Media dan Kaitannya Terhadap Penolakan Vaksin di Tengah Masyarakat
Media mempunyai andil dalam menciptakan penolakan vaksin di tengah masyarakat.
Aspirasionline.com – Pada Januari 2021, terdengar angin segar bahwa masyarakat Indonesia akan segera mendapatkan vaksin. Namun, angin segar tersebut tidak sepenuhnya disambut dengan baik oleh masyarakat. Lantaran pemberitaan lain terkait vaksin Sinovac yang mulai bermunculan.
Kecurigaan akan aman atau tidaknya vaksin Sinovac menjadi salah satunya. Kabar miring mengenai asal-usul vaksin pun mulai dipertanyakan. Hingga tagar #TolakDivaksinSinovac memenuhi barisan trending topic di Twitter pada Selasa, (12/1) lalu, dengan lebih dari 13 ribu tweet.
Dosen Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Mashita Fandia menuturkan, bahwa masyarakat Indonesia masih belum terbiasa dengan pola literasi yang mengharuskan mereka mengecek fakta terlebih dahulu. Sehingga hal itu menyebabkan banyaknya distorsi informasi.
“Jika Stasiun TV A bilang begini apakah Stasiun TV lainnya juga bilang begitu? kan belum sampai kesana. Jadi, orang masih menerima mentah-mentah informasi yang kita dapatkan,” ujar Mashita dalam wawancara dengan ASPIRASI, pada Jumat, (19/03).
Pun menurut Mashita, hal lain yang menjadi perdebatan adalah mengenai efek samping dari vaksin Sinovac. Mengingat produksi vaksin tersebut yang terbilang cepat di masa pandemi. Mashita mengatakan, hal tersebut masih pula terkait dengan permasalahan tingkat literasi bangsa.
“Kalau kita membahas mengenai masalah efek samping, kita tidak bisa melihat kesaksian dari satu dua orang saja, karena vaksinasi mempunyai efek yang berbeda-beda pada setiap orang, tergantung dengan kondisi kesehatan mereka,” ucap Mashita.
Bila mendengar beberapa pengakuan dari warganet yang telah divaksin Sinovac, efek samping yang dirasakan ialah demam, kelelahan dan alergi.
Peran Media
Media pun memiliki peran penting dalam penolakan vaksinisasi yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya, ketika vaksin Sinovac yang sudah siap, cukup banyak pemberitaan tentang vaksin yang menimbulkan misinformasi. Mashita menuturkan, bahwa media tidak seharusnya memiliki agenda pribadi dalam pemberitaan vaksinisasi.
“Pandemi Covid-19 ini menyebabkan peluang mencari uang menjadi sangat terbatas, tidak terkecuali jurnalis. Apalagi di zaman digital seperti ini. Maka tidak heran beberapa media memutuskan untuk menerbitkan artikel yang faktanya bahkan belum dapat dikonfirmasi,” ujar Mashita.
Menurut Mashita, tak dapat dipungkiri terdapat beberapa informasi yang terkesan menghasut masyarakat dan menyerang core value mereka. Core value sendiri adalah prinsip atau nilai utama yang dipegang teguh oleh seseorang dalam menjalani hidup, seperti nilai dan norma.
“Maka ketika ada seseorang yang menggunakan core value ini untuk menghasut orang lain agar menolak divaksin, tidak heran lah jika orang itu dengan mudah mempercayainya,” jelas Mashita.
Pemberitaan yang beredar lainnya, yakni mengenai keterlibatan korporat dalam pendistribusian vaksin. Menanggapi hal tersebut, Mashita menjawab kalau hal ini merupakan logika yang gagal. Selain karena argumentasi yang tidak masuk akal, di era kapitalisme seperti ini, semua hal dapat diperjual belikan.
Di sisi lain, pemerintah juga mengeluarkan banyak dana untuk mengirim vaksin ke Indonesia dan lembaga-lembaga farmasi yang berhubungan dengan penelitian vaksin juga pastinya mengeluarkan banyak dana.
“Era kapitalisme ini enggak ada yang tidak jualan. Apa lembaga tersebut enggak punya dana untuk running? Katakanlah kalau ada orang membangun argumentasi seperti itu, mungkin orang itu punya sentimen tersendiri,” tutup Mashita.
Foto: Google.
Reporter: Bianca Chairunisa. | Editor: Azzahra Dhea.