Meminimalisasi Persekusi Jurnalis dengan Permintaan Konfirmasi

Berita UPN

Persekusi menjadi salah satu peristiwa yang semakin marak dihadapi jurnalis Indonesia, seperti serangan digital bahkan kekerasan.

Aspirasionline.com – Dalam rangka penyelenggaraan Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) ke-38. LPM Aspirasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) mengadakan Seminar untuk umum dengan tema “Wajah Lain Kebebasan Pers di Indonesia” yang berlangsung di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/5).

PJM merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh LPM Aspirasi yang memberikan pelatihan jurnalistik kepada masyarakat. PJM kali ini kembali digelar secara luring dengan menghadirkan tiga pembicara yang terbagi dalam dua sesi.

Pada sesi kedua diisi oleh Ketua Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Irsyan Hasyim. Dalam pemaparannya, Irsyan menyampaikan kerentanan persekusi bagi jurnalis.

Irsyan menjelaskan, pada tahun politik ini, AJI menerima 61 laporan kekerasan jurnalistik yang belum berakhir dan 91 jurnalis sebagai korban. Hanya dalam waktu enam bulan, AJI menerima 34 laporan kekerasan terhadap jurnalis.

“Di semester kedua pada bulan Juni sampai Agustus begitu memasuki musim kampanye, aku yakin laporan terhadap kekerasan jurnalistik itu jauh lebih tinggi lagi dan itu bakal tinggi lagi di tahun 2024 begitu mulai pemilihan,” ungkap Irsyan, Sabtu (27/5).

Berdasarkan penuturannya, serangan digital merupakan bentuk serangan pertama yang dihadapi jurnalis. Media sosial yang digunakan menjadi gerbang serangan digital bagi jurnalis yang data pribadinya akan disebarluaskan. Ini adalah bagian dari langkah mitigasi bagi jurnalis, karena sesama jurnalis seringkali lebih rentan terkena doxing.

“Data pribadi kita diserang, seperti alamat rumah, nama orang tua, dan itu kan sebenarnya tidak enak banget ya, dan ini paling sering terjadi dan ini agak rawan karena ini sifatnya digital pembuktiannya itu agak rumit,” ungkap Irsyan.

Lebih lanjut, Irsyan menjelaskan melapor ke polisi pun tidak akan pernah bisa membuktikan siapa pelakunya karena pelaku doxing didominasi oleh akun palsu, akun anonim yang menyebarkan data pribadi jurnalis.

Pun biasanya yang terkena doxing adalah jurnalis yang meliput beberapa kasus besar seperti kasus pertambangan, kasus politisi, atau kasus kecurangan.

“Makanya sebagai langkah mitigasi, itu kadang temen-temen (jurnalis) beberapa akun media sosialnya tuh dihilangkan atau pakai anonim sehingga untuk bisa melacak informasi pribadi, itu dapat diminimalisir,” tutur Irsyan.

Tidak hanya dihadapi jurnalis seorangan, persekusi juga pernah dialami Narasi TV, salah satu media massa yang mendapatkan peretasan pada website, aplikasi, media sosial, dan serangan digital kepada para jurnalisnya pada September 2022 lalu.

Menurut Irsyan, dalam kasus peretasan Narasi TV tersebut, bisa dikatakan sebagai momentum untuk membuktikan bahwa negara adalah dalang dari serangan digital tersebut.

“Karena waktu itu Narasi sedang meliput soal ada beberapa kasus yang melibatkan kepolisian yang diberitakan oleh Narasi TV,” katanya.

Selain itu, persekusi juga tentu berpotensi sangat besar dihadapi oleh pers mahasiswa yang saat ini tidak memiliki Undang-Undang resmi sebagai perlindungan persekusinya. Untuk itu, Irsyan menegaskan kode etik seperti verifikasi perlu dilakukan.

Dalam contoh laporan kasus soal pihak kampus yang korupsi. Untuk menguatkan laporan jurnalistik dan tidak dilaporkan sebagai tulisan yang mencemarkan nama baik, diperlukan verifikasi data kepada pihak kampus.

Namun, jika pihak kampus tetap tidak mau mengonfirmasi, jurnalis mahasiswa perlu menuliskan keterangan bahwa telah melakukan upaya untuk melakukan verifikasi, tetapi tidak direspon.

“Di situ titik tekannya, bahwa kita harus menaati kode etik sehingga kita mudah kedepannya tidak terjerumus dalam pasal-pasal tindakan pidana yang bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak senang sama kita menggunakan undang-undang ITE,” tutup Irsyan.

 

Foto: Nabila Adifia.

Reporter: Tiara Ramadanti | Editor: Miska Ithra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *