Mengintip Sisi Gelap Peradilan Melalui ‘The Trial of the Chicago 7’

Resensi

Judul : The Trial of The Chicago 7

   Produser : Steven Spielberg, Stuart M. Besser, Matt Jackson, Marc Platt, Tyler Thompson

Penulis : Aaron Sorkin

Durasi : 129 menit

Tanggal rilis : 25 September 2020

The Trial of the Chicago 7 merupakan film drama hukum yang menceritakan proses peradilan tujuh aktivis anti-Perang Vietnam yang dituduh memicu kerusuhan di sebuah aksi demontrasi.

Aspirasionline.com — The Trial of the Chicago 7 merupakan sebuah film adaptasi yang diangkat dari kisah nyata sekelompok aktivis anti-Perang Vietnam di Amerika Serikat. Kelompok aktivis yang beranggotakan tujuh orang ini dijuluki sebagai Chicago 7 yang beranggotakan Abbie Hoffman, Tom Hayden, David Dellinger, Jerry Rubin, John Froines, Rennie Davis, dan Lee Weiner.

Ketujuh aktivis anti-Perang Vietnam ini merupakan bagian dari kelompok orang yang menentang Perang Vietnam yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pasalnya, perang ini terjadi dan telah melanggar hak asasi manusia karena adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan untuk mengirim tentara muda wajib militer ke medan perang. Pada puncaknya, perang ini telah memakan korban sebanyak lebih dari 30.000 warga Amerika dan lebih dari 1.000 tentara Amerika Serikat gugur setiap bulannya.

Konvensi Nasional yang diadakan oleh Partai Demokrat di Chicago pada tahun 1968 akhirnya menjadi wadah bagi para aktivis untuk menggelar aksi protes damai mereka. Namun sayangnya, aksi protes damai ini tidak berjalan seperti yang diharapkan.

Salah satu dari anggota Chicago 7, Rennie Davis, diserang oleh polisi menggunakan tongkat hingga terluka. Hal ini lantas merubah aksi damai tersebut menjadi sebuah kerusuhan antara para aktivis dengan kepolisian dan Garda Nasional. Chicago 7 pun ditangkap oleh pihak kepolisian dan dituduh sebagai pemicu kericuhan pada Konvensi Nasional tersebut.

Selain menunjukkan tindakan kekerasan yang dilakukan kepada para aktivis, film yang disutradarai oleh Aaron Sorkin ini juga menampilkan sisi lain dari pengadilan yang justru penuh dengan ketidakadilan.

Julius Hoffman, hakim yang memimpin  Seventh Circuit Court of Appeal, berkali-kali menunjukkan sikap yang tidak adil terhadap para aktivis. Hal ini terjadi karena pengadilan dan pemerintah Amerika Serikat telah menyabotase hasil akhir dengan mengetuk vonis terlebih dahulu bagi para aktivis bahkan sebelum sidang dimulai.

Film ini diakhiri dengan adegan Tom Hayden yang membacakan seluruh nama korban Amerika yang meninggal akibat perang Vietnam sebagai wujud kehormatan mereka. Adegan ini juga menjadi manifestasi atas penolakan terjadinya perang Vietnam yang berhasil menelan korban yang begitu banyak.

Kriminalisasi Terhadap Aktivis di Indonesia

Realitanya, kriminalisasi terhadap aktivis sering terjadi di beberapa negara besar seperti yang diceritakan dalam film tersebut. Di Indonesia sendiri, isu ini bisa dikatakan sebagai rahasia umum. Pasalnya, ada beberapa aktivis yang menerima kekerasan, perlakuan tidak adil, teror, penculikan, bahkan hingga terbunuh tanpa diketahui penyebabnya. 

Salah satunya ialah Marsinah, Wanita yang tidak asing di telinga kita karena ia merupakan seorang aktivis buruh yang ditemukan tewas secara tragis seusai menuntut keadilan bagi para buruh. Kasus penculikan aktivis pada “Tragedi Semanggi” di tahun 1998 pun turut mewarnai isu kriminalisasi terhadap aktivis ini. Kekerasan seakan hadir sebagai jalan pintas untuk membungkam setiap kritik yang ada.

Hingga saat ini, kasus penyerangan terhadap aktivis pun masih terus berlanjut. Padahal, kebebasan berpendapat merupakan sebuah hak mendasar dalam kehidupan yang seharusnya dijamin dan dilindungi oleh negara. Negara seharusnya mampu menerima kritik dan saran, bukan justru menangkap dan melakukan kekerasan terhadap aktivis yang vokal menyuarakan kritik mereka sebagai upaya untuk mempersempit ruang bagi mereka dalam bersuara.

Sistem Peradilan yang Jauh dari Kata Adil

Melalui film The Trial of the Chicago 7, penonton dibawa terjun langsung ke dalam suasana di ruang persidangan. Selain itu, penonton pun dapat menilai bagaimana suatu sistem peradilan justru bekerja jauh dari kata adil itu sendiri. Persidangan yang dijalani oleh ketujuh aktivis ini hanya dijadikan sebagai panggung sandiwara sebab vonis bagi mereka sudah terlebih dahulu dijatuhkan jauh sebelum sidang dilaksanakan.

Sayangnya, gambaran buruk mengenai sistem peradilan tersebut justru masih terealisasi di Indonesia. Sistem peradilan dianggap masih jauh dari kata sempurna sehingga belum mampu berdiri tegak sebagai pilar keadilan di Indonesia.

Tak jarang, sistem peradilan ini justru menjadikan hukum di Indonesia bak mata pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini terbukti pada kasus Nenek Asyani yang didakwa mencuri kayu jati dari kawasan hutan produksi pada 7 Juli 2014. Dakwaan ini lantas menjerat Nenek Asyani dengan ancaman lima tahun penjara.

Mirisnya, Nenek Asyani justru dijadikan sebagai panggung bagi para politikus untuk menarik dukungan rakyat dengan  berpura-pura simpatis. Kasus ini menjadi wujud nyata jika rakyat kecil kerap kali hanya dianggap sebagai alat legitimiasi dan permainan politik.

Berbanding terbalik dengan kasus Nenek Asyani yang begitu sigap ditangani, hukum seakan menjadi lumpuh jika sudah menyangkut kasus korupsi dari para petinggi. Contohnya adalah kasus korupsi dana bansos yang dilakukan oleh Ketua DPRD Bengkalis, Heru Wahyudi. Atas perbuatannya, Heru divonis satu tahun enam bulan penjara. Vonis ini sangat bertolak belakang dengan tuntutan jaksa yang menuntut Heru dengan pidana delapan tahun enam bulan penjara.

Tindakan yang merugikan rakyat ini justru mendapatkan keringanan yang besar. Bahkan tak jarang, perkara korupsi ini justru menganggur dan tak terselesaikan. Padahal, seharusnya hukum mampu ditegakkan secara adil tanpa pengecualian.

Penulis:  Mahalia, Mg. | Editor: Adhiva Windra

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *