Undang-undang Cipta Kerja dan Peluang Masalah Baru dalam Ruang Lingkup Agraria
KPA bersama Lokataru Foundation serta IHCS menyelenggarakan diskusi daring guna membahas dampak UUCK terhadap masyarakat, khususnya di sektor agraria.
Aspirasionline.com — Sebelumnya Mahkamah Konsititusi (MK) memutuskan bahwa Undang-undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun nyatanya, setelah melewati berbagai aksi penolakan, pada 21 Maret 2023 Peraturan Pemerintah (Perpu) Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Lahirnya UUCK sendiri dianggap mampu menimbulkan masalah baru, khususnya dalam ruang lingkup agraria di Indonesia. Pasal-pasal bermasalah dalam UUCK dianggap berpotensi menjadi pasal-pasal yang justru anti reforma agraria.
Pada Senin, (20/11), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Lokataru Foundation serta Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyelenggarakan diskusi daring yang membahas perihal dampak UUCK terhadap masyarakat, khususnya di sektor agraria.
Dalam diskusi ini hadir Dewi Sartika selaku Sekjen KPA, Gunawan selaku Penasehat Senior IHCS, serta Adib Saifin Numan selaku perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan, tetapi disayangkan dalam diskusi ini perwakilan Lokataru Foundation berhalangan untuk hadir.
Selain itu, diskusi yang dimulai di siang hari itu juga dihadiri KPA tiap daerah serta masyarakat yang aktif menyuarakan isu dalam lingkup agraria.
Stefany Rahmadytha selaku moderator mengungkapkan urgensi pembahasan dampak UUCK terhadap sektor agraria bukan hanya tentang tanah yang saat ini dipijak, namun juga berkaitan dengan tanah yang dihuni masyarakat.
“Agraria bukan hanya menyoal kepemilikan tanah atau hak petani, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain, tetapi agraria juga mendukung lingkungan, pemerataan ekonomi serta agilitas sosial,” tegas Stefany saat membuka diskusi daring pada Senin, (20/11).
Dampak Pelaksanaan UUCK dalam Sektor Agraria lewat Bank Tanah
Pada kurun waktu 2022 hingga 2023, KPA bersama Lokataru Foundation dan IHCS melaksanakan pemantauan terhadap dampak pelaksanaan UUCK dalam sektor agraria di beberapa wilayah di Indonesia.
Dalam melaksanakan pemantauan tersebut, ada beberapa indikator yang digunakan, seperti masalah dalam tahap persiapan, masalah pengadaan tanah dan pembangunan proyek, serta masalah pelaksanaan proyek dan dampaknya.
Salah satu lokasi yang menjadi objek pemantauan yang dilakukan adalah desa Batulawang, Kecamatan Pacet yang berada di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dampak pelaksanaan UUCK di wilayah tersebut sendiri berkaitan dengan Bank Tanah.
“Saat ini tengah dipercepat untuk diselesaikan kasus konflik agraria antara petani dengan HGU (Hak Guna Usaha) swasta, yang sebenarnya sudah lama expired dan sudah lama ditelantarkan oleh perusahaan,” terang Dewi pada diskusi daring itu, Senin, (20/11).
Lebih lanjut, Dewi memaparkan bahwasanya di wilayah Cianjur muncul klaim-klaim secara sepihak yang dilakukan oleh salah satu Perseroan Terbatas (PT) Swasta melalui Bank Tanah. UUCK sendiri dianggap tidak sesuai dengan klaim dan janji yang diberikan oleh para promotor UUCK. Hal tersebut terbukti dari proyek Bank Tanah yang saat ini memunculkan konflik di wilayah Cianjur.
“Kasus ini membuktikan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang dirancang atau dijanjikan oleh promotor UUCK selama ini, salah satunya lewat proyek Bank Tanah,” jelas Dewi.
Perlu diketahui, Bank Tanah sendiri merupakan badan yang dibentuk oleh UU Cipta Kerja untuk mengonsolidasikan atau mengumpulkan tanah di banyak tempat, dan salah satu sumbernya adalah tanah yang dialokasikan untuk Bank Tanah di wilayah Cianjur.
Ada tiga wilayah Desa Cianjur yang tanahnya dialokasikan serta dikonsolidasikan untuk Bank Tanah di antaranya Desa Batulawang, Sukanaligih, dan Rawabelut.
Berdasarkan penjelasan Dewi, Bank Tanah yang semestinya mendukung reforma agraria justru kontraproduktif terhadap tujuan reforma agraria. Di tengah proses realisasi Reforma Agraria untuk Petani yang seharusnya dilakukan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), tanah-tanah obyek reforma agraria justru diambil alih oleh Bank Tanah untuk kepentingan investasi.
Secara diam-diam, salah satu PT swasta melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Bank Tanah tanpa proses yang transparan dan terbuka. Bahkan, Batulawang diklaim secara sepihak merupakan aset Bank Tanah. Bank Tanah sendiri justru menjadi abuse of power serta sarat akan konflik kepentingan.
Dari konflik yang melibatkan petani, pihak swasta dan Bank Tanah di Cianjur, konflik tersebut dianggap dapat memiskinkan petani. Hal tersebut disebabkan adanya penambahan biaya produksi, adanya intensitas intimidasi serta kriminalisasi yang diperoleh oleh petani, serta adanya ancaman kehilangan tanah pertanian, rumah serta fasilitas umum dan sosial yang telah dibangun.
Pasal Pengampunan yang Berpotensi Merugikan Masyarakat Sekitar Kawasan Agraria
Tidak berhenti sampai di situ, Gunawan sebagai perwakilan dari IHCS memaparkan mengenai pemantauannya yang dilakukan perihal pengampunan sawit ilegal di wilayah Kampar, Provinsi Riau.
Gunawan menjelaskan mengenai adanya pasal dalam UUCK, yaitu pasal 110A dan 110B yang berpotensi merugikan petani dan masyarakat kawasan agraria. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa yang termasuk kategori kelompok terorganisir bisa menyelesaikan masalahnya dengan sanksi administratif dengan hanya membayar denda.
“Subjek-subjek yang seharusnya tidak perlu diatur atau dikecualikan justru turut diatur dalam turunan atau aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja,” lanjut Gunawan dalam paparannya pada Senin, (20/11).
Organisasi maupun kelompok terorganisir dalam hal ini, menurut Gunawan, merupakan kelompok yang secara sistematis melakukan perusakan untuk kepentingan bisnis, salah satunya demi kebutuhan perkebunan maupun pertanahan.
Dalam pemantauan yang dilakukan di Provinsi Riau, terlihat bahwasanya salah satu PT per Oktober 2023 sebanyak 969 sawit ilegal seluas 867.313 ha, diampuni menggunakan pasal 110A/Pasal 110B, sedangkan sisanya seluas 507.009 ha diampuni menggunakan Pasal 110A UUCK.
“Tidak mungkin dia ancaman sanksinya itu garis miring gitu ya, 110A dan 110B garis miring. Harusnya, salah satu, jadi inilah salah satu bentuk konsepsinya bagaimana tentang pengampunan tersebut,” ujar Gunawan mengungkapkan.
Dampak dari adanya pasal-pasal pengampunan tersebut menimbulkan konflik seperti adanya konflik agraria dengan masyarakat sekitar, tidak adanya kemitraan usaha perkebunan serta tidak ada penyerapan tenaga kerja.
Pemberian amnesti atau pengampunan tersebut menurut Gunawan meruntuhkan ekspektasi kebijakan politik yang sebelumnya mendukung reforma agraria, satu sisi reforma agraria yang sudah berlangsung bertahun-tahun dihentikan, serta cita-cita mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan juga dihentikan karena tidak adanya kemitraan.
Dalam sesi selanjutnya pada diskusi daring tersebut, muncul pertanyaan dari peserta yang hadir mengenai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan UUCK dan sektor agraris.
Pada sesi tanya jawab yang dikemas dalam forum diskusi tersebut, peserta menanyakan perihal apa yang dapat dilakukan oleh para pengadvokasi yang sudah menyuarakan reforma agraria, serta penolakan terhadap UUCK tersebut.
Yani selaku KPA Jawa Barat menyatakan bahwa, setelah bersama melakukan penolakan UUCK tetapi tetap disahkan, yang dapat dilakukan setelah adanya diskusi adalah dengan mengantisipasi kondisi di lapangan, hal tersebut dikarenakan sudah diupayakan berbagai aksi serta gugatan terhadap UUCK.
“Perlunya pengorganisasian secara masif, supaya masyarakat dipersiapkan ketika adanya suatu situasi ancaman menyerang, dipersiapkan konteks penguatannya supaya jangan sampai tanah selama ini sudah dikuasai tiba-tiba masuk ke Bank Tanah,” terang Yani.
Di penghujung agenda diskusi, Gunawan menutup dengan pernyataan bahwasanya dampak dari UUCK sendiri dapat dibebankan kembali kepada MK serta institusi negara lainnya.
“Dampak persoalan Undang-undang Cipta Kerja dikemukakan untuk kembali dibebankan kepada khususnya Mahkamah Konstitusi maupun institusi negara yang lainnya,’’ tutup Gunawan.
Reporter: Anita Ambarwati. | Editor: Nayla Shabrina.