Inner Child dan Kaitannya dengan Karakter Jangka Panjang Seseorang

Forum Akademika

Inner child atau sisi kanak-kanak di dalam diri ternyata dapat memengaruhi karakter seseorang.

Aspirasionline.com – Saat ini, inner child tengah menjadi istilah yang ramai diperbincangkan, mulai dari perbincangan di ruang lingkup pertemanan sampai ke media sosial yang beredar di mana-mana. Namun, apa sebenarnya inner child itu?

Rosnalisa, seorang psikolog anak, menjelaskan bahwa inner child dapat diartikan sebagai sisi ekspresi masa lalu seseorang ketika diri mereka masih kanak-kanak. Sisi ekspresi ini dibentuk oleh pengalaman masa lalu seseorang yang akhirnya melekat menjadi kepribadian. 

Wanita yang juga merupakan Dosen Psikologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) menambahkan jika kepribadian ini dapat muncul ketika seseorang tengah merasakan kenangan yang pernah mereka alami di masa kanak-kanak dulu.

“Contohnya, ketika sedang berkumpul sama om, kakek, nenek. Pasti saat berkumpul, kita akan memunculkan pengalaman masa kecil kita kan,” ungkap Rosnalisa kepada ASPIRASI pada Selasa, (11/7).

Sejatinya, setiap individu pasti memiliki inner child. Namun, inner child yang dimiliki tiap individu ini akan berbeda, tergantung pada bagaimana pengalaman masa kecil yang mereka alami. Cara setiap individu menghadapi dan mengembangkan inner child di dalam diri mereka pun berbeda-beda.

Dalam sesi wawancaranya kepada ASPIRASI, Rosnalisa memaparkan bahwa inner child tidak akan berpengaruh pada perkembangan karakter individu jika mereka mampu meresponsnya dengan positif, yaitu dengan memaafkan inner child-nya. Begitu pun sebaliknya jika seseorang belum mampu memaafkan inner child mereka.

“Tapi kalau dia belum bisa memaafkan inner child-nya, maka sisi ini (inner child) tidak berpengaruh baik pada perkembangan karakter individu. Jadi dia akan merekam peristiwa. Itu akan terulang lagi karena dia belum bisa memaafkan masa lalunya,” tutur Rosnalisa kepada ASPIRASI, Selasa (11/7) lalu.

Peran Inner Child dalam Pertumbuhan Karakter Seseorang

Inner child sangat berpengaruh dalam pertumbuhan karakter seseorang. Seberapa kuat inner child itu dapat berpengaruh bergantung pada bagaimana pola kehidupan membentuk seorang anak. Apalagi, Rosnalisa memaparkan jika inner child sudah mulai terbentuk dari masa imprint yang berada pada interval usia 0 – 7 tahun. Periode ini lah yang disebut sebagai periode emas.

Periode emas ini memungkinkan anak untuk menyerap informasi dengan cepat. Apabila anak merekam pengalaman kecil yang positif, maka karakter yang tumbuh bersama anak akan positif. Begitu pun sebaliknya.

“Makanya kalau anak-anak ngomong jorok, yang ngomong jorok karena bahasa-bahasa yang diserap di sekitarnya ngomong jorok, yang tiap hari didengernya. Kalau yang di sekitar dia bahasanya santun, maka dia akan terbiasa. Dan ini akan berpengaruh pada masa-masa berikutnya,” ujar Rosnalisa memberi contoh.

Bertahap dari periode 0 – 7 tahun, terdapat periode yang berlanjut pada interval usia 8 – 14 tahun yang disebut periode model. Jika seiring pertumbuhan anak, mereka banyak merekam pengalaman-pengalaman buruk yang memengaruhi inner child mereka, akan ada energi yang terbawa di periode model ini. Rekaman-rekaman yang kasar akan muncul ketika individu tersebut berinteraksi dengan orang lain.

Jika individu berada pada lingkungan yang tidak mampu mendukung dirinya untuk menghadapi sesuatu dan membantunya menemukan kepercayaan untuk menyelesaikan masa lalunya, hal ini yang nantinya bisa berdampak pada keputusan yang akan ia ambil. Keputusan-keputusan itu akan banyak terpengaruhi dari rekaman masa lalu yang tumbuh dalam komunikasi bawah sadarnya.

“Akhirnya, dia membuat keputusan yang salah untuk perjalanan hidup dia, masa depan dia,” jelas Rosnalisa.

Menghadapi Inner Child pada Diri Sendiri atau Orang Lain

Efek jangka panjang inner child kepada seseorang dengan pengalaman masa lalu yang buruk jelas membutuhkan perhatian tersendiri. Rosnalisa mengungkapkan jika ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu dengan memberikan dukungan dan mencari bantuan profesional apabila sudah menunjukkan gejala-gejala khusus.

Gejala yang berkaitan dengan kondisi mental health ini adalah menunjukkan kecenderungan menyakiti dirinya sendiri, tidak mau berkomunikasi, menyalahkan orang lain secara berlebihan, bersifat tertutup, atau bahkan bersikap agresif.

“Agresifnya ini menyerang orang lain. Nah, ini kita sudah membutuhkan bantuan profesional,” tambahnya.

Selain mencarikan bantuan profesional, apabila inner child tersebut masih dapat dibantu, kita bisa memberikan dukungan kepada individu. Dukungan ini bisa dalam wujud membuka jalan komunikasi, karena rata-rata seseorang dengan inner child memiliki komunikasi yang terbatas.

Rosnalisa menegaskan jika bercerita itu tidak selalu harus ke profesional. Dengan teman dekat pun juga dapat disebut bercerita. Paling tidak, tambah Rosnalisa, masalah yang menekan individu tersebut keluar dan mereka bisa mendapatkan dukungan emosional. Melalui ini, paling tidak kita telah membantu mereka sebanyak 50 persen.

“Berarti kan 50 persen sudah terpecahkan. Tinggal perlahan-lahan, ia akan menata dengan saran-saran yang kita anjurkan. Dia akan menata ulang yang harus dia lakukan. Misalnya memaafkan,” tutur Rosnalisa.

Memaafkan ini memang Rosnalisa sebut sebagai cara yang paling mudah untuk menyembuhkan inner child. Perlu ada rasa maaf yang ditumbuhkan secara tulus agar inner child dapat kembali menjadi positif. Bukan hanya itu, kita juga perlu mengenali inner child kita sendiri.

“Karena dengan mengenali inner child kita, kita tahu bahwa ada sisi hikmah di balik itu semua,” tutup Rosnalisa mengakhiri sesi wawancara hari itu.

 

Foto: Girlsbeyond.com

Reporter: Nasywa Aliyya. | Editor: Zahra Septina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *