Mengapa Tren Self Harm di Medsos Kian Marak?

Forum Akademika

Self harm sering terjadi, terutama pada kalangan remaja. Maraknya fenomena ini disebabkan banyak hal, mulai dari faktor internal ataupun tekanan sosial dari lingkungan sekitar.

Aspirasionline.com − Self harm adalah sebuah upaya melukai diri yang dilakukan secara sengaja. Biasanya, bukan dilakukan dengan tujuan bunuh diri, tetapi karena dianggap bisa mengatasi stress. Psikolog, Fajri M Badrudin mengungkapkan self harm bisa terdiri dari beragam bentuk. Mulai yang dapat terlihat hingga secara halus.

“Misalnya seperti menyayat pergelangan tangan atau paha. Ataupun menyakiti secara halus seperti tidak memperhatikan kondisi badan, tidak memperdulikan kebutuhan emosi dia,” kata Fajri ketika diwawancarai ASPIRASI pada Kamis, (3/12).

Fajri mengungkapkan, terdapat suatu penelitian yang mengatakan terdapat sepuluh persen remaja berusia 13-15 tahun dilaporkan memiliki perilaku self harm. Menurutnya, memang yang melakukan self harm lebih banyak remaja. Fakta lainnya adalah remaja yang lebih banyak melakukan self harm ini adalah remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki.

Banyak alasan dan tujuan yang mendasari seseorang melakukan self harm. Menurut Fajri, self harm bisa menjadi sebuah upaya mengkomunikasikan diri kepada orang lain bahwa dirinya sedang mengalami kesakitan. Self harm juga dapat dianggap sebagai Pain Offset Relief, dimana mereka yang melakukan self harm akan merasa lega dengan perilaku menyakiti diri tersebut.

Secara psikologi, alasan seseorang melakukan self harm sangatlah kompleks. Fajri mengatakan salah alasan melakukan self harm bisa jadi karena ia memang memiliki gangguan mental ataupun karena tujuan lain.

Tren Self Harm Meningkat di Media Sosial

Self harm di media sosial (medsos) saat ini menjadi sarana yang bersifat ajakan. Saat membagikan pengalamannya, Fajri bahkan merasa miris dengan maraknya self harm yang secara terang-terangan diabadikan

“Bahkan klien saya ada yang mengatakan dia tahu soal self harm ini karena ada tutorialnya ini justru yang sangat bikin miris gitu ya karena akhirnya ada juga yang menganggap bahwa self harm itu jadi trend,” terangnya.

Suiciodology, Benny Prawira menjelaskan self harm di sosial media di khawatirkan menggangu bagi mereka yang melihatnya. Terutama untuk orang-orang yang yang sudah mengalami depresi sebelumnya.

Erat kaitannya dengan self harm, tindakan self diagnose menurut Fajri juga perlu dihindari. Self diagnose menurut Fajri merupakan usaha mendiagonsa diri sendiri bahwa ia mengalami penyakit mental tertentu. Alih-alih mendiagnosa diri sendiri, Fajri menyarankan agar langsung berkonsultasi dengan ahlinya

“Misalnya kita merasakan hal yang memang tidak wajar dalam diri kita baik yang hubungannya dengan psikologis maka sebaiknya segera pergi ke profesional temui ahlinya baik dokter, psikiater ataupun psikolog,” jelas Fajri.

Benny juga mengungkapkan bahwa self diagnose sebenarnya bagus, akan tetapi hal tersebut dapat menimbulkan masalah baru. Karena menurutnya proses diagnosis masalah kejiwaan sangatlah kompleks. Dalam treatment dibutuhkan alat tes, wawancara, observasi dan rangkaian sesi yang perlu dilakukan dengan professional. Karena rangkaian treatment yang panjang dan sulit, menjadikan self diagnose banyak dilakukan. Namun, Benny menghimbau agar itu tidak dijadikan alasan yang mendasari self diagnose.

“Tolong jangan jadikan ini alasan seolah-olah diagnosis yang kita baca itu pasti valid apalagi sampai membeli obat sendiri tanpa pengawasan professional,” jelas Benny pada Kamis, (3/12).

Fajri menyampaikan sarannya untuk membantu remaja Indonesia mengurangi perilaku self harm. Salah satu diantaranya dengan tidak menghakimi para pelaku self harm, menawarkan bantuan, mengajarkan cara coping stress yang tepat, serta dukungan keluarga.

“Diharapkan mulai dari keluarga lalu lingkungan support ya terhadap kesehatan mental, sehingga kasus-kasus self harm ini bisa menurun dan generasi muda kita nih lebih sehat secara mental itu,” tutup Fajri.

Foto: Google.

Reporter:  Syahzmil Mg, Salsabila Mg | Editor: Ambar Febrianti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *