Rancangan Perpres Jurnalistik Berkualitas jadi Harapan Kesejahteraan Jurnalis
Rancangan Perpres Jurnalistik Berkualitas bertujuan untuk meningkatkan kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan para jurnalis. Namun, masalah seperti multitafsir dan perbedaan pendapat menghambat disahkannya Perpres ini.
Aspirasionline.com – Dewan Pers beberapa waktu lalu telah mengajukan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Jurnalistik Berkualitas kepada pemerintah. Adanya Perpres ini bertujuan untuk memperkuat tanggung jawab dari platform digital untuk mendukung keberlangsungan jurnalisme di Indonesia.
Secara garis besar, Perpres ini mengatur mengenai adanya kewajiban platform digital untuk membayar royalti pada penyedia berita, menyesuaikan algoritma mereka, dan menyebutkan sumber berita dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas informasi yang dikonsumsi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan para jurnalis.
Dilansir dari Tempo.co, dengan judul “Mengenal Perpres Publisher Rights yang Menimbulkan Polemik” yang dipublikasikan pada Senin, (21/8), saat puncak peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada hari Kamis, (9/2), Presiden Joko Widodo meminta agar Perpres tersebut dapat rampung dalam satu bulan.
Namun, menurut pernyataan Irsyan Hasyim, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, rancangan Perpres tersebut belum juga ada tindakan lebih lanjut hingga kini.
“Nyatanya ini sudah masuk di September, belum ada aktivitas dan belum ada titik temu antara platform media dan pemerintah sendiri,” ujar Irsyan saat diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (11/9).
Belum disahkannya Perpres Jurnalisme Berkualitas hingga hari ini dikarenakan draft dari Perpres tersebut masih melalui banyak pertimbangan. Terlebih lagi muncul banyak penolakan dari masyarakat khususnya konten kreator yang kontra dengan adanya draft Perpres ini.
Menanggapi hal tersebut, Atmaji Sapto Anggoro, anggota Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers menjelaskan bahwa jika laporan atau konten tersebut tidak memenuhi unsur jurnalistik, sesungguhnya hal tersebut tidak menjadi bagian dari Perpres.
“Teman-teman konten creator yang membuat konten Youtube atau apapun itu selama dia tidak menjadi bagian dari jurnalisme, ya tidak masuk dalam peraturan ini,” ujarnya saat dihubungi ASPIRASI melalui Whatsapp pada Minggu, (10/9).
Multitafsir terkait isi draft tersebut, menurut Irsyan, disebabkan kurangnya sosialisasi dari para stakeholder terutama Dewan Pers kepada masyarakat, khususnya perusahaan media dan konten creator.
“Sebenarnya yang perlu dikritik dari rancangan Perpres ini adalah sosialisasi yang dilakukan oleh teman-teman stakeholder, khususnya di Dewan Pers,” ulasnya.
Selain itu, Irsyan juga berpendapat bahwa alasan mengapa draft Perpres ini belum juga disahkan di antaranya karena masih ada perdebatan mengenai bagaimana dan siapa yang akan melakukan review terhadap produk jurnalistik nantinya.
“Bagaimana melihat review untuk produk jurnalistik berkualitasnya ketika berada di platform. Siapa yang berhak me-review? Apakah platform atau medianya sendiri yang menjadi filter utama,” ucapnya.
Dewan Pers Tetap Mengawasi Berita yang Terbit
Diberlakukannya penghapusan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam rancangan Perpres ini menjadi salah satu langkah pencegahan menyebarnya berita hoax di kalangan masyarakat.
Sehingga masyarakat dapat mengakses dan menerima informasi yang lebih akurat dan tidak membaca berita yang menyebarkan hoax ataupun judul clickbait.
“Ketika sering terpapar dengan berita-berita yang berkualitas, otomatis publik sampai kepekaannya terhadap hoax sendiri itu bakalan jauh lebih tajam,” ungkap Irsyan.
Adanya penghapusan berita yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik ini tentunya memperketat pengawasan dalam berita yang akan terbit di berbagai platform media.
Kerap kali ditemukan beberapa media yang masih menyiarkan berita hoax, maupun berita-berita clickbait, yang mana judul dari suatu berita tidak sesuai dengan isinya. Berita-berita clickbait dan hoax ini tentunya cukup merugikan, terutama bagi masyarakat yang tengah mencari informasi yang dibutuhkan.
Adanya filterisasi berita nantinya, menurut Irsyan akan semakin memunculkan kualitas dari produk jurnalisme itu sendiri, sehingga produk berita clickbait akan mati dengan sendirinya.
“Ketika hari ini media-media publik semakin cerdas dan membutuhkan asupan berita yang berkualitas, otomatis berita-berita begitu (berita hoax, red.) nggak bakalan dapat panggung,” ujarnya.
Kemudian, muncul sebuah pertanyaan. Apabila produk jurnalisme nantinya akan melewati proses filterisasi, siapakah yang kemungkinan akan mengawasi berita-berita yang terbit?
Mengutip Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 3 Ayat 1 yang berbunyi, “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Sesuai dengan adanya pasal ini, filterisasi penyajian berita agar sesuai dengan kode etik jurnalistik yang berlaku akan tetap di bawah pengawasan Dewan Pers. Sehingga filter utama dipegang oleh Dewan Pers yang berkepentingan serta orang-orang yang terlibat dalam jurnalistik langsung.
Dengan adanya filterisasi ini, bukan berarti menjadi solusi tunggal dalam pemberantasan penyebaran berita hoax. Filterisasi dapat membantu mengurangi penyebarannya, namun tentu saja diperlukan kesadaran dari masyarakat dalam memilah berita serta penyajian berita yang berkualitas dari jurnalis itu sendiri.
Kesejahteraan Jurnalis Menjadi Fokus Utama
Rancangan Perpres ini masih dalam progres pengesahan, tentu keabsahan terbitnya rancangan Perpres ini sangat ditunggu-tunggu. Sapto menyatakan bahwa ia menaruh harap agar platform serta publisher bekerja sama untuk menempatkan haknya dalam bentuk remunerasi.
“Menurut informasi, platform itu kesulitan kalau dia harus memberikan remunerasi atau kerjasama dengan media-media kecil yang trafiknya kecil, maka untuk ini Dewan Pers akan membantu menjadi mediator,” ujar Sapto.
Rancangan ini juga diharapkan dapat berjalan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mana dapat memberikan perlindungan terhadap media, membangun kebebasan pers dan menopang independensi media Indonesia.
Irsyan juga menyinggung mengenai persoalan produk-produk jurnalistik yang ada di Indonesia. Menurutnya, karya jurnalistik saat ini lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Adanya tuntutan untuk mengerjakan sejumlah berita dalam waktu singkat membuat karya jurnalistik secara konten jauh lebih menurun.
“Ya bagaimana tidak menurun? Khususnya teman-teman di media online disuruh mengerjakan berita, 10 berita dalam 1 hari. Berarti untuk menghasilkan karya segitu, pasti targetnya ada di kuantitas, bukan di kualitas berita yang bakalan ditulis,” ujarnya.
Hal ini dikarenakan perusahaan media mencari solusi untuk mengikuti algoritma dari platform. Sehingga karya-karya jurnalistik yang berkualitas justru ditumbalkan.
Padahal, menurut Irsyan, ketika seorang jurnalis memiliki waktu yang cukup dan mendapatkan kesejahteraan yang baik, maka ia bisa saja menciptakan karya jurnalistik yang lebih berkualitas.
“Begitu pekerja media, khususnya jurnalistik, punya kesejahteraan yang baik, mereka punya waktu untuk meningkatkan kualitas karya jurnalisnya karena menghasilkan karya jurnalis bukan hanya sekedar ngetik,” tuturnya.
Rancangan ini juga diharapkan dapat berjalan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mana dapat memberikan perlindungan terhadap media, membangun kebebasan pers dan menopang independensi media Indonesia.
Irsyan juga mengharapkan adanya kesejahteraan pers dalam hal upah yang layak bagi jurnalis. Ia menyatakan bahwa AJI Jakarta sedang melakukan advokasi agar Perpres dapat menjadi pintu masuk untuk upah layak yang telah ditetapkan agar dapat terealisasi di mayoritas perusahaan media.
“Kami berharap kesejahteraan jurnalis, khususnya yang kami dulu sudah tetapkan di AJI Jakarta mengenai upah layak, untuk jurnalis pemula 8,3 juta per bulan untuk mereka yang durasi kerjanya di bawah tiga tahun, itu bisa dipenuhi oleh mayoritas perusahaan media,” ujarnya menutup.
Ilustrasi: ASPIRASI/Anastasya.
Reporter: Anastasya. | Editor: Daffa Almaas.