Besarnya intervensi partai politik, goyahnya peran fungsi legislator, serta minimnya partisipasi publik menjadikan dunia perpolitikan di Indonesia jauh dari konsep demokrasi yang diharapkan.
Aspirasionline.com — Seminar Legislative School 2023 yang diselenggarakan di Auditorium Merce, Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Kampus Limo, Depok pada Sabtu, (21/9), mengusung tema “Membentuk Legislator Berjiwa Bela Negara”. Seminar ini diisi oleh beberapa pembicara, seperti aktivis, pengamat politik, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Membahas mengenai kondisi lembaga legislatif di Indonesia, para pembicara satu persatu menyampaikan kekhawatirannya atas berbagai tanda terkikisnya integritas dari parlemen. Tidak terpenuhinya standar etik yang ada membuat anggota parlemen semakin dinilai sebelah mata.
Pengamat Politik Ujang Komarudin menyampaikan bahwa kinerja para anggota dewan dalam membuat produk legislatif seringkali sembarangan. Hal inilah yang membuat banyak produk legislatif digugat dan dibatalkan.
“Mereka ini (anggota parlemen, red.) sebagai pihak yang punya kewenangan membuat Undang-undang kadang-kadang di barter dengan uang,” ungkap Ujang saat menjadi pembicara di seminar tersebut pada Sabtu, (21/10).
Ujang menyampaikan bahwa kebanyakan anggota dewan yang sudah duduk di bangku parlemen justru menjadi tidak aspiratif dan cenderung meninggalkan konstituen. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan parlemen seringkali merugikan rakyat karena adanya intervensi kepentingan partai dan penguasa.
“Kalau misalkan pemerintah merevisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), omnibus law juga dieksekusi, itu merugikan rakyat. Tetapi kata partainya diem, ya, diem,” ujar mantan Staf Khusus DPR tersebut.
Aktivis Hukum Feri Amsari menyebut bahwa kinerja legislator saat ini sangat bergantung dengan partai politik. Dimana, keberadaan partai politik di Indonesia yang lebih cocok dikatakan perusahaan keluarga berlabel partai politik.
“Kinerja legislator bergantung kepada partai politik dan Partai Politik sayangnya tidak menjadi Partai Politik seperti yang kita harapkan, yang ada adalah perusahaan keluarga yang diberi nama Partai Politik,” ujarnya dalam seminar tersebut pada Sabtu, (21/10).
Dampak dominasi partai yang paling merugikan adalah ketika rakyat sebagai pemilih anggota parlemen justru tidak diberikan hak memecat wakil mereka. Hak tersebut sepenuhnya menjadi milik Ketua Umum Partai. Konsep ini yang membuat anggota parlemen lebih tunduk pada partai.
“Kita pemilih berhak memilih orang untuk duduk di parlemen, tetapi kita tidak berhak memecat mereka, siapa yang berhak memecat anggota parlemen? Adalah Ketua Partai. Akibatnya anggota parlemen lebih takut kepada Ketua Umum Partai dibandingkan kita para pemilih,” jelas Feri.
Sehingga, sejumlah anggota DPR memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar kepada partai politik dibanding dengan Konstituen.
“Akibatnya standar etik bobrok sekali, tidak ada janji yang kemudian menjadi indikator mereka bekerja baik, yang ada adalah apa yang diinginkan Ketua Umum Partai,” ucap Feri.
Menurut Feri, parlemen di Indonesia kurang bisa menghormati pemilihnya karena seringkali tidak takut ketika berseberangan dengan kepentingan rakyat. Akibatnya, tidak ada indikator untuk mereka bekerja dengan baik, yang ada hanya memenuhi keinginan Ketua Umum Partai.
“Yang penting negosiasi dengan ketua umum selesai, itu sudah paripurna bagi mereka (anggota parlemen, red.),” imbuh Feri.
Kualitas Pemilu Menentukan Kualitas Parlemen
Proses yang harus ditempuh untuk bisa duduk di bangku parlemen sangat panjang, mulai dari persiapan kampanye hingga pemilihan. Dalam proses panjang tersebut banyak terjadi permainan politik yang berdampak pada kualitas parlemen.
Ujang turut menyampaikan bahwa sampai saat ini persoalan kampanye tidak jauh dari uang dan kompromi. Banyak calon anggota dewan yang mengandalkan kompromi menggunakan uang dengan para pemilihnya. Uang operasional itu dibagikan dari persiapan kampanye sampai dengan hari pemilihan.
“Tahun 2019 yang lalu itu ada anggota DPR langsung ditangkap oleh KPK karena dia kongkalikong korupsi di BUMN mengumpulkan uang 400.000 amplop dengan pecahan Rp50.000 dan Rp20.000 itu ditangkap KPK. Itu untuk dibagikan di hari-H,” jelas Ujang.
Ujang menyayangkan masih banyak anggota parlemen yang terpilih padahal sebelumnya memiliki rekam jejak yang buruk. Ia mempertanyakan logika masyarakat dalam hal tersebut.
Hal lain yang juga memperburuk kualitas Pemilu, yaitu kurangnya kesadaran publik untuk lebih memperhatikan calon yang akan mewakili mereka. Ujang menjelaskan terkait masyarakat yang kerap kali tidak mementingkan kualitas calon bahkan seringkali merasa cukup hanya dengan kompromi semata.
“Ketika membawa uang, katakan membawa sembako, ketika membawa bantuan diterima. Dan ini yang menjadi lingkaran setan yang tidak pernah selesai,” ujar pengamat politik tersebut.
Buruknya konsep kepemiluan memberi ruang bagi orang-orang yang kurang kompeten untuk masuk ke dalam parlemen. Feri turut menyampaikan bahwa konsep pemilu dengan alat peraga kampanye (APK) seharusnya dihapuskan.
“Terlalu meriah (kampanye) tetapi isinya kosong, tidak ada relasi yang signifikan antara pemilih dengan yang dipilih, jadi ini juga yang menyebabkan partisipasi itu tidak dijemput oleh anggota parlemen atau calon anggota parlemen di masyarakat,” ujarnya menjelaskan.
Hal paling krusial menurut Feri dalam memperbaiki kinerja anggota dewan, yaitu dengan meningkatkan partisipasi publik dalam pembentukan Undang-undang dan memberikan ruang bagi setiap individu dalam parlemen untuk bekerja sebagai personal, bukan anggota dari partai.
Seperti dalam perancangan undang-undang, anggota dewan dapat mencantumkan namanya sebagai individu dalam judul rancangan undang-undang yang mereka usulkan sampai dengan disahkan. Konsep ini tidak hanya akan membuat anggota DPR aktif berkarya, tetapi juga memastikan siapa yang berkinerja baik selama lima tahun.
“Jadi sampai hari ini kita tak tahu pembuat Undang-undang ini sebenarnya usulan siapa saja, mekanismenya tertutup, tidak ada yang bekerja demi kepentingan publik,” ujar Feri.
Feri menambahkan, dapat juga dibentuk pesaing dalam lingkup parlemen. Sebab menurutnya harus ada bagian dari parlemen yang menjadi penyeimbang, salah satunya menjadikan citra Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berbeda dari DPR.
Aktivis hukum itu sempat mengusulkan beberapa konsep yang dapat diterapkan DPD untuk melakukan perubahan. Salah satunya ada konsep recall by people menggunakan petisi untuk mengoreksi para anggota parlemen yang sekaligus membuka ruang bagi publik dalam berpartisipasi.
“DPR yang recall-nya oleh Ketua Umum Partai, ini oleh para pemilih langsung (masyarakat). Jadi membuat relasi DPD dan pemilih jadi sangat dekat,” ungkap Feri.
Namun, Feri menyayangkan konsep-konsep yang ia usulkan tidak dapat berjalan maksimal karena masih adanya intervensi partai serta DPD yang tidak maksimal mengambil langkah berbeda dari DPR.
Hal ini berdampak pada partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang yang semakin hari hanya sekadarnya saja. Tidak ada upaya nyata untuk membangun partisipasi yang lebih baik dalam pembentukan undang-undang.
Semakin buruk setelah Putusan MK yang menyatakan inkonstitusional bersyarat Undang-undang Cipta Kerja. Pada saat itu sudah ada aspek serius dalam membangun partisipasi dalam pembentukan Undang-undang. Namun, kembali dirusak dengan keluarnya Perppu yang menjadi Undang-undang, dan Undang-undang itu disahkan menjadi Undang-undang Cipta Kerja.
“Bagi saya itu sebuah keterlaluan menutupi partisipasi publik bahkan merusak proses pembentukan peraturan perundang-undangan,” tutup Feri.
Foto: ASPIRASI/Rara Siti.
Reporter: Rara Siti. | Editor: Fitrya Anugrah.