Gentrifikasi, Permasalahan Ketimpangan Ekonomi Hingga Pergeseran Wilayah Populasi
Gentrifikasi digambarkan sebagai perubahan lingkungan ke arah kualitas hidup yang semakin baik dengan menggunakan lahan yang awalnya sebagai pemukiman warga menjadi wilayah komersil.
Aspirasionline.com – Seorang youtuber bernama Nas Daily belakangan ini menjadi buah bibir netizen Indonesia lantaran unggahan videonya di laman short Youtube yang berdurasi 1 menit dan diunggah pada Rabu, (8/2) menyebut Bali sebagai pulau terputih di seluruh Asia menjadi kontroversi.
“She is white, he is white, and they are white. And this is the whitest island in all of Asia, this is Bali. (Dia berkulit putih dan mereka berkulit putih. Ini adalah pulau terputih di seluruh Asia, ini adalah Bali),” ujar Nas di video tersebut sambil menyorot potret orang-orang asing di Bali.
Isu gentrifikasi kemudian muncul di tengah perdebatan hangat warganet. Bukan karena permasalahan warna kulit, tetapi didasari pada kekhawatiran masyarakat Indonesia terkait potensi pergeseran lahan populasi warga lokal Bali terhadap dominasi Warga Negara Asing (WNA).
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia Indera Ratna Irawati Pattinasarany lantas menjabarkan pengertian gentrifikasi, yaitu pergeseran permukiman oleh warga kelas menengah terhadap warga kelas bawah.
“Gentrifikasi yang saya pahami kan wilayah yang tadinya dihuni oleh kelas bawah, kemudian digantikan untuk pemukiman bagi kelas menengah,” ujar wanita yang sering disapa Ira tersebut saat dikonfirmasi pada Kamis, (16/2).
Ia menyebut, warga kelas bawah akan terpinggirkan dari warga kelas menengah yang lebih mampu membeli aset properti di wilayah tempat mereka tinggal. Sehingga ditakutkan, akan tercipta pemukiman kumuh di wilayah kota.
“Orang kelas bawah itu tereksekusi dari kehidupan mereka, mereka kelompok marginal, enggak jelas hidupnya mau kemana. Jangan sampai karena mereka tersisih, terpaksa harus membangun kampung kumuh yang ada di kota,” ucapnya.
Diketahui, saat ini harga tanah di Bali semakin tinggi, misalnya di Nusa Dua. Harga tanah di daerah tersebut bisa mencapai Rp 1 miliar per meter, sedangkan pendapatan masyarakat Bali, jika sesuai Upah Minimum Rata – rata (UMR) hanya sekitar 2,5 – 2,7 juta per bulan.
Berbanding terbalik tentunya dengan pendapatan WNA, yang nilai tukarnya saja dari dolar ke rupiah sudah cukup tinggi.
Tentu saja, dengan harga tanah dan ketimpangan ekonomi yang tinggi tersebut, masyarakat Bali dikhawatirkan akan kalah saing dengan WNA dalam sumber daya memperoleh properti.
Tak Hanya Bali, DKI Jakarta Juga Jadi Wilayah Sasaran Gentrifikasi
Ditanya mengenai wilayah sasaran gentrifikasi, Ira menyebut DKI Jakartalah yang menjadi sasaran empuk bagi para warga kelas menengah untuk membeli lahan yang ditempati warga kelas bawah.
Hal itu mengakibatkan banyaknya penggusuran warga kelas bawah yang menempati daerah tersebut.
“Kalau yang saya tau terkait gentrifikasi tuh bisa aja kayak di Jakarta. Daerah pinggiran kota Jakarta banyak diduduki oleh kelompok menengah ke atas di mana kelompok bawah tergusur, baik itu di pinggiran maupun di tengah kota,” ungkapnya.
Berdasarkan Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2018 yang ditulis oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut bahwa sepanjang bulan Januari hingga September tahun 2017 telah terjadi 91 penggusuran di titik pemukiman warga di seluruh Jakarta.
Sedangkan sepanjang bulan Januari hingga September tahun 2018, sebanyak 67 penggusuran telah terjadi di berbagai wilayah Jakarta, dengan daerah yang paling banyak tergusur adalah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, padahal di wilayah tersebut pula pemukiman kelas menengah dan perkantoran berada.
Tujuan penggusuran di wilayah DKI Jakarta, menurut laporan tersebut, bermacam-macam, di antaranya proyek normalisasi, revitalisasi kawasan, taman kota, penertiban, proyek MRT, pelebaran jalan, atau jalur hijau.
Ira lantas menyayangkan banyaknya penggusuran yang terjadi akibat gentrifikasi mengakibatkan warga lokal dengan terpaksa harus berpindah ke wilayah lain.
“Tetapi yang menjadi pertanyaan orang-orang itu akan pindah kemana? Mereka itu tersisih sehingga harus mencari pemukiman yang lain,” ucapnya.
Dampak Gentrifikasi: Tersisihnya Eksistensi hingga Nilai Historis Warga Lokal
Maraknya fenomena gentrifikasi tentunya menimbulkan beberapa dampak negatif dan positif. Ira menyebut, dampak negatif dari gentrifikasi yang pertama yaitu warga yang tersingkirkan dari tempat asalnya akan kesusahan beradaptasi di tempat barunya.
“Pindah dari suatu komunitas itu bukan hal sederhana, tapi kehidupannya, sosialnya, juga berubah,” ungkapnya.
Wanita itu melihat adanya kemudahan akses sarana dan prasarana maupun akomodasi bagi warga kelas atas jika akan beraktivitas di tengah kota yang tidak didapatkan oleh warga kelas bawah.
Menurutnya, warga kelas bawah yang tergusur tetapi tetap harus beraktivitas di tengah kota akan kesulitan untuk mencapai tujuan karena keterbatasan yang mereka miliki.
“Karena mereka untuk bisa ke tengah kota, gimana caranya? Sedangkan kalau kelas atas, mereka punya sarana pribadi, kalau kelas bawah kan susah ya harus hidup di pinggir kota,” kata Ira.
Lebih dalam, Ira menyebut fenomena gentrifikasi, khususnya di DKI Jakarta akan merubah komposisi penduduk lokal. Penduduk asli DKI Jakarta yang mayoritas merupakan suku Betawi akan tersingkir akibat lahan sekitarnya dibeli oleh pendatang.
Hal itu tentu mengakibatkan berkurangnya nilai historis terhadap tempat tinggal yang ditempati warga DKI Jakarta sebelumnya.
“Kemudian lahannya dibeli oleh pendatang yang bukan orang Betawi, orang yang punya uang. Kemudian dibeli lahannya, sehingga nilai historisnya terhadap tanah (berkurang), orang Betawi tadi harus pergi dari daerahnya,” katanya.
Selain dampak negatif, menurutnya masih ada dampak positif dari gentrifikasi, yaitu kualitas hidup warga kelas bawah menjadi lebih baik.
“Dengan beralih kepemilikan menjadi milik kelas orang menengah ke atas, mereka akan menciptakan lingkungan yang standar kualitasnya lebih baik,” tukas Ira.
Foto: www.niaga.asia.
Reporter: Fitrya Anugrah | Editor: Miska Ithra.