Dinding Kamar

Sastra

Ada detak jam dinding yang membersamai malam itu, mengisi kehampaan yang mengudara di tengah pukul tiga pagi dengan asap rokok yang ikut terbang terjebak di langit-langit kamar. Rokok pertama, rokok kedua—lama-lama batang cerutu itu habis dilahap api, bersama dengan abu yang terjatuh di wadah yang sudah penuh.

Waktu bibirku menyalip yang ketiga, tau-tau derit pintu kamar itu memecah hening. Aku melihat perempuan paruh baya dengan polesan tebal di wajah berdiri di pintu; kepala menyembul, sedangkan bola matanya bergulir menelanjangi setiap sisi kamar. Mencari eksistensiku yang sedang terduduk di pinggir ranjang.

“Ayu,” begitu caranya memanggil namaku. “Yang tadi sudah? Ada yang mau pesan lagi nanti.”

Klausa itu cacat, kalau aku boleh bilang. Jejak-jejak pembelajaran yang aku terima di sekolah dasar tau-tau kembali merekah di sisa ingatanku, memetakan alasan mengapa kalimat itu tidak sempurna juga sulit dipahami oleh orang awam. Tapi, ini aku—dan mau secacat apa kalimat itu kedepannya dikuliti, aku akan selalu paham kemana arah dari pembicaraan kami malam itu.

Maka, kubilang, “Tunggu, aku bersih-bersih dulu,” yang lekas dibalas oleh anggukkan pasti. Presensi itu lama-lama lenyap di balik bilik pintu yang kembali tertutup, dengan bibir bergumam mengisyaratkan waktu dua puluh menit yang kupunya.

Ruang kamar itu berbau asap rokok. Aku tidak cukup pasrah untuk meletakkan penuh kesalahannya pada diriku yang usai meleburkan dua batang rokok. Toh, asapnya yang melekat di dinding kamar berikut langit-langit hingga ke keramiknya justru sebagian besar datang dari rokok kretek yang disesap oleh pengunjung setiap malamnya.

Malam ini sudah yang kedua. Yang dijanjikan dua puluh menit lagi ialah yang ketiga.

Dinding kamar ini beserta perabotannya yang jarang bergeser yang tahu paling pasti kuantitas sepasang kaki yang datang di setiap malamnya. Juga, hanya dinding kamar ini yang paling mampu melematiku sebagai pekerja keras alih-alih perempuan nakal yang frasanya bahkan sudah seperti makanan sehari-hariku. Sebab, cuma dinding kamar ini yang paling tahu seberapa mati-matiannya aku menjaga diriku agar tetap waras selagi ada nyawa yang perlu terus aku nyalakan kehidupannya.

Aku cuma perempuan yang umurnya hendak menginjak ke angka 20. Dan, jika saja aku bisa memilih lahir dari rahim yang seperti apa—seperti rahim yang bisa menghadirkan aku di keluarga yang serba cukup—aku mungkin mau bertaruh sebab aku tahu kata cukup itu punya kuasa besar untuk tidak menyetir hidupku seperti ini.

Aku cuma perempuan yang umurnya hendak menginjak ke angka 20. Dan, butuh waktu lebih dari tiga per empat dari usiaku untuk sadar jika komposisi tubuhku tidak tersusun dari air atau oksigen, melainkan keputusasaan.

Keputusasaan itu seperti rantai yang turun-temurun, memasung kedua kaki ibuku lalu menjerat pergelangan kakiku. Barangkali, beberapa tahun kedepan, rantai itu akan tahu caranya mengikat jari-jemari adik perempuanku. Keputusasaan itu membelenggu siapa pun di keluarga kami tanpa terkecuali, senantiasa hadir di keturunan selanjutnya tak peduli seberapa banyak peradaban yang mampu rahim di keluarga kami hadirkan.

Keputusasaan itu menyaksikan reaksi yang paling kubenci ketika ibu lekas mengiyakan pilihanku untuk bekerja di rumah bordil dekat stasiun, melayani pria-pria yang datang dengan uang lecak dan badan penuh keringat—alih-alih meraung sebab kemiskinan ini yang memberi mantap pada keputusanku.

Sama pula ketika bibit putus asa itu kali pertama lahir di diriku ketika ibu memintaku berhenti sekolah karena katanya, “Kita gak ada uang, Ayu,” dan yang bisa aku lakukan cuma mengangguk. Seakan, tidak ada perasaan dongkol dan iri yang menguasai hatiku saat itu karena harus putus sekolah. Seakan, tidak ada amarah yang saat itu sudah mengantri di ujung kerongkonganku untuk aku tumpahkan.

Tapi kepada siapa amarah itu harus aku tumpahkan?

Kepada ibu yang mungkin sama ingin matinya seperti aku? Kepada ayah yang pergi meninggalkan kami? Kepada adik-adikku yang tak tahu apa-apa? Kepada orang-orang besar di luar sana yang memberi janji basi untuk menyejahterahkan kami, orang miskin? Kepada Tuhan yang mengatur semua ini? Kepada siapa amarah itu bisa ditumpahkan agar ada kebahagiaan yang bisa kami dapatkan setelahnya?

Tidak ada.

Karena orang miskin seperti kami seperti tidak pernah diberi pilihan untuk berbahagia.

Belum lagi dengan kenyataan bahwa kini aku justru berakhir di sini. Menjanjikan diriku sebagai nilai tukar dari rupiah yang kadang kalanya tak pasti. Ada harga yang dibayar untuk tubuhku, tapi tidak dengan harga diri berikut sisa kewarasanku yang sudah tiris.

Ruang kamar ini tidak pernah tidur di malam hari. Keheningan yang tercipta ketika aku sendiri di bilik ini paling tidak akan lekas dibalas oleh kericuhan di bilik lain yang entah bagaimana sampai ke kamar sempit ini. Dan selagi menunggu pengunjung lain datang untuk menukar lembar uang mereka dengan apa yang rumah bordil ini janjikan, kadang kalanya riuh itu justru membentuk badai di dalam kepalaku.

Tidak sekali dua kali pintu bilik terbuka dan aku menemukan wajah yang tidak asing di sana. Ada pria paruh baya yang sering berpapasan denganku di pagi kala aku kembali sedangkan ia tengah menyapu halaman rumah, ada juga laki-laki pemilik kedai minimalis di pinggir jalan yang beberapa kali kutemui setiap aku membeli makan untuk adik-adikku. Keduanya seorang suami, juga seorang ayah.

Dan aku tidak pernah tahu seberapa jauh manusia mampu menjelma menjadi malam yang mengerikan—terutama ketika seorang suami, seorang ayah, datang ke rumah bordil dan membayar jasa kami alih-alih menukar valuta itu untuk makanan yang bisa ia beli untuk istri juga anaknya di rumah. Aku tidak pernah tahu semengerikan apa rasanya menjadi manusia sampai kompas moralku yang dipermainkan saat itu dan aku justru terbentuk menjadi salah satunya.

Rambutku pernah dijambak. Pipiku pernah ditampar. Dan wajahku pernah kena ludah. Ada sumpah serapah yang mereka beri padaku; pelacur, jalang, perempuan murahan. Amarah itu mengalir dari mulut perempuan yang mengetahui pasangannya datang ke bilik kamarku—menyudutkanku ke tepi, seakan kesalahan itu sepenuhnya aku yang mengampu. Seakan aku yang menarik laki-laki itu untuk datang ke bilik kamar ini. Seakan memang begini kehidupan yang aku mau.

Akan selalu ada orang-orang yang mengejewantahkanku; mendiktekan mana yang baik bagiku menurut mereka, memberi seribu satu cara paling bersih yang mereka ketahui untuk menyalakan kehidupan di rumah sepetak kami yang sudah lama mati lampu. Suara-suara yang hadir dengan lembut tapi menurutku bajingan. Mereka memberi saran perihal ini dan itu, berpretensi peduli dengan aku beserta masa depanku, “Nanti susah cari jodohnya, mana ada yang mau dengan perempuan yang jual diri seperti ini.”

Dan jika nasihat itu hanya kutelan dengan tak acuh, mereka akan mengamuk. Lalu akan mereka bilang, “Susah bicara dengan pelacur yang gak tamat sekolah.” Seolah-olah, pretensi peduli itu bahkan tak mampu bertahan lebih dari sepuluh menit. Bahkan, kepedulian palsu itu menguap dengan cepat dan tidak mampu merengkuh aku dalam ilusi aman. Lantas, bagaimana kepedulian pura-pura yang mereka beri itu cukup untuk menghidupi aku ketika frasa nasihat itu bahkan tidak bisa aku tukar dengan uang yang bisa melunasi tanggungan hidup keluargaku?

Mereka akan menilai hidupku bak juri yang paham bobot dan komponen kehidupan, lalu memberiku saran untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Tapi saran-saran itu bahkan tidak membantu sama sekali. Sebab dengan segudang saran yang aku terima; keluargaku tetap miskin serta kesulitan. Dan aku tetap ingin mati setiap harinya.

Karena pada akhirnya, tak peduli seberapa banyak kepedulian palsu yang orang beri juga perasaan sayang melihatku tumbuh menjajakan tubuh, yang mampu menyelami isi kepalaku berikut babak belur yang aku dapat untuk bertahan hidup hanya dinding kamar bilik sempit ini. Cuma mereka yang tahu bagaimana aku selalu ingin mencekik diriku sendiri sebab keputusan apa yang aku setujui di lalu hari untuk terlahir dan menjalani hidup yang seperti ini. Hanya mereka yang paham bagaimana kematian selalu terasa dekat di benakku namun lekas menjauh setiap kali bayangan adik-adikku timbul di kepalaku yang penuh.

Karena pada akhirnya, pekerja seks seperti aku hanya memiliki dinding kamar sempit ini sebagai rumah yang paling paham mengenai diriku.

 

Ilustrasi: Mahalia Taranrini.

Penulis: Mahalia Taranrini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *