Pelangi Harapan

CategoriesSastra

Hujan sudah mulai reda, Elisa masih duduk terdiam dengan pandangan lurus melihat ke arah luar jendela. Elisa berteriak dengan semangat memanggil ibunya dan bertanya padanya, “Ma, apa mama melihat ada pelangi di luar sana? Apakah warnanya indah, Ma?”

Sang mama menjawab halus sambil mengelus rambutnya, “I-iya sayang ada pelangi di sana. Warnanya sangat indah, tapi pelangi itu sangat jauh dari rumah kita sampai mama juga tidak bisa melihatnya dengan jelas.” Tanpa Elisa sadari mamanya sedang menahan air mata, mama kemudian memeluk Elisa dan mengusap rambutnya.

Elisa merasa senang mendengar bahwa pelangi yang ia nantikan akhirnya muncul sore hari ini. Mama mengatakan bahwa warna pelangi itu sangat indah dan Elisa pun percaya karena dari buku yang ia baca juga mengatakan bahwa pelangi itu memiliki warna yang indah. Pelangi seperti sebuah harapan yang datang setelah kesedihan berlalu.

Elisa selalu berharap bisa melihat pelangi yang indah meskipun sepertinya itu sudah tidak mungkin ia lakukan. Gadis kecil berumur tiga belas tahun ini mengalami buta warna sejak ia masih duduk di taman kanak-kanak.

Kecelakaan mobil lima tahun lalu melukai matanya hingga membuat sel pigmen mata gadis itu rusak. Bahkan hampir mengalami kebutaan. Untungnya, operasi saat itu berhasil meskipun akhirnya ia harus menderita penyakit mata ini. Kondisi fisiknya juga cukup lemah sehingga ia tak boleh banyak melakukan aktivitas yang membuat dirinya kelelahan.

Elisa tidak pergi ke sekolah umum seperti anak-anak lain seusianya, ia mengikuti homeschooling. Ia bahkan tidak punya teman karena orang tuanya melarang ia untuk pergi bermain keluar. Ia sangat suka bermain piano dan ia bercita-cita ingin menjadi seorang pianis yang memiliki konser sendiri.

Di suatu pagi saat Elisa sedang bermain piano di kamar, ia mendengar seperti ada ketukan dari jendela. Elisa mengeceknya dan mendapati sebuah surat. Ia membuka surat itu dan membacanya. “Lagunya sangat indah..” Elisa tersenyum seketika. Namun ia bingung siapa kiranya pengirim surat itu. Apalagi ia tidak punya teman satu pun.

Hari itu berlalu. Namun anehnya, setiap kali Elisa memainkan piano orang itu selalu kembali mengirimkan surat dan mengatakan bahwa lagu yang Elisa mainkan sangat indah dan ia sangat menyukainya. Kali ini Elisa membalas surat itu,  “Aku ingin menjadi seorang pianis tapi aku tidak yakin bisa, hanya dengan bermain piano hatiku bisa damai dan tenang meskipun aku selalu sendiri.”

Elisa mendapat balasan surat itu keesokan harinya, ia membuka dan membacanya, “Kamu pasti bisa… Kamu lihat pelangi disana? Itu seperti sebuah harapan, jadilah pianis suatu hari nanti.. Aku yakin kamu bisa. Elisa memandang ke luar jendela dan berkata, “Iya. Kamu benar, aku pasti bisa. Meskipun aku gak lihat pelangi di sana tapi aku percaya masih ada harapan selama aku mau berusaha.”

Ternyata itu adalah surat terakhir dari orang itu, ia tidak pernah mengirim surat lagi meskipun Elisa masih terus menunggunya.

Hari demi hari berlalu. Bulan dan tahun terus berganti. Elisa sudah menginjak usia delapan belas. Ia kini sudah menyelesaikan masa sekolahnya.

Ia ingin sekali datang ke festival musik klasik sore ini, tetapi orangtuanya tidak mengizinkan karena masalah kesehatan. Ditambah lagi dua hari yang lalu kondisi tubuhnya sangat lemah. Ia sempat pingsan.

Elisa sedih dan kesal pada dirinya. ‘Mengapa kondisinya harus seperti ini?’ pikirnya. Ia merasa tidak mungkin lagi dirinya bisa menjadi seorang pianis. Hidupnya selalu monoton dan menyedihkan. Ia selalu sendiri dan kesepian. Ia pun menangis ditemani rintik-rintik hujan sore itu.

Hujan mulai reda begitupun dengan tangisannya. Ia memandang keluar dan memikirkan apakah pelangi itu ada. “Gapapa El kali ini aja.”

Ia mengusap sekali lagi air matanya. Kemudian berganti baju dan keluar kamar. Orang tuanya ternyata sedang tidak di rumah, mungkin pergi ke kantor masing-masing. Dengan ragu-ragu ia pergi melangkah meninggalkan rumah, menuju ke jalan raya dan mencari taksi.

Sesampainya di sana, hati Elisa sangat bahagia. Untuk pertama kalinya ia pergi keluar rumah sendiri, bertemu banyak orang dan melihat orkestra musik klasik yang indah.

Di tengah keramaian ia melihat piano. Tanpa ragu ia duduk di kursi dan memainkan piano itu dengan lagu yang biasa ia mainkan. Lagu itu adalah ciptaannya sendiri. Satu per satu orang mulai datang dan melihat Elisa bermain piano dengan indah.

Elisa menyadari ternyata dirinya menjadi pusat perhatian saat itu, orang-orang terkagum melihatnya. Ia tersenyum bahagia hingga rasanya ingin menangis. Di antara puluhan orang yang melihat Elisa, seorang laki-laki berambut cokelat dengan jaket biru tua tersenyum dan bergumam kecil, “lagu itu.”

Setelah Elisa selesai memainkan lagunya, semua orang yang melihatnya bertepuk tangan. Ia terharu dan menunduk kepada mereka.

“Masih percaya kan kalo pelangi itu harapan? Lo keren banget barusan. Masih tetep pengen jadi pianis, kan?” Lelaki itu menghampirinya saat orang-orang sudah mulai pergi.

Elisa terdiam di tempat melihat orang itu. ‘Pelangi?’ Seketika semua memori surat-menyurat lima tahun yang lalu teringat kembali di pikirannya. ‘Jadi, apa dia orangnya?’

Laki-laki itu mengajak Elisa ke ruang pameran musik dan di sana ia mulai menceritakan tentang kejadian lima tahun lalu itu. Elisa diam terpaku mendengar ceritanya, ternyata dulu laki-laki itu sering mengunci diri di kamar untuk menjauhi kedua orang tuanya yang selalu bertengkar di ruang tamu. Ia menangis sendirian di kamar ditemani derasnya hujan. Saat hujan berhenti, ia melihat pelangi dari kamarnya dan ia juga mendengar suara indah piano yang dimainkan Elisa. Hatinya merasa tenang kala itu. Kini orang tuanya sudah bercerai dan meninggalkannya. Laki-laki itu berusaha sendiri dan berhasil mendapat beasiswa untuk berkuliah di Amerika.

Hati Elisa tersentuh mendengar ceritanya. Ternyata tidak hanya dia yang mengalami rasa kesepian di kala itu. Ia bahkan masih memiliki kedua orang tua yang menyayanginya.

Laki-laki itu memberinya selebaran kertas. Elisa melihat kertas itu dan membacanya. “Wujudkan Mimpimu dengan Konsermu Sendiri!” tulis dalam selembaran itu.

“Itu kompetisi piano, El. Lo harus ikut. Kalo lo menang, lo bisa wujudin mimpi lo dengan konser lo sendiri. Gue yakin lo pasti bisa.”

Elisa tersenyum dan mengangguk dengan yakin. “Makasih banyak, Sam. Gue gak bakal lupain bantuan lo, kalo gue berhasil jadi pianis dan punya konser sendiri. Lo harus dateng, oke?” Laki-laki itu, Samuel, menganggukan kepalanya dan tersenyum tulus.

Setelah itu, Elisa pulang. Samuel juga pulang karena dia harus langsung ke bandara dan menuju ke Amerika untuk melanjutkan kuliahnya di sana.

Elisa pulang ke rumah dan kondisi tubuhnya kembali drop. Ia sangat lemas hingga akhirnya pingsan. Ayahnya langsung menelepon dokter untuk segera ke rumah. Elisa kelelahan tetapi ia merasa senang hari itu.

Hari-hari berlalu. Selama di rumah, Elisa mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba tersebut yang dilaksanakan secara online. Ia harus mengirimkan videonya bermain piano lagu ciptaannya sendiri berdurasi sepuluh menit. Setiap hari ia berlatih untuk membuat lagu baru ciptaannya, seringkali ia kelelahan hingga akhirnya kembali drop.

Elisa sudah mengirimkan videonya dan ia harus menunggu waktu seminggu lagi untuk waktu pengumuman. Kondisi tubuhnya lagi-lagi drop hingga ia harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Ia membuka gawainya dan melihat ada surel masuk. Elisa menangis seketika saat mengetahui dirinya berhasil memenangkan kompetisi itu. Kedua orang tua Elisa memeluknya. Elisa pun menangis bahagia.

Tiga bulan berlalu. Elisa sedang bersiap di belakang panggung. Jantungnya berdegup kencang. Hari yang ia nantikan akhirnya tiba. Ia sangat bersyukur akhirnya mimpinya untuk menjadi seorang pianis dan memiliki konser sendiri akhirnya terwujud.

Elisa naik ke atas panggung dan mulai memainkan piano dengan sangat indah. Semua orang sangat menyukai penampilan Elisa.

Sejak hari itu, Elisa selalu mendapat tawaran untuk tampil di beberapa acara bahkan ada juga perusahaan yang ingin mensponsori konsernya. Kondisi tubuh Elisa juga kian membaik. Dokter juga mengatakan kondisi fisiknya dapat kembali normal, tetapi tidak pada matanya.

Waktu terus berlalu, kini Elisa sudah berusia dua puluh lima tahun dan saat ini ia akan melakukan konsernya di Los Angeles. Konser dihadiri oleh tamu-tamu penting, Elisa cukup gugup saat ini. ‘Ayo, El. Lo pasti bisa!’

Konser berjalan lancar, semua orang memberinya tepuk tangan. Elisa sangat bahagia. Saat ia berjalan di belakang panggung, tiba-tiba langkahnya terhenti. Elisa kaget melihat seseorang yang berdiri di sana. Dia adalah seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Seseorang yang membantu mimpinya terwujud. Samuel ada di sana.

Ia bertepuk tangan dan berkata, “Wow.. what a great performance, Elisa Margareth. It’s been seven years, right?” Elisa tersenyum bahagia. “Samuel?” Elisa menghampiri laki-laki itu dan memeluknya. Elisa terharu ternyata mereka bertemu kembali. “Pelangi itu sekarang udah bukan sekedar harapan. Makasih buat semuanya, Sam.”

Elisa sadar meskipun ia tidak bisa melihat indahnya warna pelangi tetapi ia percaya bahwa pelangi harapan itu ada. Selama ia mau terus berusaha, pelangi itu bisa ia gapai.

Foto: Google.

Penulis: Alexandra Mg.

About the author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *