Peluncuran Catatan Tahunan LBH Jakarta 2023: Jokowi, Demokrasi, dan Oligarki
LBH Jakarta meluncurkan Catatan Tahunan mereka selama periode 2023. Catatan tersebut berisi rekap data mereka terkait pengaduan yang masuk dan kerja-kerja advokasi yang dilakukan.
Aspirasionline.com — LBH Jakarta melakukan peluncuran Catatan Akhir Tahun (CATAHU) yang telah mereka susun selama dua bulan ke belakang. Peluncuran tersebut dilangsungkan pada Jumat, (15/12/2023) di Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam kesempatan kali itu, Citra Referandum selaku Direktur LBH Jakarta memaparkan isi CATAHU yang sudah disusun. Berdasarkan paparan Citra, terdapat total 726 pengaduan dan 8.467 pencari keadilan yang dibantu oleh LBH Jakarta.
Jumlah kasus yang masuk tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi lima fokus isu, yaitu Pemukiman Masyarakat Urban (PMU), perburuhan, fair trial (peradilan yang adil), kelompok masyarakat rentan, dan isu lainnya. PMU menjadi fokus isu yang paling tinggi angkanya dengan kasus mencakup konflik agraria, lingkungan hidup, hingga penggusuran.
“Kita bisa melihat konflik agraria menjadi isu yang paling bermasalah hari ini, ada sekitar 115 (kasus),” jelas Citra dalam paparannya, Jumat (15/12/2023).
Kemudian di isu perburuhan, dalam paparan dijelaskan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran terkait hak-hak normatif pekerja. Hak-hak normatif ini mencakup jam kerja, pemberian cuti kerja, upah, THR, hingga pesangon.
Selama pemerintahan Joko Widodo sendiri tercatat ada 173 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikebut pemerintah dalam delapan tahun terakhir. Selain itu, terdapat juga produk hukum seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, tetapi digolkan kembali lewat mekanisme Perppu yang disetujui oleh DPR.
Jokowi, Demokrasi, dan Oligarki
CATAHU LBH Jakarta tahun ini diberi tajuk “Jalan Asa Demokrasi di Negara Oligarki”. Tajuk tersebut dipilih berdasarkan kondisi demokrasi di Indonesia yang dianggap sangat buruk di masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo.
Dalam paparannya, Citra menyebut fokus pemerintah yang menggaung-gaungkan investasi malah harus mengorbankan hak-hak demokrasi untuk kemudian dikebiri. Dalam catatan LBH Jakarta, terdapat 465 pelanggaran terhadap hak sipil dan politik bagi individual, hak ini mencakup kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi.
“Bahwa kita mau mengatakan ini bukan lagi pembuktian (pemerintahan) dicengkam oligarki, tetapi negara demokrasi sudah berubah menjadi negara oligarki,” tegas Citra.
Ia mencatat ada banyak regulasi yang justru memfasilitasi kepentingan pemilik modal. Di periode kedua Jokowi sendiri tercatat ada tiga regulasi yang bermasalah seperti UU Cipta Kerja, UU ITE, dan KUHP. Hal ini menurut Citra cukup wajar mengingat para pejabat publik banyak yang juga merupakan pemilik modal.
“Maka tidak salah atau tidak keliru kita bisa katakan berbagai aturan yang dilahirkan di masa rezim Jokowi itu betul-betul memfasilitasi kepentingan dari oligarki,” ujar perempuan yang juga menjadi kuasa hukum Haris-Fatia tersebut.
Roy Murtadho, aktivis sekaligus pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar yang hadir sebagai penanggap pada saat itu juga mengamini apa yang dijelaskan oleh Citra. Ia setuju bahwa apa yang dilakukan Jokowi selama periode kepemimpinannya jauh sekali dari apa yang disebut demokrasi.
“Saya melihat pemerintahan Jokowi pada periode ini merupakan manifestasi material dari keberhasilan konsolidasi kekuatan oligarch, itu sangat berhasil di era Jokowi,” ucap pria yang akrab disapa Gus Roy tersebut dengan tegas.
Foto: ASPIRASI/Vedro Imanuel.
Reporter: Vedro Imanuel. | Editor: Miska Ithra.