Mengeksplorasi Filosofi Kuliner Nusantara dari Perjalanan Aruna dan Lidahnya

Resensi

Judul : Aruna dan Lidahnya 

Sutradara : Edwin

Studio : Palari Films, Go-Studio, CJ Entertainment, Phoenix Films, Ideosource Entertainment

Tahun : 2018

Durasi : 1 jam 46 menit

Genre : Drama, Kuliner

Film dengan judul “Aruna dan Lidahnya” menceritakan perjalanan Aruna, sang pemeran utama, dalam menyusuri kuliner yang penuh filosofi di berbagai daerah di Indonesia. 

Aspirasionline.com — Aruna dan Lidahnya merupakan film garapan salah satu sutradara kenamaan Indonesia, Edwin.  Pada film ini, Edwin mengadaptasi novel dengan judul yang sama karya Laksmi Pamuntjak. 

Bercerita tentang Aruna, seorang ahli wabah yang ditugaskan oleh kantornya untuk meneliti sebuah kasus flu burung di beberapa daerah di Indonesia. Bersamaan dengan itu, Aruna juga sedang melakukan perjalanan kuliner untuk mengeksplorasi makanan-makanan tradisional nusantara dengan didampingi oleh kedua temannya, Bono dan Nad. 

Aruna digambarkan sebagai seorang wanita karir yang gemar kulineran. Namun suatu ketika, Aruna mendapati kejanggalan pada lidahnya yang tak lagi menemukan kenikmatan dalam menyantap sebuah makanan di Kota.

Akan tetapi, perjalanan kuliner membantu mengembalikan cita rasa dari lidah Aruna dengan cara menemukan filosofi dan cerita dari setiap makanan yang disantapnya dalam perjalanan kuliner tersebut.

Bono berprofesi sebagai koki profesional. Sebagai koki, Bono berkeinginan untuk menciptakan menu baru dan memutuskan untuk mencari inspirasi dengan cara berpetualang kuliner untuk menemukan resep kuliner otentik Indonesia. Sedangkan di sisi lain, Nad adalah seorang penulis buku makanan dan perjalanan sekaligus kritikus kuliner. 

Di saat yang tak terduga, perjalanan bisnis mempertemukan Aruna dengan mantan rekan kerjanya, Farish, yang merupakan seorang dokter hewan. Keempat karakter tersebut terlibat dalam percakapan intim mengenai pencarian filosofi dari makanan dengan menyantap berbagai hidangan kuliner khas Indonesia.

Keanekaragaman Orisinalitas Cita Rasa dari Kuliner Tanah Air

Indonesia merupakan sebuah negara dengan keberagaman kuliner yang melimpah ruah. Setiap daerah memiliki kuliner dengan cita rasa yang kaya. Tak terkecuali daerah yang dikunjungi Aruna dan kawannya dalam perjalanan kulinernya.

Daerah di Indonesia seperti Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang menjadi lokasi Aruna dan kawannya mencicipi kuliner nusantara dengan arti di balik setiap makanannya. 

Kuliner nusantara yang ditampilkan menjadi representasi dari keanekaragaman kuliner Indonesia. Setiap hidangan memiliki ciri khas dan cerita dibaliknya, mencerminkan identitas budaya dan kekayaan kuliner dari berbagai daerah di Nusantara.

Rawon merupakan santapan pertama Aruna dan kawannya dalam misi perjalanan kulinernya. Aruna menyantap rawon iga dengan telur asin di kota tujuan pertamanya, Surabaya. 

Selain menyantap rawon, mereka juga mencicipi sayuran yang diberi bumbu kacang kemudian disiram kuah soto bening dan diberi potongan cingur sapi. Hidangan tersebut dijuluki rujak soto. Terakhir, hidangan bernama kacang kuah yang disantap berbarengan dengan cakwe pun dilahap oleh mereka. 

Beralih ke Pamekasan, Madura, Aruna dan kawan-kawan menyantap campor lorjuk. Hidangan sejenis kerang laut yang hanya ada di pesisir Madura dengan tambahan lontong, soun, kacang, petek, tauge, yang diguyur kuah dengan campuran petis. 

Selain campor lorjuk, Aruna juga menyantap hidangan Jawa Timur lainnya yaitu Soto Lamongan yang terkenal dengan kuah bening dengan bumbu koyanya. Setelah berkelana di Jawa Timur, Aruna melanjutkan perjalanannya ke Kalimantan, tepatnya Pontianak dan Singkawang menjadi singgahan perjalanan kulinernya. 

Di Pontianak, Aruna menyantap kuliner khas daerah tersebut, yaitu Pengkang yang mirip dengan lemper. Pembedanya tampak dari bentuk yang segitiga dan isiannya terdiri dari ebi dan lobak asin. Selain itu, Nasi Goreng Pontianak adalah hidangan khas yang Aruna nantikan sepanjang perjalanan. 

Di Singkawang, terdapat adegan yang menampilkan pembuat Mie Loncat melontarkan mie tinggi-tinggi dan menangkapnya dengan saringan yang sangat memanjakan mata. Camilan kue gurih yang terbuat dari tepung beras, Choi Pan yang melegenda tidak lupa juga disantap oleh Aruna saat mengunjungi daerah Singkawang. 

Terakhir, Aruna menyantap Mie Kepiting Singkawang dengan daging yang besar bersatu dengan mie berukuran kecil. Cita rasa yang menggugah selera kerap kali ditampilkan, dijelaskan, dan tergambar melalui kutipan dialog antar tokoh saat mencicipi hidangan.

“Wow, surga keliatan depan mata,” kata Bono saat mencicipi Mie Kepiting Singkawang. 

“Benar Bon, rasanya enak banget seperti di surga,” Nad menanggapi dengan sumringah sembari melanjutkan, “Kepitingnya Bon,  dan telur kepiting sebagai harta karun di antara mie. Rasanya ingin pindah kesini dan nggak pingin pergi lagi.”

Dialog antar tokoh tersebut menggambarkan sekali betapa lezatnya cita rasa kuliner yang sedang dicicipi. 

Kuliner khas dari daerah di Indonesia yang terdapat dalam film Aruna & Lidahnya direpresentasikan sebagai kuliner pinggiran dan kuliner yang tidak awam bagi orang perkotaan. Namun, kuliner nusantara yang direpresentasikan ini tergambarkan secara jelas dan menggugah selera.

Kuliner Nusantara merupakan kekayaan budaya Indonesia yang sangat berharga. Hidangan-hidangan khas dari berbagai daerah menampilkan keahlian kuliner dan pengetahuan tentang bahan-bahan alami yang digunakan secara tradisional. Keberagaman budaya ini merupakan aset yang perlu dijaga dan dilestarikan agar tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. 

Hidangan-hidangan tersebut mencerminkan tradisi dan kekayaan kuliner dari berbagai suku, etnis, dan daerah yang ada di Nusantara. Dengan memahami makanan sebagai simbol identitas budaya, kita akan lebih menghargai keragaman budaya Indonesia.

Memahami Kehidupan Melalui Hidangan Makanan

Makanan selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Keunikan makanan sebagai objek menarik untuk diteliti terletak pada sifat multisensorisnya. Dari rasa, tekstur, tampilan, suara, hingga aroma, makanan memiliki kemampuan untuk berkomunikasi melalui berbagai bentuk bahasa dan tingkatan.

Mengutip dari dialog antara Bono dan Farish, Bono memaknai hidup sama seperti makanan. 

Dengan kompleksitas makanan tersebut, makanan kerap kali bukan hanya dijadikan sebagai alat pemuas untuk membuat kenyang, melainkan juga menjadi sebuah media dalam pemahaman arti kehidupan. 

“Hidup itu kayak makanan. Dalam satu piring ini nih, kita bisa ngerasain yang pahit sepahit-pahitnya atau yang seasin-asinnya kalau dimakannya sendiri-sendiri. Nah, tapi kalau diambil sedikit-sedikit dan dijadikan satu suapan, terus dimakan, baru dia mengungkapkan jati diri yang sebenarnya,” ujar Bono menggebu-gebu.

Dari dialog tersebut menunjukan betapa filosofisnya karakter Bono terhadap makanan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing individu memiliki cara sendiri dalam memaknai hal tersebut.

Setiap lidah memiliki selera dan ekspektasi terhadap makanan yang dicoba. Hal tersebut juga berpengaruh kepada pemahaman terhadap mengartikan sebuah makanan. 

Seperti halnya Farish, yang memiliki pandangan terhadap makanan berbanding terbalik. Saat ditanya Bono terkait pandangannya terhadap makanan. Menurutnya makanan tidak memiliki arti serius.

“Makanan ya makanan, mutlak kayak matematika. Antara enak atau nggak enak. Jadi ya fungsinya jelas, bikin kenyang,” komentar Farish.

Memahami kehidupan melalui hidangan makanan adalah sebuah perspektif yang menarik dan mendalam. Makanan bukan hanya sekedar asupan nutrisi, melainkan juga mencakup dimensi budaya, sosial, sejarah, dan bahkan psikologis. Setiap hidangan makanan menyimpan cerita, nilai-nilai, dan makna yang memberikan pemahaman mendalam tentang kehidupan.

Setiap hidangan makanan memiliki cerita dibaliknya, seperti warisan keluarga, kisah-kisah masa lalu, atau momen-momen penting dalam kehidupan seseorang.  Hidangan bisa menjadi pengingat akan kenangan dan pengalaman hidup para tokoh, yang mempengaruhi cara mereka melihat dan menghadapi kehidupan.

Seperti kisah pencarian hidangan Nasi Goreng Pontianak oleh Aruna. Ia sudah lama tidak menemukan Nasi Goreng Pontianak selezat buatan asisten rumah tangga (ART) di rumahnya. Alhasil, Aruna terus mencari resep Nasi Goreng Pontianak tersebut karena terdapat kenangan dari lezatnya hidangan tersebut.

Makanan juga dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang. Makan bersama, berbagi hidangan, dan menikmati cita rasa kuliner bersama-sama menciptakan keterikatan sosial dan memperkuat hubungan antar manusia. Hal ini juga mencerminkan pentingnya kebersamaan dalam kehidupan.

Cita rasa makanan tidak hanya terbatas pada kenikmatan fisik, tetapi juga mencerminkan cita rasa kehidupan itu sendiri. Setiap hidangan makanan membawa emosi, kenangan, dan makna yang lebih dalam, mencerminkan berbagai aspek kehidupan manusia.

 

Foto: imdb.com

Reporter: M. Athaya Primananda | Editor: Nayla Shabrina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *