman.
Reporter: Anggita Dwi. | Editor: Teuku Farrel.