Demo 9 Tahun Jokowi, Mahasiswa: Karena Tak Sesuai Janji
Demo 9 tahun jokowi yang menuntut 13 poin tuntutan salah satunya usut tuntas kekerasan aparat diwarnai aksi penangkapan dan dugaan pemukulan. Masyarakat dan mahasiswa memberi waktu 7 x 24 jam kepada para pemangku kepentingan untuk memberikan respon dan memenuhi tuntutan mereka.
Aspirasionline.com – Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) diangkat menjadi presiden periode pertama pada 20 Oktober 2014. Ditambah dengan periode kedua sebagai presiden sejak 2015, artinya masyarakat Indonesia sudah berjalan sembilan tahun di bawah masa kepemimpinannya sebagai Presiden RI.
Bertepatan dengan hari Jumat, (20/10/2023), ratusan orang yang didominasi oleh mahasiswa berselimut almameter kampus masing-masing memadati Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Gambir, Jakarta Pusat untuk melakukan demonstrasi sembilan tahun Jokowi.
Massa aksi terlihat mulai memadati patung kuda pukul 15.00 WIB. Semakin sore, rombongan massa aksi semakin memadati lokasi demonstrasi. Poster dan banner tuntutan digantung di sekitaran patung kuda. Mobil komando yang dilengkapi pengeras suara menjadi tumpuan para orator untuk melakukan orasi yang berapi-api, tak putus-putus, saling bergantian dengan orator lainnya.
“Sudah sembilan tahun Jokowi memimpin negeri ini, tetapi tidak banyak perubahan yang kita lihat. Kebrutalan polisi terus merajalela, lembaga pemerintah saling bermain mata untuk memuluskan kepentingannya masing masing,” ucap orator dari mobil komando dekat Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta pada Jumat, (20/10).
Bertepatan di momen sembilan tahun masa kepemimpinan Jokowi, unsur-unsur dari berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi untuk menuntut kebobrokan pemerintah, lembaga negara, dan kroni-kroninya yang menyengsarakan rakyat.
“Urgensi pada demo kali ini, kita menuntut penegakan reformasi hukum, berantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, red.), tolak dwi fungsi TNI/Polri, usut tuntas kekerasan aparat, usut tuntas konflik di daerah proyek strategis nasional,” ujar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Indonesia Banking School Muhammad Fikri saat diwawancarai ASPIRASI pada Jumat, (20/10).
Salah satu mahasiswa dari Universitas Pancasila, Veta, juga menyampaikan bahwa sembilan tahun masa kepemimpinan Jokowi banyak keresahan yang selalu muncul, seperti konflik agraria yang tidak pernah selesai, represivitas aparat, dan keputusan keputusan di pemerintahan jokowi yang merugikan masyarakat Indonesia.
“Kalau di zaman Jokowi mereka tutup mata dan tutup telinga. Ketika kita bersuara, baik kita mahasiswa maupun masyarakat biasa, kalau bersuara kita gak pernah didengar,” ujar Veta saat diwawancarai ASPIRASI pada Jumat, (20/10).
Massa Kecam Potensi Dinasti Jokowi dan Mahkamah “Keluarga”
Empat hari sebelum demo sembilan tahun Jokowi, tepatnya pada Senin, (16/10) Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan perkara Nomor 90/PPU-XXI/2023 yang menyatakan minimum usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) adalah 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur atau kepala daerah.
Hal ini mendapat kritik keras dari masyarakat karena dinilai keputusan ini untuk memuluskan jalan bagi Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang juga merupakan putra sulung Jokowi untuk mendaftarkan diri sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti. Terlebih, Ketua Hakim Konstitusi merupakan menantu Presiden Jokowi sekaligus paman Gibran, Anwar Usman.
Publik lewat media sosial lantas ramai mencuitkan kepanjangan MK yang seharusnya Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga. Hal itu merujuk pada dugaan dinasti politik yang mulai muncul akhir-akhir ini.
Veta lantas turut menanggapi hal tersebut saat aksi kemarin. Ia menyayangkan sikap dan keputusan MK yang dikhawatirkan akan merusak tatanan demokrasi apabila dinasti politik benar terjadi.
“Keputusan MK sangat gegabah. Para hakimnya saja bingung, yang duduk di pemerintahan sanak saudara dari Jokowi sendiri kan, dia mau menjadikan negara ini punya dia dengan membangun kapitalisme yang selalu tinggi,” ucap Veta.
Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Bogor Raya Yudhistira juga menyoroti putusan MK dan potensi politik dinasti Jokowi. Ia menjelaskan bahwa MK seharusnya bersikap netral dan tidak terpengaruh oleh dorongan politik.
“Mahkamah Konstitusi melakukan politik dinasti bersama presiden Jokowi karena digadang-gadang anaknya Presiden Jokowi, Gibran mau naik (jadi cawapres),” ucap Yudhistira sore itu.
Represivitas Aparat di Tengah Demo
Jam menunjukan sekitar pukul 16.30 WIB. Tensi demo semakin naik. Massa menanti hasil tuntutan-tuntutan dan perwakilan istana. Berdasarkan pantauan ASPIRASI, tiga orang ditangkap polisi karena dianggap bertindak anarkis.
Perwakilan mahasiswa dan LBH mencoba untuk bernegosiasi dengan aparat. Hasilnya, orang yang ditangkap tersebut tidak akan dibebaskan sampai demo selesai. Hal ini menimbulkan ketegangan di antara pendemo. Beberapa saat kemudian, muncul perwakilan dari istana yang naik ke mobil komando memberikan pernyataan. Ia membenarkan bahwa telah menangka tiga orang dan akan segara dibebaskan.
“Adik-adik, mohon tenang. Tiga orang yang ditangkap akan segera dibebaskan, tetapi untuk sepuluh orang yang katanya ditangkap kami belum bisa membenarkan. Ayo, perwakilan (dari massa unjuk rasa) boleh masuk ke dalam untuk cek ada tidaknya,” ucap perwakilan dari Istana Presiden tersebut.
Setelah tiga orang tersebut dibebaskan, salah seorang yang ditangkap naik ke mobil komando dan berorasi. Ia mengaku mendapatkan intimidasi saat ditangkap polisi.
“Tadi di dalam, kami sempat dipukul oleh polisi dan kami mendapat ancaman yang bermacam-macam,” ucap salah seorang yang ditahan saat berada di atas mobil komando.
Terjadi kericuhan saat salah seorang yang ditangkap mengaku dipukul polisi. “Polisi pembunuh polisi pembunuh,” teriak para demonstran.
Pihak Istana Presiden mengabarkan bahwa benar sepuluh orang ditangkap dan sedang dibawa ke lokasi demo untuk dibebaskan. Ia meminta waktu tiga puluh menit untuk membawa sepuluh orang yang ditangkap tadi ke lokasi demo.
Setelah 10 orang yang ditangkap dibebaskan, para mahasiswa dan masyarakat memberi waktu 7 x 24 jam untuk para pemangku kepentingan agar tuntutan dipenuhi. Setelah itu, massa berangsur-angsur membubarkan diri.
Foto: ASPIRASI/Muhammad Fadli.
Reporter: Muhammad Fadli. | Editor: Miska Ithra.