Nihil Transparansi dan Akuntabilitas, Seleksi Mandiri PTN Jadi Bukti Bobroknya Sistem Pendidikan di Indonesia

Opini

Dalam pelaksanaannya, perangkat aturan dengan pelimpahan wewenang kepada PTN pada pelaksanaan seleksi mandiri justru menyuburkan ladang kecurangan dan komersialisasi pendidikan.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia masih menyimpan banyak persoalan lama yang tidak kunjung selesai. Semangat menempuh pendidikan yang lebih tinggi bagi banyak orang harus dihantui persoalan keuangan di saat sebagian lainnya mendapatkan keuntungan dari keadaan tersebut.

Bobroknya sistem pendidikan di Indonesia khususnya pada tingkat perguruan tinggi berawal dari buruknya sistem seleksi masuk mahasiswa baru, khususnya melalui jalur mandiri.

Sebagai penjelasan awal, terdapat berbagai jenis jalur penerimaan mahasiswa baru di Indonesia, mulai dari seleksi bersama tingkat nasional seperti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) hingga Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3) bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Dalam penerimaan mahasiswa baru, perguruan tinggi juga memiliki jalur penerimaan lain yaitu seleksi mandiri, di mana otonomi terkait sistem dan pelaksanaannya diberikan langsung kepada perguruan tinggi.

Otonomi yang didapatkan oleh perguruan tinggi terhadap ketetapan tata cara seleksi mandiri ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 48 Tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Program Sarjana pada Perguruan Tinggi Negeri.

Peraturan tersebut menjadikan pemimpin PTN memiliki kewenangan yang tinggi terhadap mekanisme penerimaan mahasiswa baru. Keadaan inilah yang membuat PTN dapat melahirkan kebijakan yang mengarah kepada komersialisasi pendidikan.

Permendikbud Ristek Nomor 48 Tahun 2022 itu juga mencantumkan terkait pembebanan besaran biaya atau metode penentuan besaran biaya yang dibebankan kepada calon mahasiswa yang lulus sebagai informasi yang perlu diumumkan kepada masyarakat luas.

Namun, dalam praktik yang terjadi saat ini nyatanya indikator dan metode tersebut tidak dimuat secara gamblang oleh pihak kampus. Calon mahasiswa yang dinyatakan lulus hanya menerima informasi terkait kelulusan dan besaran kewajiban yang perlu dibayarkan kepada kampus.

Kampus-kampus yang mengadakan tes tambahan seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, hingga Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) dengan tes bela negaranya, tidak mengumumkan besaran nilai hasil tes mandiri yang mereka lakukan.

Kurangnya transparansi terkait hal ini dapat menimbulkan spekulasi adanya kecurangan dalam penentuan calon mahasiswa baru yang dinyatakan lolos dengan faktor-faktor tertentu.

Bukan menjadi hal baru pula celah ini banyak dimanfaatkan oleh orang-orang rakus dan tidak jujur. Joki pengerjaan tes pada ujian mandiri bertebaran dengan nominal yang beragam.

Joki menjadi istilah yang sering digunakan untuk menjelaskan bentuk kecurangan yang dilakukan oleh calon mahasiswa berupa membayar orang dengan menukar identitasnya agar pengerjaan ujian yang ada dilakukan oleh orang lain.

Fenomena joki ini memiliki bentuk yang beragam, baik dengan membantu pengerjaan bagi ujian mandiri secara online atau bahkan sepenuhnya digantikan, baik itu secara online maupun ujian yang dilaksanakan secara langsung.

Tidak sedikit dari para pelaku joki ini terintegrasi dengan lembaga bimbingan belajar yang memang bergerak dalam bidang ini. Bahkan, lembaga-lembaga ini berani menawarkan jasa joki ujian mandiri dengan jaminan untuk diterima karena mereka juga bekerja sama dengan pihak kampus itu sendiri. Nominalnya tentu beragam, besarannya sangat ditentukan dari universitas dan kesulitan jurusan yang dipilih.

Jika mengutip dari jurnal karya Nauval Dzaky di tahun 2023 dalam tulisan yang berjudul “Penerapan Sanksi Pidana pada Kasus Joki Seleksi Masuk Perguruan Tinggi”, fenomena joki ini memenuhi beberapa unsur terkait pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP dengan sanksi penjara paling lama 6 tahun.

Tidak sampai di situ, sedikitnya informasi yang dapat diakses oleh publik bahkan peserta yang mengikuti ujian mandiri terkait transparansi hasil maupun indikator penilaian yang dilakukan oleh PTN berujung pada spekulasi baru. Muncul dugaan yang beredar bahwasanya penerimaan mahasiswa baru juga ditentukan dari besaran uang pangkal yang mampu diberikan calon mahasiswa baru kepada kampus.

Hal ini bukan tidak beralasan, banyak ditemukan di lapangan bahwa mahasiswa dengan skor ujian bersama nasional yang sama bisa bernasib berbeda karena nominal uang pangkal yang berbeda.

Persoalan uang pangkal atau Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan sebutan lain semacamnya juga menjadi polemik tersendiri. Persyaratan tambahan bagi calon mahasiswa baru terkait pembayaran uang SPI dengan nominal minimal yang ditetapkan oleh pihak kampus maupun nominal maksimal yang mampu dibayarkan mengindikasikan bentuk-bentuk ketidakadilan dan komersialisasi pendidikan.

Hal ini dapat dilihat dari nominal SPI yang cukup besar dan tentu tidak menjangkau seluruh kalangan dan mengakibatkan hilangnya kesempatan sebagian besar orang untuk ikut bersaing akibat kemampuan ekonomi.

Padahal, prinsip penerimaan mahasiswa baru yang tercantum Permendikbud Ristek Nomor 48 Tahun 2022 jelas mencantumkan prinsip adil dalam memberikan kesempatan terbuka termasuk kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi.

Jika berkaca dari UPNVJ melalui website resminya dalam penmaru.upnvj.ac.id sendiri, besaran nominal SPI cukup beragam dan dikelompokkan berdasarkan rumpun saintek dan soshum.

Mengutip dari tabel SPI Jalur Seleksi Mandiri (SEMA) UPNVJ 2023, rumpun soshum sendiri berkisar dari angka Rp1.500.000,00 hingga di angka Rp27.500.000,00 Sementara pada rumpun saintek sendiri berkisar dari angka Rp2.000.000,00 hingga nominal tertinggi di jurusan kedokteran menyentuh angka hingga Rp325.000.000,00.

Selain nominal SPI yang tinggi menimbulkan ketidakadilan dan kesetaraan kesempatan, penentuan nominal tersebut tidak didasarkan indikator yang jelas dan terukur, hal ini juga diperparah dengan informasi dan penjelasan yang minim terkait hal tersebut dari pihak terkait.

Meskipun memang pada awalnya tujuan dari pemberian otonomi yang lebih besar kepada pihak kampus dalam mengelola penerimaan mahasiswa melalui seleksi mandiri untuk dapat memaksimalkan potensi dan efisiensi, namun pada prakteknya hal ini sangat kontradiktif dari tujuan peraturan kebijakan itu sendiri.

Melihat dari banyaknya persoalan yang muncul dari penerimaan mahasiswa baru dengan jalur ini, maka sudah saatnya perlu adanya ketegasan pemerintah baik dalam pembuatan aturan yang jelas dan mengikat serta komitmen terhadap penegakan hukum yang lebih ketat dan tegas.

Kecurangan yang muncul juga sedikit banyak akibat sistem pendidikan di Indonesia yang berfokus pada ukuran pencapaian kuantitatif, adanya tuntutan ekspektasi untuk dapat diterima oleh PTN karena stereotip capaian keberhasilan mahasiswa baru oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat juga memiliki andil yang akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab demi tujuan ekonomi.

Dengan demikian, persoalan ini menjadi cukup kompleks dan dibutuhkan keterlibatan seluruh pihak dalam menciptakan dan mengembalikan tujuan pendidikan seperti semula. Kampus harus menjadi cerminan kedewasaan pendidikan dari kaum intelektual yang harus memiliki watak dan karakter yang terhormat.

 

Ilustrasi: ASPIRASI/Nabila Adifia.

Penulis: Natasya Oktavia, mahasiswi semester 5, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *