Marketing Rabbani: Saat Korban Pelecehan Seksual Disalahkan dalam Berpakaian

Opini

Rabbani dengan gamblang mengaitkan penyebab kekerasan seksual dengan gaya berpakaian perempuan yang minim. Hal ini memunculkan respons kontra dari masyarakat dan menunjukkan marketing tanpa moralitas.

Aspirasionline.com – Marketing pada dasarnya dilakukan untuk mempromosikan dan menginformasikan suatu produk kepada masyarakat. Diharapkan dengan suatu upaya strategi marketing, maka akan tercipta branding produk yang dapat memberikan efek persuasif yang kuat di benak masyarakat akan brand tersebut.

Seringkali marketing dibuat dengan metode yang unik, bahkan ekstrem. Tak ayal hal ini dilakukan perusahaan sebagai upaya menarik atensi masyarakat untuk dapat memberikan respons terhadap produk yang dipasarkan brand tersebut.

Terkait dengan pemasaran, sempat ramai diperbincangkan di beberapa laman media sosial mengenai gaya marketing salah satu brand hijab yang cukup terkenal, yaitu Rabbani. Rabbani sempat menyinggung mengenai cara berpakaian wanita saat memasarkan produknya.

Rabbani mengkritik wanita-wanita yang berpakaian minim, kemudian mengaitkannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan ini sering terjadi. Dalam konteks ini, Rabbani bukan hanya mengkritik, tetapi juga menyalahkan, menggeneralisasi aturan berpakaian, dan membingkai seolah-olah kasus kekerasan seksual itu sangat erat kaitannya dengan gaya berpakaian korbannya.

Hal tersebut kemudian menarik banyak atensi masyarakat dengan ikut memberikan tanggapan pro maupun kontra terhadap pernyataan Rabbani mengenai interdependensi antara gaya pakaian wanita dengan kasus kekerasan seksual yang marak terjadi. 

Gaya Berpakaian Bukan Alasan untuk Dijadikan Objek Seksual

Pada dasarnya, gaya berpakaian merupakan suatu hal yang sering diperhatikan demi menjaga penampilan, khususnya wanita. Bahkan, gaya berpakaian sekarang ini tidak jarang juga digunakan untuk memperlihatkan kemampuan dan status sosial seseorang.

Memang gaya berpakaian seseorang juga dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya agama dan kepercayaan yang dianut. Agama memiliki peranan penting  memberikan pedoman terkait cara berpakaian seseorang. Namun dalam hal ini, kepercayaan dan agama bersifat personal dan sudah masuk dalam ranah pribadi masing-masing individu. 

Agama dan keyakinan yang melekat pada kultur masyarakat Indonesia juga  beragam, hal inilah yang membuat upaya-upaya menggeneralisasi dan memaksakan salah satu hukum agama atau kepercayaan tertentu bukanlah hal yang bijak, termasuk juga dalam hal cara berpakaian seseorang.

Sedangkan mengenai besarnya pengaruh dari cara berpakaian terhadap ancaman peluang menjadi korban kekerasan seksual dapat dilihat dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau disingkat Komnas Perempuan tentang penyebab kekerasan seksual. 

Menurut CATAHU Komnas Perempuan, selama 2022 terdapat 4.660 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, di mana yang menjadi korban-korbannya tidak menunjukkan indikasi mode atau gaya berpakaian tertentu. 

Bahkan Komnas Perempuan memberikan klarifikasi secara terbuka bahwa sejak CATAHU 2001 hingga 2022, Komnas Perempuan tidak pernah menyebutkan bahwa pakaian perempuan yang terbuka menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan seksual.

Para perempuan korban kekerasan seksual justru kebanyakan orang-orang terdekat korban yang memang sudah mengenal korbannya lebih dulu, bukan yang tiba-tiba tertarik dengan gaya berpakaiannya. 

Terlebih lagi, korban kekerasan seksual juga berasal dari berbagai kalangan usia, baik yang sudah bisa menentukan sendiri ingin berpakaian seperti apa, maupun anak-anak yang sejatinya belum mengetahui mengenai aturan berpakaian. Hal ini tentu saja semakin mematahkan opini yang menyatakan bahwa pakaian merupakan faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual.

Benahi Pola Pikir, Bukan Dikte Gaya Berpakaiannya

Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki pemikiran bahwa  pakaian perempuan merupakan salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual. Hal ini memunculkan aturan keterpaksaan yang tersirat kepada para perempuan untuk berpakaian sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Anehnya lagi, aturan tersirat ini hanya ditekankan bagi kaum perempuan saja, yang mana dalam hal ini perempuanlah yang paling sering menjadi korban kekerasan seksual. Berbanding terbalik, laki-laki justru tidak dituntut apapun dalam hal ini, bahkan saat masyarakat tahu fakta bahwa mayoritas pelaku berasal dari kaum laki-laki.

Pola pikir seperti inilah yang juga menjadikan banyak korban kekerasan seksual yang akhirnya tidak ingin menyuarakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Ekspektasi akan respons masyarakat yang akan memojokkan korban kekerasan seksual menjadi faktor utama sulitnya korban kekerasan seksual untuk berani melakukan pelaporan.

Sebenarnya penyebab utama yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan seksual adalah pola pikir dan hawa nafsu dari pelaku yang tidak bisa dikontrol. Bagaimanapun pakaian, usia, pekerjaan, dan keadaan dari si korban tidak semata-mata bisa dijadikan alasan untuk dapat melakukan kekerasan seksual. 

Perubahan pola pikir mengenai pengaruh cara berpakaian yang menjadi penyebab kekerasan seksual harus dihilangkan. Edukasi kepada masyarakat oleh pemerintah dan instansi terkait seperti Komnas Perempuan untuk meningkatkan literasi masyarakat tentang bahaya dan cara menyikapi kekerasan seksual perlu ditingkatkan, sehingga tidak akan ada lagi diskriminasi terhadap kaum perempuan dan korban kekerasan seksual.

Lalu diperlukan juga edukasi diri dan peningkatan pendidikan karakter untuk menciptakan pola pikir yang baik dengan menjunjung tinggi moralitas dan rasa saling menghormati antar sesama. Dengan pola pikir yang baik akan menciptakan masyarakat yang lebih berkualitas, sehingga angka kasus kekerasan seksual dapat ditekan.

 

Ilustrasi: Alfianti Putri.

Penulis: Alfianti Putri, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis semester 4, UPNVJ.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *