Sexist Jokes, Bentuk Pelecehan Seksual Verbal yang Masih Dinormalisasi

Forum Akademika

Penggunaan sexist jokes di masyarakat merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual yang dinormalisasi dalam dalih pengakraban diri dalam berkomunikasi. Penormalisasian tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan yang telah dilakukan masyarakat Indonesia secara turun-temurun.

Aspirasionline.com — Sebagian besar dari kita pasti tidak asing dengan ‘candaan jorok’ yang sering dilontarkan orang-orang sekitar ataupun bisa ditemui di kolom komentar media sosial.

“Ada yang bulat, tapi bukan tekad”

“Cengeng banget sih lo, kayak cewek!”

Dua kalimat di atas merupakan salah dua kalimat sexist jokes yang seringkali dilakukan oleh masyarakat. Penggunaan jokes atau candaan yang seharusnya menghibur, malah terdengar menjijikan bagi orang yang mendapat candaan tersebut ataupun orang lain yang mendengarnya. 

Sexist jokes sendiri dapat diartikan sebagai suatu candaan yang dinilai merendahkan suatu gender tertentu. Menurut Dini Putri Saraswati, dosen Gender Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), sexist jokes dapat termasuk ke dalam kekerasan seksual.

Sexist jokes itu bisa masuk ke dalam kekerasan seksual, bisa mengarah ke kekerasan seksual jika seseorang ini nggak nyaman ketika dia dikasih jokes ini gitu, dibercandain, sexist jokes itu sifatnya merendahkan, walau bagi sebagian orang itu mikirnya bercanda,” jelas Dini kepada ASPIRASI pada Senin, (20/3).

Penormalisasian Sexist Jokes yang Tidak Disertai Consent

Jokes atau candaan awalnya memiliki esensi hiburan. Ketika seseorang bermaksud melemparkan candaan, tetapi lawan bicaranya merasa tersinggung dengan candaan tersebut, maka hal tersebut tidak lagi dapat dianggap bercanda.

“Orang itu nggak sadar bahwa sexist jokes ternyata bikin orang lain sakit hati atau secara nggak langsung merendahkan suatu gender tertentu. Nah, tapi biasanya yang memberikan jokes itu dalihnya, ‘ah itu cuma bercanda’,” ujar Dini sambil memperagakan.

Lebih lanjut, ketidaknyamanan atau tidak adanya consent, menurut Dini, adalah hal utama yang menyebabkan sexist jokes dapat masuk kedalam ranah kekerasan seksual. 

“Jadi pelecehan atau kekerasan seksual ada kata kuncinya yaitu pemaksaan atau dia itu merasa dia itu tidak memberikan consent atau izin,” terang Dini.

Ketidakjelasan consent pada fenomena sexist jokes ini yang membuat unsur kekerasan seksual pada sexist jokes menjadi terasa abu-abu dan sulit untuk diidentifikasi. Selain itu, bungkamnya korban sexist jokes membuat consent tidak dapat diketahui sehingga sexist jokes dianggap menjadi candaan biasa dan akhirnya dinormalisasi.

Pengemasan kekerasan seksual dalam bentuk candaan menjadikan korban sexist jokes semakin sungkan mengungkapkan consent. Pasalnya, dalih hanya candaan membuat korban maju mundur dalam mengekspresikan apa yang ia alami.

“Orang akan menganggap kalau jokes itu nggak serius, itu cuma untuk mengakrabkan diri satu sama lain, dan ketika kita sakit hati itu seakan-akan perasaan kita jadi nggak valid,” jelas Dini.

Menurut Dini, hal ini cukup berbahaya karena kemungkinan pelontar candaan berbau sexist tersebut tidak akan merasa bersalah dan justru memungkinkan pelontar candaan tersebut berpikir bahwa tidak apa untuk melakukan kekerasan seksual lainnya yang lebih intens kepada korban.

Selain itu, Dini mengamati bahwa sebab penormalisasian sexist jokes di kalangan masyarakat juga dapat dilihat dari sejarah industri komedi di Indonesia yang mana menjadi salah satu penyebab masyarakat menormalisasikan sexist jokes.

“Jadi kalau kalian amati ini itu udah kayak jadi warisan dari lama, dari dulu, dari eranya Warkop (acara komedi) karena memang sexist jokes apparently lebih ngena di hati masyarakat karena kita semua relate dengan candaan tersebut,” terangnya.

Toxic Masculinity dan Double Standard dalam Sexist Jokes

Penormalisasian sexist jokes membuat penggunaannya menjadi suatu yang lumrah di masyarakat, khususnya di lingkungan yang maskulinitasnya cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan kebanyakan korbannya adalah perempuan dan pelakunya adalah laki-laki.

“Yang melemparkan sexist jokes bisanya laki-laki, di mana mereka di tatanan sosial lebih tinggi, sehingga mereka lebih ngerasa punya kuasa untuk melemparkan jokes yang sexist dan mereka yakin bahwa perempuan itu akan terima-terima aja,” jelas Dini, menyayangkan fakta tersebut.

Dalam hal ini, korban sexist jokes tidak hanya perempuan, laki-laki juga memungkinkan menjadi korban. Namun, laki-laki kebanyakan tidak menyadari atau mengakui dan bahkan menampik bahwa mereka merupakan korban kekerasan seksual sexist jokes.

Adanya konstruksi sosial yang mengkotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki, menurut Dini, membuat masyarakat lebih memandang laki-laki sebagai pribadi yang lebih kuat. Maka dari itu, ketika laki-laki dilecehkan, ia akan cenderung menyimpan rasa emosionalnya untuk menghindari penerimaan masyarakat yang berbeda terhadapnya.

“Menurut saya, ada konteks toxic masculinity di sini yang akhirnya membuat ada double standard, jadi kalau laki-laki yang menerima pelecehan atau sexist jokes seakan-akan mereka harus terima aja, karena laki-laki di konstruksikan seperti itu, sedangkan perempuan sebaliknya,” terangnya lebih lanjut.

Menanggapi hal tersebut, Dini menegaskan bahwa korban pelecehan sexist jokes, tanpa memandang gender apapun, harus tetap berani menunjukkan penolakan untuk merespon candaan yang mengandung pelecehan tersebut.

“Hal yang paling bisa kita lakukan ya jangan ketawa, agar orangnya merasa diabaikan dan ketika itu bisa jadi refleksi diri (si pelontar candaan). Kalau berani bisa dikonfrontasikan, bisa dikasih tahu, ‘oh itu menyinggung lho, itu candaan yang nggak sopan lho’, dan mungkin nanti dia akan minta maaf ,” tegas Dini.

Dini juga mengharapkan adanya kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk menemukan cara lain dalam mengakrabkan diri dalam berkomunikasi. Kalaupun dalam bentuk candaan, harus yang memang sekiranya menyenangkan semua pihak dan tidak menyakiti pihak manapun.

Peran mengedukasi yang lebih makro yaitu dapat dilakukan oleh pemerintah dengan mewujudkan kesetaraan gender. Kesetaraan gender ini dapat diwujudkan dengan pembuatan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kesetaraan gender.

Berangkat dari kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah, Dini berharap nantinya masyarakat akan lebih saling menghargai satu sama lain, terlepas dari gender apapun, sehingga segala bentuk pelecehan, termasuk sexist jokes juga dapat ditangani dan berhenti dinormalisasikan.

 

Ilustrasi: Alfianti Putri.

Reporter: Alfianti Putri | Editor: Daffa Almaas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *