Pro Kontra Penolakan Indonesia Terhadap Timnas Israel Pada Piala Dunia U-20

Nasional

Piala Dunia U-20 menjadi perhatian banyak pihak di Indonesia setelah muncul penolakan terhadap kedatangan timnas Israel sebagai salah satu calon peserta. Publik Indonesia terbelah antara menerima dan menolak kehadiran tim Israel dalam Piala Dunia U-20.

Aspirasionline.com – Setelah adanya pernyataan resmi dari Federasi Sepak Bola Internasional, Fédération Internationale de Football Association (FIFA), Indonesia batal sebagai tuan rumah Piala Dunia Under-20 (U-20). Meski FIFA tidak menjelaskan mengapa penyelenggaraan Piala Dunia U-20 batal di Indonesia, tetapi banyak pihak meyakini hal tersebut berkaitan dengan keikutsertaan tim nasional (timnas) Israel.

Kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 mendatangkan kekecewaan bagi sebagian masyarakat. Penolakan Indonesia terhadap timnas Israel membuat masyarakat menuding munculnya narasi politik sebagai akar penyebab kegagalan tersebut.

Kepada ASPIRASI, Noory Okthariza, yang merangkap sebagai dosen Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) sekaligus peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyoroti hal-hal yang melatarbelakangi kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia, salah satunya ialah politik luar negeri Indonesia.

“Politik luar negeri Indonesia yang memang menentang berdirinya negara Israel karena dianggap mencaplok sebagian wilayah Palestina dan itu sudah dimulai dari zamannya Bung Karno,” ungkap Noory kepada ASPIRASI pada Jumat, (14/4).

Penolakan Indonesia yang konsisten terhadap kedatangan Israel merupakan bentuk politik luar negeri Indonesia yang sangat independen. Noory menyampaikan bahwa konsistensi tersebut karena adanya aspirasi dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk membela kelompok sesama muslim, sehingga politik luar negeri dan kebijakan luar negeri yang dijalankan mengacu pada hal tersebut.

“Adanya kepentingan politik, tetapi salah langkah karena tokoh pemerintah mengharapkan dibaca oleh rakyat bahwa mereka konsisten menentang Israel dan tidak berpikir ini akan membatalkan status Indonesia menjadi tuan rumah,” tuturnya. 

Dampak Hubungan Diplomatik dari Penolakan Indonesia 

Keikutsertaan timnas Israel di Piala Dunia U-20 telah menuai pro kontra. Beberapa pihak di Indonesia mengecam Israel karena konfliknya dengan Palestina. Namun, di balik persoalan tersebut ada dampak signifikan bagi diplomasi Indonesia saat menolak kedatangan timnas Israel.

Laode Muhamad Fathun, Dosen Hubungan Internasional (HI) UPNVJ, menyampaikan bahwa persoalan penolakan kedatangan timnas Israel tersebut berpengaruh dalam diplomasi Indonesia tergantung pada siapa yang melakukan diplomasi, topik yang diangkat, dan besaran urgensi topik pembahasan, dikarenakan hal tersebut berhubungan dengan level kolaborasi dan partisipasi dalam melakukan diplomasi.

Ia juga menambahkan, hal seperti ini harus dilihat secara ideologis, karena sebenarnya mereka harus melalui banyak aspek dan banyak faktor. Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik khusus dengan Israel, tetapi Indonesia memiliki hubungan komersial dengan Israel.

“Indonesia memang tidak secara khusus memiliki hubungan diplomasi dengan Israel, tetapi Indonesia memiliki hubungan perdagangan dengan Israel, seperti teknologi, perdagangan, barang dan jasa, dan lain lain. Jadi kalau kita kaitkan dengan penolakan ya memang isunya sangat politis,” jelas Laode kepada ASPIRASI pada Kamis, (13/4).

Lebih lanjut, Laode menilai bahwa jika Indonesia benar-benar ingin mengambil komitmen dan konsistensi sebagaimana yang telah dilakukan, maka dengan ini Indonesia harus melakukannya dengan tegas.

“Menurut saya jika Indonesia mau konsisten terhadap politik luar negerinya, maka Indonesia harus bisa konsisten juga dengan posisi perdagangannya yang artinya sekalian tidak usah membuka hubungan perdagangan dan Indonesia harus mencari negara komplementari yang bisa mewadahi kebutuhan Indonesia yang tidak di-cover (oleh Israel),” tegasnya. 

Laode juga menjelaskan, apabila Indonesia berniat untuk konsisten dengan politik luar negeri independennya, maka Indonesia harus memiliki rasionalitas negara lain yang bisa mensubstitusi kebutuhan-kebutuhan Indonesia jika sewaktu-waktu Israel melakukan embargo karena keputusan Indonesia tersebut.

“Kalau misalkan Israel memandang hal ini sangat politik juga, maka berpotensi embargo bisa dilakukan oleh Israel. (Selanjutnya) kerugian bidang persenjataan dan teknologi itu bisa dialami oleh Indonesia,” ujarnya.

Tidak menerima delegasi Israel artinya bahwa posisi itu membuat Indonesia harus memastikan bahwa komitmen Indonesia untuk independen dan mendukung Palestina tidak berubah dengan datangnya Israel di Indonesia.

Acara-acara yang tidak berkepentingan dengan politik, dalam hal ini acara olahraga sepak bola, tidak sepatutnya dikaitkan dengan isu-isu politik. Indonesia bisa memposisikan diri sebagai negara yang independen dan netral, lantaran ada jalur lain untuk menjadi mediator atau fasilitator dalam menjaga Palestina.

“Jadi menurut saya kedepannya menjadi pembelajaran yang baik bahwa pertimbangan kebijakan luar negeri itu harus dilihat betul legitimasi aturan yang ada, birokrasi karena memang kebijakan luar negeri itu sangat kompleks,” tegas Laode.

Sejalan dengan Laode, Noory juga mengatakan ini hanya  bersifat ketegangan diplomatik antara Indonesia dengan khususnya orang-orang Yahudi yang mana Indonesia selama ini dianggap konservatif sekarang makin dianggap konservatif. 

“Dampak ekonomi terkait dengan event piala dunia U-20 jelas ada, tetapi tidak akan sampai mengganggu aktivitas perekonomian sebagaimana yang kita bayangkan akan besar, saya rasa tidak,” tuturnya. 

Citra Indonesia di Mata Dunia Setelah Menolak Timnas Israel

Sebagai tuan rumah, Indonesia harusnya bisa menjamin terlaksananya acara dengan baik. Pembatalan ini membuktikan bahwa Indonesia tidak mampu berkomitmen sebagai tuan rumah, dan akan menerima banyak konsekuensi seperti citra Indonesia di mata dunia.

“Saya rasa hal tersebut tergantung sudut pandang. Negara lain sudah sangat paham dan sudah sangat tahu bagaimana citra Indonesia, dewan keamanan PBB dan forum-forum lainnya, bahwa Indonesia sudah konsisten dengan independensi politik luar negerinya,” jelas Laode.

Lebih lanjut, Laode menjelaskan bahwa Indonesia tidak akan berubah terkait konsistensi dan independensinya, tetapi terkait dengan citra dalam melaksanakan suatu event mungkin saja terjadi. Namun, Laode menegaskan, citra politik Indonesia tidak akan berubah karena Indonesia mendukung Palestina sejak zaman Soekarno dan negara lain sudah tahu akan hal itu.

Namun, hal tersebut bersinggungan dengan pendapat Noory. Ia berpendapat bahwa kredibilitas Indonesia akan turun di mata banyak negara, terutama jika Indonesia menawarkan diri menjadi tuan rumah acara-acara berskala internasional. 

“Investor dari luar datang masuk ke Indonesia akan melihat kualitas demokrasi, jika demokrasinya dianggap tidak liberal yang bebas, maka investor asing  akan di rem masuk ke negara kita. Itu imbasnya kepada percepatan kualitas pembangunan dan juga masyarakat banyak akan terkena dampaknya,” ujar Noory.

Keputusan Indonesia menolak timnas Israel terpecah menjadi dua kubu. Menurut Laode sendiri untuk proses pengambilan kebijakan ini yang berhubungan dengan isu-isu krusial dan politis seperti ini, harus melibatkan science of diplomacy.

“Sehingga proses saat pengambilan kebijakan itu tidak berbasis kepada kepentingan politik yang hanya berdasarkan kepada untung rugi saja tetapi ada pertimbangan  lain yang mungkin bisa menjadi dasar bagi meyakinkan bahwa Indonesia konsisten dan independensi,” tuturnya.

Laode menyatakan bahwa event seperti ini hanya single play yang mana tidak mempengaruhi konsistensi Indonesia untuk mendukung Palestina sebagai sebuah negara yang merdeka dari adanya penjajahan.

Sejalan dengan Laode, Noory juga memandang jika ini bukan kesepakatan bersama. Ini lebih kepada perbedaan pandangan antara para politisi dan petinggi. Pemerintah yang berupaya mencari jalan keluar, sementara beberapa politisi menolak secara tegas. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan pandangan dan kurangnya koordinasi.

“Komunikasi sesama lembaga di pemerintahan juga penting. Jadi kita tidak perlu melakukan mitigasi sehingga masalahnya menjadi runyam seperti ini, jadi kedepan harus lebih baik lagi dari segi persiapan acara,” tutup Noory.

 

Ilustrasi: Tiara Ramadanti.

Reporter: Tiara Ramadanti | Editor: Daffa Almaas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *