LBH APIK Gelar Diskusi Publik, Tuntut Pemerintah Segera Sahkan RUU PPRT

Nasional

Tidak kunjung mendapatkan kejelasan, RUU PPRT terancam kembali tertunda. Desakan terhadap DPR datang dari berbagai kalangan termasuk anggota dewan sehingga pemerintah diharapkan segera mengambil peran.

Aspirasionline.com – Perjuangan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih menemui jalan terjal di penghujung masa pergantian kekuasaan politik di Indonesia yang tinggal menghitung bulan.

Persoalan ini kemudian menjadi semakin mendesak untuk dibahas karena proses panjang yang telah dilalui. Dimulai ketika RUU ini masuk ke dalam RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada Maret 2023 lalu, dan sampai saat ini tidak kunjung mengalami perkembangan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK),  Uli Arta Pangaribuan, menyebutkan bahwa terdapat sebuah kondisi yang menempatkan pengesahan RUU PPRT terbelenggu di tangan legislatif selama lebih dari 20 tahun lamanya.

Di samping itu, Uli menegaskan bahwa RUU PPRT harus segera disahkan oleh kepemimpinan legislatif saat ini, mengingat pergantian kekuasaan legislatif akan terjadi dalam waktu dekat. Jika tidak, proses pembahasannya dikhawatirkan harus mengulang dari awal dan menemui jalan yang lebih sulit.

“Ini menjadi PR (Pekerjaan Rumah) panjang ya, akan ada pergantian anggota legislatif, jadi ini akan mengulang lagi sepertinya gitu, RUU ini untuk dibahas di DPR,” ungkap Uli pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh LBH APIK di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa, (12/3).

Diskusi yang mengangkat tema “DPR Bertanggungjawab atas Segala Situasi Perbudakan Modern Terhadap PRT: Kapan RUU PPRT Disahkan?” tersebut, turut dihadiri oleh Pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, Ajeng Astuti.

Ajeng mengungkapkan situasi dari Pekerja Rumah Tangga (PRT) sendiri saat ini tidak mengalami perkembangan apapun, meski berbagai upaya advokasi dan aksi masih terus dilakukan. 

Salah satunya ialah aksi mogok makan di depan Gedung DPR yang terhitung telah memasuki hari ke-189 namun, masih belum membuahkan hasil.

“Sampai saat ini masih gantung gitu, belum ada kepastian hukum untuk kami, pekerja rumah tangga. Yang dimana kita tahu kan, sampai saat ini masih saja banyak kasus-kasus yang kawan-kawan alami seperti kekerasan, entah itu fisik, psikis, ekonomi,” jelas Ajeng.

Tidak Cukup Menggunakan UU Penghapusan KDRT, PRT Butuh UU Tersendiri

Selama ini, penanganan kasus yang terjadi kepada PRT selalu menggunakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang nyatanya belum mampu menjawab persoalan yang dialami para PRT. 

LBH APIK seringkali menemukan kondisi penanganan kasus PRT hanya melalui upaya non-litigasi ataupun mediasi yang berujung pada ringannya hukuman akibat pemberian restitusi oleh pelaku kepada korban.

Menanggapi UU PKDRT, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa dalam prosesnya dilibatkan diskusi yang panjang dan penolakan yang dilayangkan menggunakan dalih agama. 

Hal ini menjadi hambatan bagi UU PKDRT yang mencoba membawa isu domestik ke ranah publik karena dipandang sebagai masalah privat dan tabu untuk dibicarakan. Padahal, bagi Ninik, isu KDRT dan PRT memiliki dimensi yang sama.

“Ketika kita mau membawa isu PRT menjadi isu perlindungan publik, susahnya juga minta ampun,” tuturnya.

Di sisi lain, Ninik merasa peran Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara sangat dibutuhkan untuk mendesak percepatan pembahasan RUU ini.

“Kali ini, tolong jangan tinggalkan PRT, bawa serta perlindungannya sebelum masa jabatan bapak berakhir,” harapnya. 

Pembahasan RUU Terbelenggu Kehendak Politik, Pemerintah Diminta Mendesak DPR 

Direktur Bina Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sekaligus perwakilan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Agatha Widianawati mengaku sempat berpartisipasi dalam penyusunan RUU PPRT yang ditunjuk langsung oleh presiden dalam penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM).

Agatha menyebut bahwasannya pembahasan tersebut telah lama rampung dan sudah diserahkan kepada DPR.

Lebih lanjut, dirinya juga menjabarkan dalam penyusunannya telah melakukan koordinasi dengan 4 (empat) kementerian utama selain Kemnaker, meliputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kementerian Sosial (Kemensos).

Penyusunan DIM tersebut tidak terbatas pada 5 kementerian utama, melainkan juga berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga lainnya serta mengikutsertakan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Jala PRT, Organisasi Masyarakat Sipil, Akademisi, dan lainnya melalui serap aspirasi yang dilakukan.

“Secara substansi itu kami sudah siap berhadapan dengan DPR dan sekaligus membawa suara dari teman-teman pada waktu kita melakukan serap aspirasi,” tegasnya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh LBH APIK di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa, (12/3).

Senada dengan Agatha, Riyadi Santosa selaku Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang dari KPPA menyebut bahwa koordinasi telah dilakukan dan pembahasan telah rampung diselesaikan, hanya menunggu keputusan DPR untuk mau membahasnya bersama pemerintah.

Dari sisi legislatif, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB), Luluk Nur Hamidah dalam kesempatan yang sama secara virtual menyampaikan permintaan maafnya akibat tidak adanya perkembangan dari RUU PPRT di meja DPR hingga saat ini.

Kendala yang disampaikan oleh Luluk terkait RUU PPRT ini terjebak dari political will para pimpinan, baik pimpinan fraksi maupun pimpinan DPR. Ia bahkan menyebut ini adalah kenyataan pahit dan perjuangan yang melelahkan bahwasannya dari dalam legislatif sendiri masih tidak satu suara melihat urgensi RUU ini.

“Belum ada disposisi dari Ketua DPR. Baleg (Badan Legislasi) sudah lebih dari 3 (tiga) kali bersurat. Dari kami, posisi kami sangat siap dan diharapkan pemerintah mendesak pimpinan DPR,” pungkas Luluk.

 

Foto: Natasya Oktavia.

Reporter: Natasya Oktavia. | Editor: Rara Siti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *