Seluruh Lapisan Jurnalis Sepakat Tolak Pembatasan Pers dalam Revisi UU Penyiaran

Nasional

Berbagai lapisan jurnalis bersatu geruduk Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menuntut dan menolak atas Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang mengancam kebebasan pers.  

Aspirasionline.com — Pada Senin, (27/5), gabungan massa aksi yang terdiri atas jurnalis, serta masyarakat memulai aksi dengan melakukan long march ke depan Gedung DPR-MPR. 

Reporter ASPIRASI turut serta melakukan reportase langsung, dan terlihat setibanya di depan Gedung DPR-MPR, para massa aksi langsung mengumpulkan kartu pers, poster, kamera, hingga peralatan jurnalis lainnya sebagai aksi simbolik. 

Pukul 9.45 WIB, aksi dilanjutkan dengan orasi dari perwakilan tiap-tiap organisasi yang meliputi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jakarta, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jakarta, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Indonesian Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, serta berbagai pers mahasiswa. 

Aksi ini merupakan bentuk aspirasi masyarakat, terutama jurnalis mengenai isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan pers dan demokrasi yang terancam dengan adanya Revisi UU Penyiaran tersebut. 

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, mengungkapkan urgensi diadakannya aksi tersebut setelah dirinya berorasi di depan massa aksi. 

“(Aksi ini digelar) untuk menunjukan bahwa komunitas pers, temen-temen jurnalis dan wartawan menolak RUU ini,” ujar Bayu kepada ASPIRASI saat diwawancarai langsung pada Senin, (27/5).

Gerakan penolakan Revisi UU Penyiaran tersebut nyatanya tidak hanya dilakukan di Jakarta. Bayu melihat aksi terkait penolakan Revisi UU Penyiaran tersebar di berbagai kota.

“Aksi ini tidak hanya di Jakarta, hari ini ada 6 kota yang bersamaan (melakukan aksi). Dari minggu lalu (hingga kini) saya hitung 20 kota sudah melakukan demonstrasi atas UU ini,” tambahnya.

Pasal Bermasalah Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers dan Berekspresi

Riuh gemuruh gelombang penolakan dan kekecewaan atas Revisi UU Penyiaran santer terdengar dalam aksi pagi hari itu. Salah satu yang mengungkapkan kekecewaan adalah Bayu, yang menyuarakan ketidakpuasan dan kekhawatirannya terhadap revisi tersebut. 

Menurutnya, substansi yang tercantum dalam revisi UU tersebut dinilai kacau. Bayu mencontohkan bahwa salah satu isu utama adalah perubahan yang mempengaruhi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang seharusnya merupakan lembaga independen, tetapi revisi tersebut dinilai dapat mengancam independensi KPI. 

“Dia (KPI) punya hak mengatur penyiaran, tetapi ketika dia bikin peraturan, dia harus konsultasi sama DPR, kan aneh,” tukas Bayu.

Bayu pun mengelaborasi lebih lanjut pasal-pasal yang bermasalah dalam Revisi UU Penyiaran antara lain dari Pasal 50B ayat 2 huruf (c) tentang pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, Pasal 50B ayat 2 huruf (k) tentang pencemaran nama baik dan berita bohong, dan Pasal 42 ayat (2) tentang kewenangan KPI untuk mengurus sengketa jurnalistik. 

Lebih lanjut, Marina Nasution selaku Sekretaris AJI Jakarta memberikan alasan mengapa pasal-pasal tersebut bermasalah. Marina menyoroti lebih dalam mengenai pasal pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“Liputan-liputan investigasi yang berupaya membongkar fakta-fakta agar bisa membuka mata publik atas tindakan culas yang dilakukan oleh pengusaha, pejabat, dan mafia yang duduk di tampu kekuasaan itu tidak seharusnya dilarang,” terang Marina kepada ASPIRASI pada Senin, (27/5). 

Di sisi lain, perwakilan dari Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), Asbabur Riyas juga menyoroti pasal bermasalah lainnya, yakni terkait pencemaran nama baik dan berita bohong. 

Mahasiswa yang kerap disapa Riyas tersebut beranggapan, diksi pencemaran nama baik dalam pasal 50B ayat (2) huruf (k) terkesan ambigu dan dikhawatirkan akan bernasib sama dengan pasal karet dalam Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Kalau kita melihat track record UU ITE selama tahun dibikinnya sampai sekarang, ternyata sudah memakan beberapa korban untuk mengkriminalisasi para wartawan,” ujar Riyas kepada ASPIRASI di kesempatan yang sama.

Tuntutan dan Harapan Jurnalis untuk Pembatalan Revisi UU Penyiaran

Massa aksi menyuarakan 3 tuntutan yang ditujukan kepada DPR serta dibuat secara tertulis. Diantaranya adalah:

  1. Segera batalkan seluruh pasal bermasalah dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran.
  2. Revisi Undang-Undang Penyiaran dengan melibatkan organisasi pers, gabungan pers mahasiswa, dan organisasi pro demokrasi.
  3. Pastikan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dalam setiap peraturan perundang-undangan.

Perwakilan Anggota DPR Komisi I, Muhammad Farhan, menghampiri massa di penghujung aksi penolakan dan menerima tuntutan tertulis mereka. Pada kesempatan tersebut dirinya menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran ini merupakan penyesuaian dari UU Cipta Kerja.

“Tetapi, setiap kita melakukan revisi maka akan dibuka juga kotak pandora lain sehingga ada banyak kepentingan yang masuk. Salah satunya, yaitu masuknya pasal-pasal untuk melakukan represi terhadap kebebasan pers dan media,” jelasnya pada Senin, (27/5).

Menanggapi pernyataan tersebut, Marina menegaskan bahwa DPR perlu didesak untuk memperhatikan tuntutan yang digaungkan dalam aksi tersebut. Selain itu, perlu partisipatif aktif dari pers dalam pembahasan draf revisi UU Penyiaran tersebut.

Perlawanan ini pun tidak akan berhenti sampai pasal-pasal bermasalah dicabut, mengingat revisi ini mengancam kebebasan pers bahkan independensi lembaga penyiaran. 

“Dan, kita tidak akan berhenti untuk terus mengawal pembahasan revisi uu penyiaran ini. Sampai mereka mencabut pasal-pasal bermasalah tersebut,” tegas Marina.

Pada kesempatan yang sama, harapan pembatalan revisi UU ini juga diutarakan oleh Koordinator Divisi Advokasi SINDIKASI, Guruh Riyanto, yang menuturkan bahwa revisi UU Penyiaran ini akan menghilangkan hak informasi publik.

“Kalaupun revisi ini mau dilanjutkan, harus melibatkan stakeholder, melibatkan pemangku kepentingan, dan mengakomodir pendapat-pendapatnya bukannya cuman sosialisasi,” tukas Guruh. 

 

Foto : ASPIRASI/Tia, Mg & Fabiana, Mg. 

Reporter : M. Athaya Primananda | Editor : Rara Siti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *