Jalan Buntu Keadilan dari Kematian Lala
Tewasnya Lala usai menjalani pembaretan Menwa UPNVJ tiga tahun lalu masih diselimuti misteri. Kampus acuh, hasil komisi investigasi tak jelas, Menwa justru dihidupkan kembali.
Aspirasionline.com — Tiga tahun lalu, kematian seorang mahasiswi dalam kegiatan pembaretan Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) masih menyisakan misteri sampai hari ini. 25 September 2021, salah satu mahasiswi angkatan 2020 jurusan D3 Fisioterapi, Fauziyah Nabilah Luthfi, menghembuskan nafas terakhirnya saat mengikuti kegiatan pembaretan Menwa.
Kematian perempuan yang akrab disapa Lala ini sontak mengejutkan keluarga korban. Pasalnya, kabar duka meninggalnya Lala mendadak menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak, terutama karena Lala tidak mempunyai penyakit bawaan dan berangkat dalam kondisi sehat.
ASPIRASI menerbitkan tulisan reportase pada 29 November 2021—atau dua bulan setelah kejadian—dengan berjudul “Ketika Menwa UPNVJ Memakan Korban Jiwa” yang menuturkan kronologi lengkap dari peristiwa tersebut.
Kala itu, satu hari sebelum pembaretan, 24 September, Lala masih sempat datang ke kampus dalam keadaan sehat untuk melakukan praktikum di fakultasnya.
Esoknya pada hari kejadian, tepatnya sekitar pukul 9 pagi, kegiatan dibuka melalui kegiatan upacara. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara pawai panjang (longmarch) ditempuh sejauh 10-15 kilometer, dibagi dalam tiga pos. Sekitar pukul 12 siang, Lala yang berada di baris paling belakang mulai tampak kelelahan dan mengalami penurunan stamina fisik.
Setibanya di antara pos satu atau pos dua, Lala sempat mengalami kram pada kakinya, sehingga disarankan untuk istirahat terlebih dahulu di masjid. Ketika berada di masjid, Lala mengalami kejang-kejang yang oleh pihak Menwa diduga sebagai kesurupan. Dalam kepanikan, pihak Menwa membawa Lala ke rumah sakit, namun takdir berkata lain, Lala sudah meninggal ketika sampai di sana.
Ironisnya, kegiatan pembaretan yang dilaksanakan tanggal 25-26 September itu tidak mendapat izin dari kampus. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Ria Maria Theresa sendiri mengaku bahwa tidak ada perwakilan kampus yang ikut mengawasi dalam kegiatan pembaretan.
Namun di balik itu, ASPIRASI memperoleh dokumen surat izin bernomor SI/195/UN61.3/2021 yang ditandatangani Ria pada 3 September untuk kegiatan pendidikan dasar (diksar) Menwa pada tanggal 4-12 September—beberapa pekan sebelum kejadian. Padahal, di tengah gelombang varian Delta Covid-19, semua kegiatan organisasi mahasiswa (ormawa) yang dilaksanakan secara luring tidak diberi izin oleh pihak rektorat dengan alasan pandemi.
Hal ini menimbulkan tanda tanya dari kalangan mahasiswa yang merasakan sikap rektorat yang pilih kasih dan ‘menganakemaskan’ Menwa. Mengapa pihak kampus memberikan izin agenda luring kepada Menwa, di saat organisasi lain dilarang?
Tidak hanya itu, keluarga korban juga mengaku bahwa tidak adanya pemeriksaan kesehatan (medical check-up) yang dilakukan pihak Menwa sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. Padahal, dalam kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik seperti pembaretan tersebut harus dilakukan pemeriksaan kesehatan agar bisa mencegah atau mengetahui penyakit sedari dini.
Parahnya lagi, pihak Menwa hanya menyediakan ambulans tanpa dilengkapi dengan tenaga medis yang profesional untuk melakukan pertolongan pertama. Lala yang saat itu memaksakan diri meskipun kelelahan di situasi lapangan yang panas hanya bisa pasrah dengan kondisi kesehatannya yang mendadak drop.
Setelah reportase ASPIRASI terbit dan gelombang protes mahasiswa yang menuntut pembubaran Menwa meningkat. Akibat desakan tersebut, Rektor UPNVJ saat itu, Erna Hernawati, membekukan Menwa selama waktu yang tidak ditentukan. Ia juga membentuk Komisi Disiplin (Komdis) pada 1 November 2021. Jajaran rektorat berdalih bahwa pembekuan sementara dilakukan hingga ditemukannya data akhir hasil penyelidikan dari Komdis.
Hanya saja, hingga hari ini, hasil investigasi Komdis perihal kematian Lala tidak pernah diungkap secara terbuka ke publik. Kelihatannya kampus sejak awal memang ingin menyembunyikan kasus ini sebab kabar duka terkuak setelah dua bulan kematian Lala lewat pemberitaan.
Munculnya pemberitaan kematian Lala pun tak ada ucapan belasungkawa dari Menwa maupun akun Instagram resmi UPNVJ—sebagaimana ucapan kampus untuk para korban Covid-19.
Tak berhenti disitu, kampus pun tidak pernah mempublikasikan siaran pers atau pernyataan resmi terkait penuntasan kasus kematian Lala. Setiap ditanya, mereka (pihak kampus) selalu beralasan bahwa tidak etis jika hasil akhir dari fakta kejadian langsung dibuka ke publik jika penyelidikan belum final. Akan tetapi, mau sampai kapan kampus harus menggantungkan kasus kematian mahasiswanya sendiri?
Tak jelas rimbanya hasil investigasi Komdis, pihak kampus tiba-tiba malah mengaktifkan kembali Menwa di awal 2023. Diam-diam Warek III, Ria—orang yang sama memberi izin kegiatan luring Menwa di tengah pandemi—mengundang internal Menwa untuk mendiskusikan susunan kepengurusan baru. Rencana pembentukan kepengurusan baru itu muncul tanpa adanya keputusan resmi pencabutan pembekuan Menwa yang ditekankan oleh mantan Rektor Erna pada 2021 lalu.
Langkah UPNVJ pasca kematian Lala terlihat tak peduli dengan kasus kematian di salah seorang mahasiswa kampus hijau tersebut.
Status pembekuan yang tidak jelas sampai akhirnya diaktifkan kembali membuktikan bahwa pihak kampus menutup mata terhadap kasus Menwa, terlebih lagi kasus tersebut sampai menghilangkan nyawa seseorang.
Oleh karena acuhnya pihak kampus atas hal itu, UPNVJ perlu membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen. Tim tersebut bisa berisi pejabat tinggi kampus, perwakilan akademisi, ahli Hak Asasi Manusia (HAM), serta mahasiswa, untuk mendorong penyelidikan yang imparsial dan efektif atas kasus meninggalnya Lala saat kegiatan Menwa. Mengingat Komdis bentukan kampus tidak menghasilkan kebenaran yang jelas sampai hari ini.
Jika boleh, kami ingin meminjam dan memodifikasi kalimat seorang orator Aksi Kamisan pada 2017 silam: “Hilangnya nyawa Lala berarti isak sedih dalam hati saat orang tuanya menatap foto sang anak yang sudah mati. Hilangnya boleh tahun ketiga, tapi nyeri dan lukanya bisa datang kapan saja. Karena untuk rindu yang mendalam, kehilangan tak akan pernah basi.”
UPNVJ selalu membawa jargon Bela Negara, tapi mampukah membela mahasiswinya sendiri? Apa perlu jadi “anak emas” kampus untuk mendapatkan pembelaan dan keadilan?
UPNVJ harus segera menuntaskan pengusutan kasus kematian Lala, tidak sekedar untuk memenuhi komitmennya, tapi sekaligus membuktikan keseriusannya dalam menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan keadilan.
Jangan sampai keadilan hanya akan menjadi janji kosong yang terbungkus dalam birokrasi dan retorika. Ketidakjelasan kasus Lala dan aktifnya kembali Menwa hanya menegaskan satu hal: UPNVJ gagal selesaikan kasus kematian Lala.***
Ilustrasi: Tim Produksi LPM ASPIRASI
Naskah ditulis oleh: Tim Redaksi LPM ASPIRASI