Di Balik Kejanggalan Perbedaan Rekapitulasi Suara PSI antara Quick Count dan Sirekap
Perbedaan perhitungan perolehan suara hasil rekapitulasi Pemilihan umum (Pemilu) 2024 antara hasil perhitungan cepat (quick count) dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) menimbulkan perdebatan.
Aspirasionline.com – Pada suasana hiruk pikuk Pemilu 2024, muncul perdebatan hangat terkait hasil angka quick count dengan hasil resmi yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui proses Sirekap.
Pasalnya, angka perolehan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada quick count mendapatkan hasil sebesar 2,66 persen, sedangkan menurut data Sirekap hasil perolehannya naik dari 0,47 persen menjadi 3,13 persen.
Menurut Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Danis TS Wahidin, perbedaan antara hasil quick count dan Sirekap bukanlah sesuatu yang luar biasa jika dilihat dari sudut pandang teknisnya.
Perlu diketahui, Quick Count merupakan metode perhitungan cepat yang mengandalkan sampel-sampel dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, hasil dari quick count dinilai akurat. Metode ini pun memberikan gambaran cepat terkait pemenang pemilu sebelum dilakukannya perhitungan manual dan pengesahan pemenang pemilu.
“Quick count menggunakan hasil perhitungan suara dari beberapa TPS, memungkinkan kita mengetahui hasilnya dalam waktu 2 sampai 4 jam setelah pemilihan,” jelas Danis kepada ASPIRASI pada Jumat, (8/3).
Adapun Sirekap merupakan rekapitulasi hasil pemilu secara online yang dibuat oleh KPU, di mana metode perhitungan menggunakan C1 yang berasal dari TPS di seluruh Indonesia, yang kemudian dimasukkan ke dalam sistem online KPU. Hasil perhitungannya pun dianggap sangat baik.
“Dilakukan secara nasional dan tingkat validitasnya juga sangat baik karena itu diambil dari C1 yang asli di lapangan, di TPS di seluruh Indonesia,” lanjut Danis menjelaskan.
Masalah Teknis Sebabkan Ketidaksesuaian Quick Count dengan Sirekap
Perdebatan di tengah masyarakat terkait terjadinya selisih hasil antara Sirekap dan quick count menimbulkan tanda tanya. Tak sedikit yang menyoroti margin of error pada hasil perhitungan quick count.
Margin of error disebut merupakan batasan dari kesalahan prediksi yang dimaklumi dalam proses perhitungan quick count yang berbasis pada statistik probability sampling. Tingkat kepercayaannya biasanya sampai 99 persen dari sampel yang dikumpulkan.
“Dengan menggunakan rumus tertentu, kita bisa menentukan berapa margin of error nya, berapa sampelnya, untuk kemudian nanti disebar sesuai dengan proporsi yang ada di setiap provinsi di Indonesia,” tutur Danis.
Dalam pengambilan sampel yang disebar tersebut, terdapat dua faktor teknis yang mempengaruhi ketidaksesuaian dari quick count dengan Sirekap di antaranya, yaitu faktor objektif dan faktor subjektif.
Danis menerangkan, faktor objektif dilakukan dengan mencari jumlah proporsi dan menentukan jumlah sampel dari berbagai tingkat, mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat desa. Berdasarkan metode pengacakan tersebut, tentunya pengambilan sampel ini dilakukan secara objektif.
“Semua desa diacak dan semua TPS diacak sesuai dengan proporsi wilayah yang diinginkan. Nah, kalau nanti hasilnya itu diikuti apa adanya, sesuai dengan acakan dari sampel tadi, maka itu disebut dengan objektif,” terangnya.
Dibalik itu apabila metode pengacakan tersebut tidak diikuti secara menyeluruh dan ditentukan sendiri proposionalnya maka faktor tersebut menjadi subjektif. Ketika quick count subjektif, biasanya hasil perhitungan menjadi bias dari margin error.
“Bergeser itu kalau dia subjektif, kalau objektif dia biasanya tidak bergeser terlalu jauh dari 1%. Itu catatan pengalaman saya dalam laporan,” tambah Danis.
Selisih Hasil Perhitungan PSI Jadi Perdebatan Publik
Dalam konteks data pemungutan suara PSI, terjadi selisih antara hasil quick count (2,66 persen) dan Sirekap (3,13 persen). Hasil tersebut menimbulkan perdebatan dan pertanyaan terkait anggapan kenaikan yang signifikan dalam waktu singkat dapat dianggap wajar atau tidak.
Menanggapi perdebatan hasil dari kedua metode perhitungan, Danis menjelaskan bahwa perlu dipastikan terlebih dahulu penentuan perolehan suara yang dilakukan berbagai lembaga survei dan media yang melakukan quick count.
“Itu (perhitungan suara) melakukan quick count pada pilpres, pada suara capres dan cawapres dan juga pada partai politik. Atau quick count pada capres dan cawapres atau exit poll pada partai politik karena data yang diambil itu berbeda,” ujar dosen data science tersebut.
Danis pun menambahkan bahwa hasil perhitungan cepat pada partai politik bukan berasal dari quick count melainkan exit poll, yaitu data yang diambil dari hasil wawancara pemilih secara langsung dari TPS. Oleh sebab itu, homogenitas melalui exit poll rendah yang menyebabkan margin errornya bisa sangat tinggi.
Sebaliknya, quick count berbicara tentang elektabilitas calon presiden dan wakil presiden yang pastinya datang dari data C1. Data didapat akurat dan tidak berbeda dari hasil perhitungan secara manual dari TPS sehingga homogenitasnya terhitung cukup tinggi serta margin error terbilang konstan.
“Kalau quick count itu adalah C1, sedangkan exit poll itu bukan C1, tetapi hasil orang wawancara. Nah, jadi itu perlu dijelaskan juga sebetulnya oleh lembaga-lembaga survei tersebut, apakah suara partai politik yang mereka (lembaga survei) dapatkan itu exit poll atau quick count,” kata Danis.
Oleh sebab itu, pada konteks perbedaan rekapitulasi PSI sangat perlu dikonfirmasi kembali penggunaan data sampel dari lembaga survei yang melakukan perhitungan hasil pemilihan partai politik pada pemilu 2024.
Danis menekankan bahwa quick count kemungkinan tidak meleset dari hasil perhitungan manual KPU. Ditambah pemantauan terhadap lembaga survei dilakukan secara berkala melalui lembaga yang menaunginya, seperti Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI) dan Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi).
“Lembaga survei juga harus melaporkan hasilnya kepada KPU, sehingga sebetulnya pengawasannya itu berjenjang,” tutup Danis.
Foto: Safira, Mg
Reporter: Safira, Mg | Editor: Nasywa Aliyya.