
Pro Kontra ChatGPT di Kalangan Akademisi
Penggunaan ChatGPT di kalangan akademisi dapat menurunkan nilai-nilai dan norma pendidikan jika tidak disertai dengan pengetahuan mendasar dalam penggunaannya.
Aspirasionline.com – Pemanfaatan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan terus mengalami perkembangan. Salah satu hasil dari perkembangan tersebut adalah maraknya penggunaan aplikasi ChatGPT di kalangan akademisi.
Kepada ASPIRASI, dosen Fakultas Ilmu Komputer (FIK) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Bambang Saras Yulistiawan menganggap bahwa hadirnya aplikasi berbasis AI seperti ChatGPT merupakan hal yang positif, tetapi pengetahuan akan penggunaannya turut menjadi perhatian.
“Itu satu hal yang positif. Cuma yang menjadi noted-nya itu adalah semua orang yang menggunakan ChatGPT itu harus tau bagaimana cara menggunakannya,” ujar Bambang kepada ASPIRASI pada Jumat, (14/4).
Di sisi lain, pengamat pendidikan Indra Charismiadji menekankan bahwa sudah seharusnya dunia pendidikan selalu siap mengikuti perkembangan zaman, termasuk dengan hadirnya aplikasi berbasis AI seperti ChatGPT.
“Kalau kaget dengan adanya ChatGPT, itu berarti dunia pendidikannya belum menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” tegas Indra kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Sabtu, (15/4).
ChatGPT di Ranah Pendidikan
Penggunaan ChatGPT yang terbilang praktis membuat banyak mahasiswa mulai ikut menggunakannya. Penggunaannya pun beragam di kalangan mahasiswa, ada yang menggunakan untuk membantunya dalam mengerjakan tugas, ada pula yang kemudian mengerjakan ujian dengan bantuan ChatGPT.
Beberapa kali menggunakan ChatGPT, mahasiswa Fakultas Teknik (FT) UPNVJ Josephin Agrivadi menerangkan dibutuhkan waktu yang terbilang singkat untuk ChatGPT memberikan informasi yang diinginkan menjadi alasannya menggunakan ChatGPT.
“Selain memberi informasi yang banyak dia juga bisa memberikan dalam waktu singkat. Dan sebagai mahasiswa juga tentu kita kalau misalnya ngerjain tugas kan ada deadline (tenggat waktu) ya,” tuturnya kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Kamis, (13/4).
Turut menyoal perihal tenggat waktu, mahasiswa Teknik Informatika Universitas Gunadarma Ahmad Fayruz Syamil merasa bahwa dosen pun secara tidak langsung mendukung mahasiswa untuk bergantung kepada ChatGPT dengan sengaja memberikan tenggat waktu tugas yang singkat.
“Lama-lama dosen tuh bakal mengharapkan mahasiswanya cepat mengerjakan tugasnya karena ada ChatGPT,” keluh Syamil kepada ASPIRASI pada Sabtu, (15/4).
Josephin kemudian juga menerangkan bahwa di beberapa kesempatan ia menemui kasus dosen yang lebih menyarankan menggunakan ChatGPT alih-alih mengajar langsung kepada mahasiswanya. Hal ini Josephin nilai akan merusak budaya akademik di lingkungan kampus.
“Ini sebenarnya kalau aku lihat bisa membatasi transfer pengetahuan antara dosen kepada mahasiswa, yang mana kembali lagi tadi merusak budaya akademik di lingkungan kampus,” ujarnya.
Kalaupun memang ChatGPT menjadi alat bantu dalam proses pembelajaran, Josephin berharap dosen dapat lebih menguasai dan memahami betul penggunaan ChatGPT sebelum turut melibatkan penggunaannya langsung kepada mahasiswa.
Hal tersebut selaras dengan Bambang yang menegaskan bahwa penggunaan ChatGPT di ranah pendidikan memerlukan pemahaman mengenai konsep AI terlebih dahulu.
“Pahami dulu ChatGPT itu kan AI. Yang namanya AI itu dia bekerja menggunakan algoritma, deep learning (pemelajaran dalam), kan itu ya filosofinya, cara kerjanya AI,” ungkap Bambang.
ChatGPT Dinilai Tak Berbahaya, Proses Pembelajaran yang Harus Diubah
Marak penggunaan ChatGPT di tengah akademisi Indra nilai sebagai suatu permasalahan di dalam dunia pendidikan, tetapi bukan karena eksistensi ChatGPT tersebut. Daripada eksistensi ChatGPT, Indra menilai bahwa cara pembelajaran yang masih kuno dan jauh dari inovasilah yang harus diubah.
“Kalau sekarang masih ada dosen yang bikin soal, soalnya bisa dijawab di Google atau di ChatGPT, dosen itu gak ada manfaatnya buat masa depan mahasiswanya karena dia gak mengajarkan bagaimana caranya berinovasi,” ujar Indra penuh penekanan.
Sependapat, Bambang juga beranggapan bahwa proses pembelajaranlah yang harus diubah dalam persoalan penggunaan ChatGPT ini. Walaupun ada Google, ChatGPT, ataupun alat AI lainnya, Bambang menegaskan mahasiswa tidak boleh dilepaskan dari buku, jurnal, maupun buku elektronik dalam proses pembelajarannya.
“Proses belajarnya dirubah. Buku itu penting, apalagi buku tentang dasar teorinya,” ucap Bambang.
Lebih lanjut, Indra mengemukakan bahwa daripada mempermasalahkan eksistensi ChatGPT dan penggunaannya, fokus seluruh unsur akademisi seharusnya pada bagaimana memanfaatkan aplikasi seperti ChatGPT untuk menghadapi tantangan pembelajaran di era mendatang.
“Justru yang harus ditumbuhkan dari dunia pendidikan bukan kemudian bingung bagaimana menghadapi ChatGPT, tapi justru bagaimana membuat ChatGPT itu menjadi bagian dari pembelajaran di era menghadapi tantangan,” tambah Indra.
Kemudian Indra juga menjelaskan bagaimana tenaga pendidiklah yang memiliki peran paling penting, bukan mahasiswanya. Sumber daya yang ada harus dilatih menjadi inovator, jangan dilatih hanya untuk menjawab pertanyaan yang sudah ada.
“Berarti bukan problem di mahasiswanya, tetapi institusi pendidikannya yang tidak mampu memberikan apa yang dibutuhkan di eranya,” tutup Indra.
Foto: chat.openai.com
Reporter: Najla, Mg., Abdul, Mg. | Editor: Novi Nur.