Revisi UU ITE Dibahas Secara Tertutup, YLBHI: Pemerintah dan DPR RI Perlu Menghormati Kedaulatan Rakyat

Nasional

YLBHI beserta 18 perwakilan kantor LBH YLBHI di seluruh Indonesia menyelenggarakan konferensi pers untuk mendesak keterbukaan Komisi I DPR RI dan Kemenkominfo dalam membahas revisi UU ITE.

Aspirasionline.com – Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini tengah dibahas untuk direvisi kembali oleh Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 

UU ITE pertama kali disahkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 sebelum akhirnya direvisi dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Revisi ini dilakukan karena banyaknya pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap tidak sesuai dan bisa menimbulkan polemik kedepannya.

Pasal-pasal bermasalah tersebut juga dapat berpotensi mengancam hak asasi manusia untuk memiliki ruang kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. 

Sayangnya, pembahasan revisi UU ITE dilakukan secara tertutup yang justru akan menjadi pemicu tergerusnya hak kemerdekaan masyarakat sipil dalam memiliki suara kritis di muka umum.

Pada Rabu, (12/7), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyelenggarakan konferensi pers secara daring yang membahas lebih lanjut mengenai kurangnya transparansi pemerintah dan DPR RI dalam merevisi UU ITE.

Arif Maulana, Wakil Bidang Ketua Advokasi YLBHI, berpendapat jika kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam merevisi UU ITE ini sayangnya sudah terbentuk menjadi pola yang terus berulang. Oleh karena itu, melalui konferensi ini, YLBHI bersama perwakilan dari 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Indonesia menuntut kedaulatan rakyat.

“Kita semua dan lewat konferensi pers pada sore hari ini (12/7), YLBHI bersama teman-teman kantor perwakilan 18 kantor LBH di seluruh Indonesia ingin mendesak kepada negara, khususnya DPR RI Komisi I dan juga pemerintah, untuk menghormati kedaulatan rakyat,” tegas Arif saat konferensi pers virtual tersebut pada Rabu, (12/7).

Hilangnya Esensi Demokrasi Akibat Minimnya Transparansi

Mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020, sudah menjadi hak tiap warga negara untuk bisa memberikan masukan baik lisan maupun tulisan terkait dengan sebuah penyusunan peraturan perundang-undangan.

Arif menyatakan bahwa UU ITE menjadi represi dari hak warga negara yang berpartisipasi dalam pemerintahan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan publik. 

Namun kenyataannya, Arif membeberkan jika dilihat dalam laman resmi DPR RI,  tidak ada informasi apapun terkait pembahasan untuk mengetahui perkembangan revisi UU ITE tersebut. 

“Pembahasan revisi Undang-undang ITE itu dilakukan tidak demokratis, tidak partisipatif, dan tidak membuka informasi yang mudah diakses oleh masyarakat luas,” tegas pria tersebut di hadapan para hadirin dalam konferensi pers. 

Menurutnya, perlu ditegaskan bahwa masyarakat mempunyai hak atas informasi dan hak untuk menyuarakan pendapatnya. Tidak hanya itu, masyarakat juga berhak mendapatkan atensi sehingga sarannya dapat dipertimbangkan, mendapatkan penjelasan dari hasil pertimbangan, serta berhak untuk mempertanyakan pertimbangan tersebut. 

“Alat pukulnya adalah Undang-undang ITE, salah satunya selain KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), yang itu merepresi hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan mengkritisi kebijakan ini,” tambahnya. 

Aulianda, Pengacara Publik LBH Banda Aceh yang juga hadir dalam konferensi, menjelaskan bahwa konsekuensi dari negara berdemokrasi memang akan melahirkan banyak kritik terhadap kebijakan publik. Setiap kebijakan publik mempunyai konsekuensi untuk dapat dilihat dan dinilai oleh masyarakat. 

“Setiap kebijakan publik, setiap aktivitas pejabat publik apapun juga yang dilakukan untuk tujuan masyarakat umum itu boleh dikritisi, dipertanyakan, diuji, bahkan warga boleh menyatakan ketidaksepakatan,” ujar Aulia memberikan pernyataan, Rabu, (12/7).

Deretan Pasal Karet UU ITE Berpotensi Membungkam Kritik

Selain membahas mengenai nihilnya transparansi, konferensi tersebut juga membahas tuntutan kepada pemerintah untuk menghapus pasal-pasal karet. Pasal-pasal karet ini dinilai akan mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

Menanggapi hal tersebut, Citra Referandum, selaku Direktur LBH Jakarta memaparkan secara komprehensif pasal-pasal karet dalam UU ITE yang perlu menjadi perhatian besar. 

Beberapa pasal di antaranya yaitu pasal 27 ayat 1 yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan dokumen elektronik atau informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Terdapat pula pasal 27 ayat 3 tentang muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. 

Tidak hanya itu, pasal 28 ayat 2 terkait rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) juga terhitung sebagai pasal karet.

“Termasuk pasal 29 ini kemudian jika mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi,” kata Citra seraya menambahkan, “Pasal 26 juga bermasalah karena ini terkait dengan menyangkut data pribadi seseorang yang seharusnya dilakukan dengan persetujuan orang yang bersangkutan.”

Menurut Citra, penggunaan pasal-pasal bermasalah yang telah disebutkan tersebut melanggar hak asasi terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk juga kebangsaan berkumpul dan berserikat.

Dari pasal-pasal yang telah dijabarkan juga telah banyak kasus yang terjadi sehingga perlu  menjadi perhatian bagi para lembaga-lembaga bantuan hukum untuk lebih kritis dalam menyikapi persoalan yang ada. 

“Bentuk yang juga perlu kita kritisi tidak hanya aspek material dalam beberapa pasal-pasal bermasalah, tetapi juga dalam penegakan hukum secara formal,” tegas Citra.

Abdul Azis Dumpa, perwakilan LBH Makassar, juga menyampaikan pendapatnya berdasarkan beberapa pengalaman atas penanganan perkara terkait dengan UU ITE, khususnya di Makassar. 

Azis menekankan bahwa pada faktanya masyarakat tidak dilibatkan secara bermakna dalam undang-undang. Masyarakat seperti tidak diberikan ruang informasi dan tidak bisa memberikan partisipasinya secara inklusif. 

“Sejak awal 2008 UU ITE disahkan memang sebagai undang-undang yang bermasalah dan banyak dibicarakan serta dianggap sebagai salah satu UU yang sangat regresif membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat masyarakat,” tutur Azis. 

Di akhir acara, Arif menambahkan bahwa dalam situasi yang tertutup, YLBHI bersama koalisi masyarakat sudah menyampaikan masukan terhadap pemerintah dan DPR RI namun tetap tidak ada perubahan yang berarti. 

Dirinya juga menekankan bahwa proses revisi haruslah terbuka dan bersifat partisipatif yang pada hakikatnya merupakan hak rakyat dalam demokrasi. 

“Kami menuntut agar DPR RI Komisi I dan pemerintah memastikan pasal-pasal karet, pasal-pasal bermasalah yang kini mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi itu dihapuskan,” tutupnya. 

 

Reporter: Alya Putri. | Editor: Nayla Shabrina.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *