Duka di Langit Cerah

Sastra

Hari yang panjang dimulai seperti biasa.

Hiruk pikuk kota terdengar riuh dimana-mana,

Diam-diam menjadi harapan untuk para insan yang sedang bersusah payah mencari cara untuk bertahan.

Bertahan untuk bisa makan,

Bertahan dalam keheningan,

Bertahan dari dinginnya malam,

Bertahan untuk tetap hidup.

 

Sepertinya langit terlalu penuh dengan angan yang ingin dicapai,

Sampai akhirnya ada yang lupa tempat untuk pulang.

Kota yang disebut tak ada lelahnya pun, barangkali ingin istirahat sejenak.

Sama seperti manusianya yang perlu rehat.

 

Namun tak pernah terlintas di benak, realita yang dihadapi hari ini.

Realita yang mampu mengubur setiap angan dalam sekejap,

Tak ada lagi gurauan saat agenda menonton televisi bersama keluarga,

Semua berganti duka yang dari hari ke hari,

Menjadi bayang-bayang gelap yang mengiringi langkah demi langkah di bawah langit yang terlihat cerah.

Hingga tempat yang berataskan atap bernama rumahlah, menjadi tempat satu-satunya untuk berpijak.

 

Rasanya sudah lama tak ada canda tawa yang terdengar di setiap sudut kota.

Sudah lama tak ada cerita klasik yang menggema di setiap ruangan.

Sudah lama tak ada obrolan panjang sehabis pulang sekolah.

Tak ada nyanyian malam minggu dari para remaja di pinggir jalan.

Atau sudah lama tak melihat senyum merekah saat bersua dengan kawan lama.

Saat ini yang terdengar hanyalah suara sirene mobil yang mengantarkan manusia untuk tetap berjuang.

Dan yang tersisa saat ini hanyalah doa yang selalu dipanjatkan kepada yang punya Semesta.

 

Duka yang menyelimuti kebahagiaan kala itu, rasanya tak mau pergi.

Padahal rasanya diri ingin bebas kesana kemari.

Entah harus sampai kapan duka yang tak pernah diharapkan itu, hinggap di langit-langit kota yang penuh harapan.

Yang perlahan tapi pasti, harapan itu terbang menghilang entah kemana.

 

Mungkin duka ini terasa mudah untuk mereka yang serba cukup,

Hingga terlalu percaya diri untuk bisa melewati duka yang tak diundang.

Melupakan bagaimana mungkin manusia lain dapat bertahan, disaat untuk mendapatkan sesuap nasi pun sulit.

Menutup mata saat di tempat lain, ada keluarga yang tak mampu membeli beras untuk dimasak.

Menutup telinga, pura-pura tak dengar isak tangis dari seseorang yang baru saja ditinggal orang tersayang karena duka ini.

Sedangkan mulut tetap berbicara, tanpa raga yang tak melakukan apapun untuk sesama.

 

Aku yang menulis kata ini,

Pun kamu yang membaca surat ini

Sedang berduka bersama

Sedang rindu akan langit yang indah tanpa kelabu

Sedang ingin mengulang hari yang terasa baik-baik saja, tanpa duka menemani.

Sedang berharap dalam diam, semua akan berlalu, Kembali seperti semula

 

Indonesiaku berduka,

Semoga selalu dalam lindungan-Nya.

 

Foto: Google

Penulis: Dhea Mg.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *