Semiotik Citra Perempuan dalam Media Visual

Nasional

Kalau seluruh media, tak hanya media visual, tidak memperdulikan prespektif gender dalam konteks produknya, maka kesenjangan gender akan tetap dilanggengkan

Aspirasionline.com – Berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan membuat masyarakat kini mudah untuk memperoleh informasi dan melakukan komunikasi. Media visual adalah salah satu media yang dipilih agar penyampaian informasi dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kemudahan proses penerimaan manusia terhadap sesuatu dengan metode visualisasi.

Media visual yang kerap kita temui adalah iklan, majalah, kartun,dan karikatur. Namun dalam transfer informasi dalam berbagai media tersebut kerap kali secara tidak langsung merepresentasi citra perempuan yang bias meliputi peran dan kewajiban serta sensualitas perempuan sebagai hasil analisis semiotik.

Nadira Mulyandari selaku Staf Media and Campaign The Asian Muslim Network (AMAN) menuturkan bahwa semiotika adalah sebuah metode yang digunakan untuk menerjemahkan suatu simbol atau tanda guna menghasilkan suatu makna yang utuh.

Ia melanjutkan dalam iklan misalnya perempuan kerap menjadi tokoh utama dalam iklan produk rumah tangga dan produk kecantikan. Maka dari itu, Perempuan dianggap akrab dengan urusan rumah tangga dan kecantikan.

Visualisasi perempuan dalam iklan menghasilkan sebuah terjemahan mengenai citra perempuan yang semestinya seperti cara berperilaku, peran dan kewajiban yang harus dilakukan perempuan namun bersifat bias gender.

Nadira mencontohkan dalam kasus iklan susu, sosok perempuan gambarkan sebagai ibu rumah tangga yang mengayomi dan melindungi keluarganya sehingga menciptakan posisi laki-laki sebagai pencari nafkah.

“Hal ini yang kemudian merekonstruksi peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari” Ujar Nadira dalam Workshop di daerah Cikini, Rabu(30/08).

Ia menuturkan bahwa hal ini mengindikasi iklan turut serta dalam melanggengkan budaya patriarki di masyarakat. Iklan ini yang kemudian menguatkan anggapan bahwa ranah perempuan sebatas hanya dalam ranah domestik dan laki-laki yang menghegemoni ranah publik.

Lulusan Ritsumeukan Asian Pasific University ini menilai bahwa hal ini juga dipengaruhi oleh segmentasi produk tersebut sehingga iklan dikemas agar menarik perhatian pasar yang dituju.

“Namun, tak banyak produsen yang kemudian berpikir bahwa iklan yang mereka buat akan menyiratkan makna yang akan dipegang masyarakat menjadi sebuah kebenaran atau nilai,” ujarnya.

Lebih lanjut Nadira menjelaskan bahwa iklan secara konstruktif juga membentuk nilai sosial lain dalam masyarakat seperti definisi cantik dalam iklan produk kecantikan. Para produsen kerap menggunakan perempuan yang cantik menurut definisi mereka seperti tubuh langsing dan tinggi semampai dan berkulit putih sebagai tokoh utama. Hal ini yang kemudian dipegang sebagai standar cantik perempuan secara umum.

“Tak heran jika sekarang kita melihat banyak perempuan yang membenci tubuhnya sendiri. Media memecah belah perempuan dengan menggolongkan perempuan yang cantik dan perempuan yang pas-pasan,” lanjutnya.

Komodifikasi Tubuh Perempuan

Sensualitas dari seorang perempuan merupakan aspek yang sering diekploitasi oleh media  visual untuk menarik minat masyarakat sehingga hal ini berujung pada komodifikasi tubuh perempuan demi kepentingan industri.

Nadira mencontohkan dalam banyak iklan produk motor menjadikan perempuan sebagai tokoh utama agar menarik dan lebih diminati terlepas dari segmentasi pasar produk tersebut. Tak hanya itu dalam kartun khususnya yang berkembang di Jepang tokoh perempuan kerap ditampilkan dengan pakaian yang minim, mevisualisasikan tubuh perempuan secara berlebihan dan mengedepankan sisi sensualitas perempuan.

“Perempuan digambarkan sangat seksi dengan pakaian minim, gaya lemah lembut dan kerap dijadikan objek sesual tokoh laki-laki dalam berbagai macam kartum atau video game. Sehingga masyarakat berkesimpulan jika perempuan jika mau dibilang menarik maka harus menggunakan tubuh dan sisi sensualitasnya,” tutur perempuan berkacamata itu.

Hal ini juga dapat terlihat di dalam penggambaran perempuan sebagai sampul majalah. Dalam majalah The Rolling Stone, ada perbedaan yang mencolok bagaimana media tersebut memvisualisakan perempuan dan laki-laki. Perempuan kerap digambarkan dengan pakaian minim sedangkan laki-laki terlihat intelek dengan balutan jas. “Banyak sekali komodifikasi tubuh perempuan yang luput dari pandangan kita,” ujarnya,

Dalam akhir sesi, Nadira mengimbau pentingnya literasi media sehingga masyarakat dapat menilai sesuatu dari prespektif gender. “Kalau seluruh media, tak hanya media visual, tidak memperdulikan prespektif gender didalamnya maka kesenjangan gender akan tetap dilanggengkan,” tutupnya.

Reporter : Thalitha Yuristiana |Editor : Taufiq Hidayatullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *