Diderot Effect: Pentingnya Berpikir Rasional Demi Terkontrolnya Finansial

Kabar Sekitar

Diderot effect merupakan bagian dari sikap konsumtif yang dapat menimbulkan dampak pada psikologis hingga ancaman finansial seseorang.

Aspirasionline.com — Denis Diderot yang merupakan filsuf kebangsaan Perancis pada abad ke-18 pernah mengalami masa sulit dan hidup miskin. Namun, berkat perpustakaannya yang dibeli oleh ratu yang berasal dari Russia, ia mendapat uang serta mantel sutra yang baru dan mewah.

Merasa ketidakcocokan mantel merahnya dengan semua perabot di rumahnya, ia mulai membeli barang-barang mewah yang cocok dengan mantelnya. Saat semuanya terwujud, Diderot menyadari bahwa keuangannya kembali memburuk.

Pembelian yang reaktif, serta boros tersebut disebut dengan diderot effect atau efek diderot. Dosen Psikologi Universitas Gunadarma, Fakhrurozi menyatakan bahwa diderot mengacu pada perilaku konsumtif.

“Diderot ini kan mengacu pada sebuah, semacam perilaku konsumtif begitu ya, kayak seseorang membeli barang, tapi kemudian pembelian barangnya itu mempengaruhi kehidupannya dia,” ujarnya kepada ASPIRASI pada Selasa, (29/8).

Perbedaan antara konsumtif dan diderot effect, kata Fakhrurozi, terletak pada cakupan pengertian. Diderot effect merupakan bagian dari perilaku konsumtif, sedangkan konsumtif memiliki cakupan yang lebih luas.

“Cirinya misalnya irasional saat dia mau membeli sesuatu, jadi tidak masuk akal. Kemudian ada impulsive buying, jadi dikit-dikit beli gitu,” terangnya.

Ia melanjutkan, efek yang dihasilkan pun tidak jauh berbeda dengan sikap konsumtif seseorang, yakni ada keinginan berlebihan dari seseorang untuk membeli atau mengonsumsi barang secara berlebihan.

Menurut Fakhrurozi, ciri-ciri dari seseorang yang sudah terkena diderot effect ini dapat dilihat dari perilakunya yang tidak berpikir rasional saat membeli barang. Seseorang yang mengalami diderot effect cenderung tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Selain itu, diderot effect akan membuat seseorang mengeluarkan uang dalam kurun waktu yang sebentar untuk membeli barang yang memiliki fungsi kurang lebih sama.

“Misalnya dalam satu bulan membeli sepatu dua kali, dia biasanya akan reaktif terhadap info-info promosi atau diskon,” ungkapnya.

Diderot Effect Dipicu Kecepatan Teknologi

Diderot effect, ujar Fakhrurozi, dipicu karena pesatnya perkembangan teknologi dan kemampuan masyarakat dalam menggunakan teknologi. Sosial media menjadi salah satu indikator mengapa diderot serta overconsumption dapat berkembang pesat.

Dengan adanya berbagai aplikasi belanja daring, kemudahan dalam bertransaksi dan pengiriman menjadi faktor pendukung bagaimana diderot ini dapat menjalar dalam masyarakat. 

Selain itu, perbandingan sosial dalam masyarakat serta kepuasan individu menjadi faktor selanjutnya dalam berkembangnya diderot effect.

“Dengan adanya kemudahan-kemudahan seperti itu, yang membuat orang kemudian terpicu atau terpacu untuk membeli lagi, membeli lagi, gitu,” ujarnya.

Ia melanjutkan, seseorang yang beranjak memasuki usia remaja dan usia dewasa awal cenderung lebih mudah untuk terkena diderot effect.

Sebab, mereka yang usianya remaja serta mereka yang masuk ke usia dewasa awal, akan merasa bahwa tuntutan gaya hidup untuk menunjang penampilan fisik merupakan hal yang penting.

“Mau enggak mau mereka harus mengikuti gaya hidup. Kalau enggak, enggak dianggap sama kelompoknya. Jadi tertinggal kuno gitu, ya. Singkat cerita karena mengikuti tren sebenarnya,”  jelasnya.

Dampak  Diderot Effect Terhadap Seseorang

Seseorang yang mengalami diderot effect akan terjebak dalam siklus overconsumption atau konsumsi yang berlebihan. Terjebaknya seseorang dalam siklus konsumsi yang berlebihan hingga merasa cepat puas dengan hal yang ia dapatkan, maka akan berujung pada ancaman finansial.

Ancaman finansial tersebut mengacu pada tak terkontrolnya finansial seseorang sehingga terjebak dalam perilaku konsumtif, misalnya tergiur dengan kredit dan hutang yang ditawarkan aplikasi belanja daring.

“Enggak kerasa nanti akhirnya terjebak pada, misalnya, pinjaman online yang jumlahnya besar, enggak bisa bayar, ujung-ujungnya stress, mengalami gangguan psikologis,” ujar laki-laki itu.

Secara psikologis, ujarnya, seseorang yang terkena diderot effect dapat berpotensi menjadi seseorang yang mudah minder, perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, stress, menilai dirinya negatif, perbandingan sosial, hingga kecemburuan sosial.

Dampak yang dihasilkan sendiri bagai lingkaran setan, dampak yang ditimbulkan dapat menimbulkan dampak-dampak lainnya yang dapat sangat merugikan seseorang. Kriminalitas hingga terjerat hutang dan gangguan finansial menjadi pelengkap dampak negatif diderot effect ini.

“Keseimbangan mental paling enggak, ketika mentalnya gak seimbang akan berpengaruh terhadap fungsi dalam pekerjaan, pendidikan, sosial ya bisa sampai kesana apalagi sampai terjerat hutang, pinjol yang tidak selesai,” jelasnya.

Berpikir rasional dan kritis menjadi kunci agar seseorang dapat terhindar serta menghadapi diderot effect karena perilaku tersebut muncul atas dasar emosi. Seseorang yang berpikir kritis dan rasional akan berpikir berkali-kali untuk membeli barang sehingga dapat mengendalikan emosi tersebut.

Selain itu, membuat skala prioritas juga akan membantu seseorang dapat memilah mana yang menjadi kebutuhan dan mana hal yang menjadi keinginan. Berbagi kepada orang lain pun menjadi salah satu hal kecil yang dapat dilakukan guna menghadapi diderot effect ini.

“Jadi memaksa menyisihkan satu (hingga) dua rupiah untuk berbagi bersama orang lain, daripada membeli yang tidak jelas. Itu tadi beberapa langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh mereka yang mengalami diderot effect,” tutupnya.

 

Ilustrasi: ASPIRASI/Anita Ambar.

Reporter: Anita Ambar. | Editor: Mahalia Taranrini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *